Perjuangan Elmi Sumarni Menuntut Kesetaraan Hak Kaum Difabel di NTT

Sejak diamputasi, Elmi membangun mimpi untuk para difabel

Ingin rasanya penulis menyusuri pelosok-pelosok negeri untuk mewawancarai para pemuda inspiratif pemenang 12th SATU Indonesia Awards 2021 dari Astra Indonesia. Sayangnya, pandemik COVID-19 melanda sehingga membatasi ruang gerak penulis. Beruntung teknologi sudah berkembang pesat, bahkan seakan berevolusi demi bisa beradaptasi dengan kondisi sekarang.

Bahkan, untuk bisa berbincang-bincang dengan Elmi Sumarni Ismau, sosok pejuang hak asasi kaum difabel di Kupang, NTT, penulis sudah bisa melakukannya via panggilan video, tak lagi sekadar telepon. Dengan bertatap muka secara virtual pada Kamis (16/12/2021), penulis merasa bisa lebih memahami dan berempati. Penulis tak akan tahu jika ternyata sosok yang akrab disapa Elmi ini sangat murah senyum.

Elmi adalah salah satu dari pendiri Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (Garamin) asal Desa Oelomin, Kupang, NTT. Sosok yang juga difabel fisik ini membangun Garamin bersama lima orang sahabatnya pada 14 Februari 2020. Garamin berjuang untuk mengubah pola pikir masyarakat, pemerintah, bahkan rekan-rekan difabel sendiri terhadap pandangan bahwa difabel itu lemah, harus dikasihani, dan diurus oleh dinas sosial. Berikut perjuangan Elmi bersama Garamin.

1. Kesadaran Elmi untuk memperjuangkan isu difabel muncul saat ia kecelakaan dan kedua kakinya harus diamputasi 

Perjuangan Elmi Sumarni Menuntut Kesetaraan Hak Kaum Difabel di NTTGaramin (facebook.com/Garamin NTT)

Elmi, sosok perempuan 28 tahun sekaligus sekretaris dari Garamin ini bercerita awal mula ia mulai sadar akan isu-isu difabel. Awalnya, ia tergabung dengan Perkumpulan Penyandang Tuna Daksa Kristiani (Persani) NTT. Namun, saat itu, ia mengaku belum melek dengan isu-isu yang terjadi karena ia belum difabel. Ia bergabung sekadar ingin ikut dan belajar tentang isu-isu yang terjadi.

Lantas, saat kelas 1 SMA, tepatnya pada 2010, ia mengalami kecelakaan serius sehingga kedua kakinya harus diamputasi dan menjadi difabel fisik. Menjadi difabel tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap sekolah. Ia melanjutkan studi di Akademi Pekerjaan Sosial Kupang. Saat semester tiga, ia makin tertarik dengan isu-isu difabel dan mulai belajar bersama teman-temannya.

Pada 2019, ia lolos Youth Exchange Forum. Di sana, Elmi mulai menuliskan impian-impiannya. Adapun yang terbesar adalah membuat organisasi difabel dan bisa melanjutkan studi S-2. Ia pun menceritakan impiannya ke teman-temannya. Elmi ingin sekali membuat organisasi di Sumba karena melihat banyak sekali teman-teman difabel yang hak-haknya belum terpenuhi di sana.

2. Bermula dari mimpi yang sama, Elmi dan teman-temannya membangun Garamin 

Perjuangan Elmi Sumarni Menuntut Kesetaraan Hak Kaum Difabel di NTTGaramin (facebook.com/Garamin NTT)

Bak gayung bersambut, Elmi dan kelima temannya membangun Garamin. Mereka terdiri dari 5 difabel dan 1 nondifabel. Pendiri Garamin sangat beragam, ada yang lulusan SD, masih kuliah, dan ada yang sudah S-2. Meski begitu, Garamin tidak memandang latar pendidikan anggotanya, melainkan semangat mereka. Saat membentuk Garamin, mereka berharap bisa belajar menjadi pemimpin yang baik di masa depan.

Hingga saat ini, anggota Garamin sudah ada 25 orang yang terdiri dari 15 difabel dan 10 nondifabel. Terlihat bahwa sudah ada orang yang sadar dan peduli dengan nasib kaum difabel dengan banyaknya anggota nondifabel yang bergabung.

3. Garamin ingin mempercepat pergerakan inklusi difabel di NTT dengan berkolaborasi bersama pemerintah 

Perjuangan Elmi Sumarni Menuntut Kesetaraan Hak Kaum Difabel di NTTGaramin (facebook.com/Garamin NTT)

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, jumlah difabel di Indonesia mencapai 9,7 persen dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut mencapai 26 juta orang. Namun, selama ini, masyarakat masih memandang bahwa difabel adalah orang yang tidak berguna, membutuhkan belas kasihan, dan hanya menjadi tanggung jawab dinas sosial. Lebih parahnya lagi, masih ada yang memandang bahwa difabel itu orang yang kerjaannya hanya meminta-minta.

“Selama ini, masyarakat itu selalu melihat bahwa penyandang disabilitas itulah orang yang selalu membutuhkan belas kasihan, bahkan disabilitas itu adalah tugas dan tanggung jawabnya dinas sosial,” ujar Elmi.

Garamin ingin mengubah pola pikir masyarakat bahwa difabel itu juga bisa berdaya dan berkarya. Difabel pun bisa melakukan beragam hal layaknya orang-orang nondifabel.

Mirisnya, saat Elmi bersama Garamin pergi ke pemerintahan, mereka sering dikira mau menyerahkan proposal dan minta uang. Padahal, mereka hanya ingin menjalin silaturahmi dan pertemanan. Garamin sadar bahwa mereka membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk menyukseskan gerakan mereka.

dm-player

Dengan kegigihan mereka, Garamin sekarang bisa bersinergi dengan pemerintah. Saat Natal 2020, misalnya, mereka datang ke pemerintahan untuk melakukan advokasi dan membangun silaturahmi. Dari situ, Garamin menyampaikan aspirasi dan ide-ide mereka dan mengajak untuk berkolaborasi. Dengan menjalin silaturahmi, Garamin berharap bisa mengubah pola pikir pemerintah hingga masyarakat terhadap kaum difabel agar lebih positif.

Tak hanya dengan pemerintah, Garamin pun bekerja sama dengan media. Garamin percaya bahwa media punya kekuatan besar. Saat melakukan kegiatan, Garamin akan mengundang wartawan untuk meliput. Tak hanya itu, Garamin pun menggunakan media sosial, seperti Facebook dan Instagram, untuk menyebarkan hasil kegiatan mereka kepada netizen. Garamin berharap apa yang mereka lakukan bisa mengedukasi masyarakat terkait isu-isu difabel.

Baca Juga: Kisah Elmi Sumarni Ismau, Menjaga Asa dan Perjuangan Difabel

4. Untuk memberdayakan teman-teman difabel, Garamin melakukan banyak pelatihan 

Perjuangan Elmi Sumarni Menuntut Kesetaraan Hak Kaum Difabel di NTTGaramin (facebook.com/Garamin NTT)

Tak hanya advokasi, Garamin pun melakukan pelatihan untuk teman-teman difabel. Tujuannya adalah untuk memberdayakan teman-teman difabel dan membuktikan bahwa mereka juga bisa. Garamin melakukan banyak kegiatan pelatihan, seperti menulis dan penelitian.

Selama ini, dosen dan mahasiswa yang lebih sering meneliti terkait isu difabel. Teman-teman yang difabel ini hanya menjadi objek. Namun, sebenarnya teman-teman difabel juga bisa melakukan penelitian yang sama seperti yang nondifabel lakukan. Elmi sendiri mengaku tertarik untuk meneliti para difabel di Desa Oelomin. Ia melakukan ini sebagai bukti bahwa perempuan difabel sepertinya juga tidak melulu jadi objek penelitian, tetapi juga bisa melakukan penelitian.

Bekerja sama dengan IOM, Garamin pun mengadakan pelatihan jurnalisme warga. Bentuknya adalah kelas menulis untuk teman-teman pengungsi dan difabel. Pelatihan tersebut diharapkan bisa meningkatkan kemampuan menulis dan berpikir kritis mereka. Hasilnya dari kelas ini adalah artikel. Adapun, artikel terbaik akan diterbitkan di web Garamin.

Dari pelatihan ini, teman-teman difabel diharapkan bisa menuliskan aktivitas mereka. Dengan sering menulis, akan ada banyak orang yang membaca dan terinspirasi. Publikasi tersebut tentunya akan berkontribusi untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap kaum difabel.

5. Keberadaan Garamin berdampak signifikan untuk teman-teman difabel saat pandemik COVID-19 

Perjuangan Elmi Sumarni Menuntut Kesetaraan Hak Kaum Difabel di NTTGaramin (facebook.com/Garamin NTT)

Garamin baru saja lahir, tetapi pandemik COVID-19 sudah terjadi. Elmi bercerita bahwa saat itu, Garamin sedang ada di Sumba Timur dan Barat untuk membangun jaringan dengan pemerintah serta LSM. Saat kembali, tahu-tahu sudah pandemik. Dengan sigap, Garamin membuat grup WhatsApp tanggap COVID-19 yang terdiri dari teman-teman difabel, pemerintah, dan LSM. Mereka yang bergabung ada kurang lebih 170 orang.

Saat itu, bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan sosial tunai (BST) sedang gencar-gencarnya. Lantas, bagaimana dengan difabel? Garamin berusaha menyampaikan apa saja yang menjadi permasalahan utama teman-teman difabel saat pandemik dalam grup WhatsApp tersebut. Dalam grup itu pun, teman-teman difabel bisa dengan bebas menuliskan ide-ide, kebutuhan, dan permasalahan mereka untuk bisa didiskusikan bersama.

Bantuan dari pemerintah memang sudah mencakup kelompok rentan, seperti ibu hamil, lansia, dan anak-anak. Namun, difabel belum menjadi sasaran. Dari permasalahan tersebut, Garamin bersama pemerintah dan LSM mulai berdiskusi. Garamin bahkan sampai mengadakan webinar yang menindaklanjuti diskusi tersebut. Dalam webinar tersebut, Garamin mengundang pemerintah sebagai narasumber, teman-teman difabel, dan staf khusus difabel.

“Ketika kita melibatkan mereka, kita berikan kesempatan kepada mereka agar mereka bisa menyampaikan kebutuhan mereka. Karena yang tahu kebutuhan mereka adalah difabel itu sendiri, bukan orang-orang non-(difabel). Ketika orang non-(difabel) yang membicarakan kebutuhan kelompok rentan, itu masih eksklusif. Kalau kita melibatkan mereka dan berikan kesempatan mereka bisa berpartisipasi aktif, mereka aksesnya juga mereka sudah nikmati, itu baru inklusi,” ujar Elmi.

Selain memperjuangkan bantuan untuk teman-teman difabel, Elmi juga menjadi koordinator vaksinasi. Saat itu, ia mendapatkan data penyandang difabel netra, sekitar enam puluh orang, dari temannya. Namun, mereka tidak tahu kalau vaksin harus ke mana. Padahal, kalau mau ke mana-mana, mereka harus punya sertifikat vaksin. Elmi dan teman-teman membantu membuat surat ke dinas kesehatan kota dan provinsi. Ia bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membantu vaksinasi untuk teman-teman difabel.

Tahap pertama tersebut diikuti sebanyak enam puluh orang. Adapun, untuk gelombang kedua vaksinasi, ia berhasil membantu lima puluh orang yang terdiri dari teman-teman difabel dan nondifabel. Selama vaksinasi, Elmi mengaku menemui banyak kendala, mulai dari mengurus difabel yang tidak memiliki data kependudukan, mengajarkan protokol kesehatan, hingga meluruskan hoaks terkait vaksin COVID-19.

Perjuangan Elmi bersama Garamin untuk memperjuangkan hak-hak difabel agar setara dengan orang-orang nondifabel layak untuk mendapatkan apresiasi. Hal itu semata-mata ia dan Garamin lakukan demi menciptakan Indonesia yang lebih inklusif. Atas dedikasinya tersebut, tak heran jika Astra Indonesia memberikan penghargaan kepada Elmi sebagai Penerima Apresiasi Kategori Khusus: Pejuang Tanpa Pamrih di Masa Pandemi COVID-19 dalam 12th SATU Indonesia Awards.

Baca Juga: Semangat Gede Andika Bangkitkan Harapan Desa Pemuteran Lewat KREDIBALI

Yudha Photo Writer Yudha

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya