potret Eri Kuncoro bersama rekan (instagram.com/erikuncoro)
Yang menggerakkan Eri Kuncoro untuk memulai gerakan Yuk Tukoni sebenarnya sangat sederhana: ia mau mendengar. Ia mendengar dengan empati, dengan ruang di hati untuk menampung keresahan orang lain. Waktu itu, yang ia dengar hanyalah curhatan kecil dari para penjual makanan:
“Jualan makananku gak laku,”
“Pelanggan hilang,”
“Aku gak tahu harus gimana.”
"Aku mau pulang kampung aja."
Sekilas, itu hanya kalimat sehari-hari. Namun, bagi Eri, itu adalah jeritan yang berharap didengar. Dari kegelisahan tersebut, Eri bersama rekannya, Revo, memulai sebuah ajakan: Yuk Tukoni yang dalam bahasa Jawa artinya "Ayo beli". Bukan marketplace besar, bukan bisnis raksasa. Hanya sebuah gerakan untuk membeli dagangan teman. Gerakan gotong royong yang diharapkan mampu menyambung napas UMKM yang hampir padam.
Modalnya? Freezer pinjaman, peralatan seadanya, dan semangat untuk menolong. Eri dan Revo mengumpulkan dagangan para pelaku UMKM, memotretnya dengan rapi, membuat packaging yang keren, lalu mempromosikan lewat Instagram dan WhatsApp. Bahkan, demi mendorong penjualan, mereka memberi promo gratis ongkir sampai 10 km.
Mengingat mendesaknya situasi kala itu, Eri dan Revo berusaha agar ide ini bisa diimplementasikan hanya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Pada akhirnya, mereka hanya menghabiskan waktu selama 12 hari mulai dari memikirkan ide sampai eksekusi! Waktu yang singkat untuk sebuah gerakan yang pada akhirnya berdampak besar.
Yuk Tukoni tidak lahir untuk mencari profit. Ia lahir dari kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan api kompor yang nyaris padam. Siapa sangka, gerakan kecil itu justru didaftarkan oleh salah satu media, dan akhirnya mendapat penghargaan dari SATU Indonesia Awards tahun 2020. Namun, bagi Eri, itu bukan soal prestasi, melainkan pengakuan bahwa gotong royong masih relevan dan sangat kuat, di saat dunia sedang ketakutan.