Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pengantin (pexels.com/Vinh Chế)
ilustrasi pengantin (pexels.com/Vinh Chế)

Hari yang dinantikan sudah makin dekat. Rasanya, dulu kamu sangat memimpikan bersanding dengan kekasih di pelaminan. Namun, makin mendekati tanggal pernikahan justru rasa antusias berubah menjadi kecemasan. Pikiranmu macam-macam.

Semuanya tentang gambaran buruk rumah tangga. Dirimu bisa sampai sulit tidur bukan lantaran mempersiapkan hari H. Bahkan dapat muncul perasaan ingin membatalkan pernikahan saja. Tentu dorongan seperti di atas harus dilawan.

Ketakutan yang membayangi memang bisa menuntunmu pada keputusan yang keliru. Kamu harus menenangkan diri. Juga banyak mengobrol dan mencari dukungan dari keluarga terutama orangtua. Gak usah terlalu membahasnya dengan calon istri atau suami yang mungkin lagi sama-sama stres. Ketakutan akan lima hal ini lumrah dan bisa diluruskan dengan akal sehat.

1. Takut menikah dengan orang yang salah

ilustrasi calon pengantin (pexels.com/Thiều Hoàng Phước)

Belakangan pikiranmu dihantui pertanyaan, bagaimana jika ternyata kamu salah memilih pasangan? Jangan-jangan orang yang selama ini berpacaran denganmu tidak benar-benar baik. Apa jadinya kalau setelah kalian menikah nanti sifat-sifat aslinya yang buruk baru terkuak?

Dirimu yang tadinya tergila-gila dan sangat percaya pada pasangan mendadak penuh curiga. Kamu berusaha keras mengingat kembali seluruh interaksi kalian selama ini. Apakah ada kejanggalan perilaku yang mungkin bisa menjadi petunjuk bahaya?

Tentu kewaspadaan serta upaya penyelidikan sebetulnya bagus. Namun, telat kalau baru dilakukan sekarang setelah tanggal pernikahan disepakati. Lagi pula, kalian sudah cukup lama saling mengenal dan berpacaran. Tidak tepat apabila baru sekarang dirimu mempertanyakan segala tentangnya. Selama masa penjajakan sudah cukup, keraguan seperti di atas hanyalah godaan untuk calon pengantin.

2. Takut gak bisa menjadi orangtua yang baik

ilustrasi pengantin (pexels.com/George Chambers)

Sebenarnya ada bagusnya jika dirimu punya perasaan ketar-ketir bakal menjadi orangtua yang buruk untuk anak. Orangtua yang tidak berkompeten, masih egois, tak tahu cara mengasuh yang tepat, dan sebagainya. Kewaspadaan seperti ini bisa memotivasi dirimu dan pasangan untuk terus belajar menjadi orangtua yang ideal.

Akan tetapi, rasa takut berlebihan malah menjadi hambatan. Kamu bukan hanya menjadi takut memiliki anak. Namun juga bisa sampai menganggap pernikahan sebagai keputusan yang salah.

Sebab upaya pencegahan kehamilan seperti apa pun tidak meniadakan peluang kalian punya momongan.

Selama kalian sebagai pasutri masih berhubungan intim dan di usia subur, kemungkinan itu tetap ada. Jangan sampai dirimu mundur dari rencana pernikahan. Seberat-beratnya tanggung jawab menjadi orangtua, jika dipikul berdua dengan pasangan akan terasa lebih ringan.

3. Takut pernikahan tidak langgeng

ilustrasi pengantin (pexels.com/George Chambers)

Tentu semua calon pengantin sangat mencemaskan hal ini. Kegagalan dalam berumah tangga selain menyakitkan juga bisa membuat malu. Terutama kalau kamu tinggal di lingkungan yang masih memandang miring janda atau duda. Belum lagi nasib anak-anak nanti.

Kekhawatiran mengenai usia perkawinan perlu dijadikan pengingat sekaligus tantangan. Pernikahan bukanlah titik akhir dalam perjalanan cintamu dengan seseorang. Justru perkawinan menjadi titik awal dari perjalanan panjang hingga akhir hayat kalian.

Hubungan itu perlu terus dijaga dengan sebaik-baiknya. Relasi suami istri kudu dikuatkan dengan segala cara. Bila sehabis kalian menikah merasa terlalu aman malah hubungan telantar. Nanti tahu-tahu hubungan terasa hambar dan mulai muncul masalah rumah tangga yang serius.

4. Takut berkonflik dengan keluarga pasangan

ilustrasi rias pengantin (pexels.com/Marvin Malmis Ponce)

Hindari terlalu banyak mengonsumsi konten yang menarasikan ketidakcocokan mertua dengan menantu. Lain keluarga lain cerita. Gak semua rumah tangga menjadi runyam akibat permasalahan dengan keluarga pasangan.

Banyak juga orang yang setelah menikah seperti menemukan keluarga kedua. Itu adalah keluarga pasangan yang tak kalah hangat dari keluarganya sendiri. Kalaupun benar nanti terjadi perselisihan antara dirimu dengan 1 atau 2 orang saudara pasangan, ini wajar.

Terlepas dari kalian menjadi satu keluarga besar akibat pernikahan, antarorang memang ada potensi ketidakcocokan. Jamgan berpikir kamu, pasangan, dan dua keluarga besar wajib selalu harmonis. Riak dalam hubungan orang sebanyak itu merupakan hal biasa. Selama persoalan disikapi dengan kedewasaan niscaya masih dapat ditengahi.

5. Takut kehilangan kebebasan dan jati diri

ilustrasi pengantin (pexels.com/Los Muertos Crew)

Ketakutan bakal kehilangan kebebasan dapat dialami baik oleh calon pengantin pria maupun perempuan. Di pihak perempuan, istri kerap diwajibkan meminta izin suami dulu sebelum melakukan apa pun. Kalau suami tidak mengizinkan, dia gak bisa melakukan apa-apa lagi.

Tapi pria pun dapat mengalami kekhawatiran serupa. Namun, masalahnya lebih ke keharusan ia bekerja keras buat menafkahi keluarga. Itu bisa merenggut kebebasannya menyenangkan diri sendiri. Suami yang bekerja ekstra keras dapat merasa kehilangan sisi manusiawinya yang bisa capek serta stres.

Dia menyerupai mesin yang harus terus-menerus menghasilkan uang buat keluarga. Sementara kekhawatiran kehilangan jati diri lebih banyak dialami perempuan. Di Indonesia misalnya, perempuan yang telah menikah sering dipanggil dengan nama suaminya. Bahkan dengan nama anaknya seperti Mama Keanu atau Bunda Azka.

Kedua hal ini mestinya sudah dibicarakan jauh-jauh waktu dengan pasangan. Kalian perlu menyepakati batas kebebasan masing-masing. Juga janji agar pernikahan tidak mengaburkan identitas kalian sebagai individu.

Rasa takut yang muncul mendekati hari pernikahan bila diturui bisa menggagalkan rencana baik kalian. Atur energimu supaya tidak kelelahan dan kamu tambah gampang mencemaskan semua hal. Jangan lupa banyak berdoa tidak hanya untuk kelancaran acara pernikahan nanti. Namun juga perjalanan rumah tangga kalian selanjutnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team