Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi tertekan (pexels.com/Los Muertos Crew)
ilustrasi tertekan (pexels.com/Los Muertos Crew)

Dalam hubungan temanmu dengan keluarganya, kamu harus sadar bahwa dirimu hanyalah orang luar. Hubungan tersebut sama sekali tidak terkait denganmu. Sangatlah tak sopan apabila kamu bukan cuma kepo melainkan berani menghakiminya.

Sikap menghakimi misalnya, mengatakan temanmu gak sayang pada orangtuanya atau bersikap tega pada saudaranya. Apa sih, yang betul-betul kamu ketahui tentang hubungan mereka? Kamu tak ubahnya orang yang menuding-nuding pada kerumunan yang sudah terbentuk sebelum dirimu tiba di sana. 

Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam kerumunan itu. Lebih jelasnya, simak enam alasan kamu perlu lebih menjaga sikap terkait hubungan teman dengan keluarganya. Kamu tak ingin bikin dia tersinggung, kan?

1. Tidak semua hubungan keluarga harmonis, ada yang sudah rusak sejak bertahun-tahun lalu

ilustrasi sedih (pexels.com/Meruyert Gonullu)

Kamu tidak akan tertarik buat menghakimi hubungan teman dengan keluarganya jika dirimu mengerti bahwa gak semua keluarga selalu bahagia dan akur. Ada beberapa keluarga yang penuh kekacauan dan temanmu barangkali besar dalam situasi seperti itu.

Bila kamu dibesarkan dalam keluarga yang lebih ideal, bukan artinya dirimu tak akan sanggup memahami situasi yang dihadapi teman. Tahan diri dulu dari dorongan berbicara lebih banyak. Diam menjadi pengamat dan pendengar lebih tepat buatmu.

2. Keceriaan dan sikap cuek teman kadang cuma cara buat menjaga kewarasannya di tengah masalah keluarga

ilustrasi perempuan ceria (pexels.com/Gustavo Fring)

Sikapmu yang menghakimi boleh jadi punya alasan. Misalnya, kamu melihat keluarga teman sedang dalam kesulitan. Akan tetapi bukannya murung, temanmu malah kelihatan happy saja. Lalu kamu bilang dia gak peduli pada apa yang dialami oleh keluarganya.

Hati-hati, kamu mungkin telah menghunjamkan pisau ke dadanya. Kamu mengartikan ketiadaan raut sedih sebagai bukti betapa temanmu tak sayang pada keluarganya sendiri. Kenyataannya, dia barangkali sudah di ambang keputuasaan.

Ia perlu mengangkat kondisi psikisnya sendiri supaya dia mampu terus mendampingi dan berjuang buat keluarganya. Di dalam keluarga, dia dalam posisi sebagai tiang. Apa pun yang terjadi, ia dituntut untuk kuat supaya dapat menguatkan yang lain.

3. Ia akan terus memikirkan kata-katamu dan merasa buruk karenanya

ilustrasi berbaring (pexels.com/KoolShooters)

Orang yang suka menghakimi cenderung mudah lupa pada apa yang telah dikatakannya. Bahkan ia tidak merasa perkataannya sudah menyakiti orang lain. Namun, tak begitu dengan orang yang dihakimi.

Sampai berhari-hari bahkan berbulan-bulan setelahnya, temanmu dapat merasa sangat buruk. Sulit buat dia melupakan apa-apa yang sudah didengarnya darimu. Ia akan terus memikirkannya dan menjadi makin terluka. Pernahkah kamu berpikir sampai sejauh ini?

4. Kamu hanya melihat sedikit sekali dari hubungan mereka, tetapi berani mengambil kesimpulan

ilustrasi perempuan sedih (pexels.com/Brett Sayles)

Jika kesimpulanmu cuma tentang hal-hal remeh, kamu masih bisa segera mengubahnya. Tentu tetap ada akibat dari kesimpulan yang salah, tetapi tidak seberapa. Sedang saat kesimpulan yang keliru berkaitan dengan kehidupan orang lain, tak ada lagi yang dapat kamu lakukan.

Ketika kamu sadar kesimpulanmu tentang hubungan teman dengan keluarganya gak tepat, permintaan maafmu  tak otomatis membuatnya merasa lebih baik. Sedang apabila kamu bertanya kenapa ia tidak memberitahumu lebih banyak soal kehidupan pribadinya biar kesimpulanmu lebih tepat, memangnya kamu siapanya? Kamu bahkan sebenarnya tak berhak menyimpulkan apa pun.

5. Orang perlu membagi waktu dan perhatiannya, gak cuma buat keluarga

ilustrasi bekerja (pexels.com/cottonbro)

Kamu dapat menghakimi teman kurang care pada keluarganya sebab dia kembali bekerja di luar kota setelah adik atau kakaknya sakit keras. Pikirmu, seharusnya temanmu tinggal di rumah lebih lama buat merawat saudaranya.

Pertanyaannya, dari mana kawanmu akan mendapatkan uang jika ia tidak sesegera mungkin kembali bekerja? Padahal dalam situasi begini, uang yang diperolehnya bukan hanya untuk dirinya melainkan juga membantu membiayai saudaranya itu. Dia sayang pada saudaranya, tetapi bukan dengan terus di sisinya dan terancam kelaparan bersama-sama.

6. Kalau kamu yang dihakimi, pasti dirimu juga kesal dan sedih

ilustrasi duduk sendiri (pexels.com/Dennis Leinarts)

Berempati atau menempatkan diri di posisi orang lain bukan hanya supaya kamu dapat memberi support pada orang lain. Namun juga agar kamu lebih mampu mengendalikan ucapan serta perbuatanmu. Bayangkan rasanya menjadi temanmu yang dihakimi.

Tidak mungkin kamu bakal bisa santai kalau orang lain menghakimi hubunganmu dengan keluarga. Kamu bahkan dapat sangat emosional, melebihi reaksi temanmu saat ini. Jadi, kenapa kamu gak mampu memperlakukan orang lain seperti halnya dirimu ingin diperlakukan?



Bukan cuma kamu yang telah dewasa. Temanmu juga. Ini artinya, dia tahu apa yang dilakukannya dan bagaimana sebaiknya ia menjaga hubungannya dengan keluarga. Kamu jangan masuk terlalu dalam apalagi bertingkah bak orang yang paling paham persoalan dalam keluarganya. Kamu gak tahu apa-apa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team