Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pasangan sedang berkencan
ilustrasi pasangan sedang berkencan (usnplash.com/Andres Mora)

Intinya sih...

  • Kehilangan identitas diri akibat terlalu sering menyesuaikan diri dengan pasangan.

  • Ketidakseimbangan emosional karena menekan perasaan sendiri demi menjaga perasaan pasangan.

  • Pasangan tidak menghargai usaha karena perilaku people pleaser dianggap biasa dan diharapkan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Menjadi sosok yang selalu ingin menyenangkan orang lain memang terlihat sebagai sifat yang baik. Banyak orang menganggap perilaku seperti itu sebagai bentuk empati dan kepedulian terhadap perasaan pasangan. Namun, saat kebiasaan tersebut berubah menjadi kebutuhan berlebihan untuk selalu disukai, justru bisa menimbulkan dampak negatif bagi keseimbangan hubungan.

Berhenti menjadi people pleaser bukan berarti menjadi egois, melainkan belajar untuk menempatkan batasan yang sehat dalam hubungan. Dengan mengenali alasan-alasan yang mendorong perubahan ini, seseorang dapat mulai membangun hubungan yang saling menghormati dan berlandaskan keseimbangan emosional yang sehat.

Berikut ketujuh alasan penting mengapa harus berhenti menjadi people pleaser dalam hubungan. Simak sampai akhir, yuk!

1. Kehilangan identitas diri

ilustrasi pasangan berkencan (usnplash.com/chrishcush)

Salah satu dampak paling besar dari menjadi people pleaser adalah kehilangan identitas diri. Ketika terlalu sering menyesuaikan diri dengan keinginan pasangan, seseorang secara perlahan mulai mengabaikan kebutuhan, keinginan, dan prinsip pribadi. Segala keputusan diambil berdasarkan bagaimana pasangan akan bereaksi, bukan berdasarkan apa yang benar-benar diinginkan.

Kehilangan identitas diri ini menimbulkan perasaan kosong dan kebingungan. Seseorang mungkin merasa hampa meski hubungannya tampak baik-baik saja dari luar. Saat seseorang tidak tahu siapa dirinya tanpa peran penyenang, maka hubungan pun menjadi tidak seimbang. Mengembalikan jati diri berarti berani untuk berkata tidak, menegaskan batas, dan menghargai diri sendiri tanpa merasa bersalah.

2. Menyebabkan ketidakseimbangan emosional

ilustrasi pasangan (usnplash.com/Micah & Sammie Chaffin)

Menjadi people pleaser membuat seseorang memendam banyak emosi. Ia terbiasa menekan rasa kecewa, marah, atau sedih demi menjaga perasaan pasangan. Dalam jangka waktu tertentu, penumpukan emosi ini akan menimbulkan stres dan ketegangan batin. Seseorang yang terus-menerus mengabaikan perasaannya sendiri akan kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan emosi dengan jujur dan sehat.

Ketidakseimbangan emosional juga dapat memunculkan masalah fisik seperti gangguan tidur, mudah lelah, atau kecemasan kronis. Hubungan yang sehat membutuhkan ruang untuk mengekspresikan emosi tanpa takut dihakimi. Dengan berhenti menjadi people pleaser, seseorang memberi kesempatan bagi dirinya untuk merasa dan berbicara dengan jujur, tanpa tekanan untuk selalu tampak baik di mata pasangan.

3. Membuat pasangan tidak menghargai usaha

ilustrasi pasangan bahagia (usnplash.com/beccatapert)

Ketika seseorang terlalu sering menuruti semua permintaan pasangan, tanpa sadar pasangan akan mulai menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa. Upaya yang seharusnya dihargai malah menjadi kewajiban yang diharapkan. Akibatnya, tidak ada lagi rasa terima kasih atau penghargaan atas setiap pengorbanan yang dilakukan. Dalam situasi seperti ini, hubungan berubah menjadi satu arah, di mana salah satu pihak terus memberi tanpa pernah benar-benar menerima.

Kondisi ini perlahan menumbuhkan ketimpangan kekuasaan dalam hubungan. Pasangan yang terbiasa dimanjakan oleh perilaku people pleaser mungkin mulai menuntut lebih banyak dan semakin jarang menghargai batasan. Berhenti menjadi people pleaser adalah cara untuk mengembalikan keseimbangan dalam hubungan agar kedua belah pihak dapat saling menghormati dan menghargai peran masing-masing.

4. Menghambat pertumbuhan pribadi

ilustrasi pasangan dating (usnplash.com/kalisaveer)

Saat seseorang terlalu sibuk memikirkan bagaimana cara membuat pasangan bahagia, waktu dan energi untuk mengembangkan diri sendiri menjadi sangat terbatas. Semua keputusan diambil berdasarkan kepentingan pasangan, bukan tujuan pribadi. Akibatnya, potensi diri tidak berkembang secara optimal karena fokus hidup terpusat pada validasi eksternal. Hal ini dapat membuat seseorang kehilangan kesempatan untuk bertumbuh, baik secara emosional maupun profesional.

Pertumbuhan pribadi adalah bagian penting dalam kehidupan yang sehat dan seimbang. Seseorang perlu ruang untuk belajar, gagal, mencoba hal baru, dan menemukan arah hidupnya sendiri. Dengan berhenti menjadi people pleaser, seseorang dapat mulai menginvestasikan waktu untuk hal-hal yang benar-benar memberi makna dan kebahagiaan pribadi, bukan semata untuk menyenangkan orang lain.

5. Menimbulkan hubungan yang tidak alami

ilustrasi pasangan tertawa (usnplash.com/Giorgio Trovato)

Hubungan yang dibangun atas dasar keinginan untuk selalu menyenangkan pasangan sering kali kehilangan keaslian. Saat seseorang berperan sebagai people pleaser, ia cenderung menyembunyikan sisi dirinya yang sebenarnya, termasuk pendapat, keinginan, dan kekurangan. Akibatnya, hubungan yang tercipta bukan berdasarkan kejujuran, melainkan ilusi dari sosok yang ingin selalu tampak sempurna di mata pasangan.

Ketika hubungan tidak autentik, maka keintiman emosional menjadi sulit tercapai. Pasangan mungkin merasa dekat, tetapi kedekatan itu hanya ada di permukaan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menimbulkan jarak emosional yang dalam karena salah satu pihak tidak benar-benar terlihat apa adanya. Berani menjadi diri sendiri adalah fondasi utama dari hubungan yang tulus dan sehat.

6. Meningkatkan risiko manipulasi dalam hubungan

ilustrasi pasangan sedang dating (usnplash.com/kellysikkema)

Perilaku people pleaser membuat seseorang rentan terhadap manipulasi. Pasangan yang menyadari kecenderungan ini bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ketika seseorang tidak mampu menolak, mudah merasa bersalah, dan selalu ingin menyenangkan pasangan, maka ia menjadi target empuk bagi kontrol emosional atau psikologis. Dalam hubungan yang seperti ini, keseimbangan kekuasaan tidak lagi setara.

Manipulasi dapat muncul dalam bentuk halus seperti gaslighting atau membuat seseorang merasa bersalah ketika tidak menuruti keinginan pasangan. Situasi ini mengikis harga diri dan membuat seseorang semakin sulit keluar dari pola people pleasing. Menghentikan kebiasaan ini berarti belajar untuk mengenali tanda-tanda manipulasi, menetapkan batas tegas, dan menegaskan nilai diri tanpa perlu mencari pembenaran dari pasangan.

7. Mengikis kesehatan mental dan harga diri

ilustrasi pasangan tertawa bahagia (usnplash.com/misunderstoodwhiskey)

Salah satu dampak paling berbahaya dari menjadi people pleaser adalah rusaknya kesehatan mental. Ketika seseorang terus-menerus berusaha menyenangkan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri, muncul perasaan tidak berharga, cemas, dan kelelahan emosional. Pikiran negatif seperti merasa tidak cukup baik atau takut kehilangan penerimaan menjadi semakin kuat dari waktu ke waktu.

Harga diri yang terus menurun membuat seseorang semakin sulit untuk menetapkan batasan yang sehat. Ia mulai merasa bahwa nilai dirinya hanya bergantung pada seberapa besar ia bisa menyenangkan pasangan. Padahal, cinta yang sejati tidak menuntut seseorang untuk terus berkorban. Berhenti menjadi people pleaser adalah langkah penting untuk memulihkan kesehatan mental dan membangun kembali harga diri yang utuh.

Belajar berkata tidak tanpa rasa bersalah adalah salah satu keterampilan emosional yang penting. Dalam hubungan yang sehat, pasangan akan memahami bahwa setiap individu memiliki kebutuhan pribadi yang harus dihormati.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team