Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Aku Memang Mencintaimu, tapi Pantang Bagiku Menyakiti Hati yang Sesekali Kau Panggil "Sayang" Itu

howheasked.com

Aku telah lama mengenalmu, kamu pun tak asing lagi dengan sosokku.

Kita telah lama saling kenal. Paling tidak lebih dari satu dasawarsa nomor kontakmu telah tersimpan di handphoneku. Tak singkat memang waktu yang telah aku dan kamu lewati. Bahkan kau nyaris hapal rutinitas dan kebiasanku.

Awalnya memang tak menaruh simpati padamu.

Kamu memang laki-laki baik dan bertanggungjawab. Teman-teman dekatmu pun mengamini aku. Walaupun begitu, pada awal perkenalan aku tak menaruh simpati padamu. Jujur, saat itu kau bukan sosok ideal yang selama ini ku bayangkan. Mungkin benar kata orang, kebaikan dan ketulusan tak melulu bisa meluluhkan hati.

Kau masih tetap di dekatku. Memastikanku baik-baik saja.

Kau tak menyerah dengan sikapku. Menyiapkan pundakku kapan pun aku butuh tempat bersandar. Memastikan aku tak mengalami kesulitan. Bahkan kerap kali kau mengorbankan waktumu bersama teman-temanmu demi untuk mengiyakan permintaanku.

“Kamu kurang peka!”, begitu ucapmu sore itu. Cinta yang menjadi alasanmu selama ini.

Aku tertegun. Bukan karena kaget. Tapi sungguh aku hanya tak mengira kalau prasangkaku selama ini benar adanya. Kamu menatap mataku dalam. Seakan mencoba menelisik kedalaman hatiku. Aku hanya tertunduk. Membiarkan dirimu menerka-nerka sendiri.

“Kau sahabat baikku, aku tak ingin persahabatan kita selama ini rusak hanya karena cinta,” jelasku pada akhirnya.

Aku tidak menerimamu cintamu saat itu. Ada beberapa alasan yang memang ku siapkan untuk itu. Demi memastikan kamu tak akan terluka karena penolakanku. Lalu, punggungmu berlahan menghilang dari pandangku. Sore kian temaram dihimpit malam.

Waktu berlalu. Kita masih bersahabat baik. Kehidupan pun terus berjalan.

“Selamat ya!” ucapku sore itu riang.

Kau menyambut uluran tanganku dengan senyum malu. Seorang gadis cantik telah menerima cintamu. Namun benar kata orang, dunia akan selalu berputar. Setahun kemudian kau bercerita bahwa kau tak lagi bersama dia. Tak ada gurat sedih berlebihan yang ku tangkap dari wajahmu. Bahkan ekspresi mukamu terlalu datar untuk sebuah kisah patah hati.

Kita bertumbuh bersama. Menjemput kedewasaan dengan sesekali jatuh.

Kehidupan kian bergulir. Menjadi dewasa adalah pilihan yang sering kita bicarakan. Pun tentang masa depan. Toh, kita bukan lagi anak kecil yang hobi merengek manja. Walaupun sesekali virus galau sering menyerang paksa.

Sesuatu Pelan-pelan berubah.

Kebersamaan yang kian sering membawaku pada telaga sejuk sorot matamu. Aku pun menyadari bahwa untuk menjadi bahagia memang tak selalu butuh sosok ideal seperti yang kerap tergambarkan dalam imajinasi. Kau memiliki hal yang jauh lebih berharga dari ketampanan dan postur tubuh ideal.

Rasa nyaman itu candu.

Terbiasa menjalani hari bersamamu membawaku pada sebuah pemahaman. Aku akui, diam-diam aku merasa nyaman dan aman berada di dekatmu. Menggemit lenganmu lembut atau sesekali menyentuh pundakmu bagiku adalah suatu kemewahan. Bahagiaku bermuara dari dirimu.

Lalu, prahara itu datang saat semuanya terasa membahagiakan.

Tak ada yang salah. Aku pun tak akan menyalahkan dirimu. Dari seorang teman dekatmu aku memdapat kabar bahwa nyatanya kau tak benar-benar putus dengan gadis itu. Sampai sekarang pun kalian masih berhubungan baik. Rajin memberi kado saat hari ulang tahun atau anniversary. Nyatanya aku tak pernah tahu kisah cintamu yang kau sembunyikan rapat-rapat dariku. Dia, gadis yang bertahun-tahun menunggu lamaranmu.

Batinku bergolak hebat. Aku pernah hancur karena dikhianati, aku tak mau gadis itu merasakan hal yang sama.

Bukan hal mudah memupus harapan yang sedang mekar sempurna. Ada rasa nyeri yang mati-matian harus ku tahan. Sesekali aku tak berhasil menahan derai air mata yang tiba-tiba mengalir begitu saja. Aku memang terperangkap dalam sebuah hubungan yang tak seharusnya.

Aku memilih pergi dari hidupmu. Merelakan rasa nyaman itu, ada orang lain yang lebih berhak dirimu.

Manusia tak luput dari kesalahan, tapi bukankan setiap orang pasti memiliki kesempatan untuk memperbaikinya? Aku pergi. Kembalilah pada gadismu. Sampaikan permintaan maafku untuk dia ya!

Aku tunggu undangan pernikahan kalian. Jika Tuhan berkenan, aku akan datang dengan hati yang telah jauh lebih baik.

Kelak aku datang ke pernikahan kalian sebagai seorang sahabat. Aku harap beberapa tahun kemudian kita bisa berkumpul lengkap dengan pasangan dan anak masing-masing. Bercengkrama dengan hangat tanpa ada salah satu pihak yang merasa disakiti. Semoga.

 

 

Share
Topics
Editorial Team
Resti Dhian
EditorResti Dhian
Follow Us