TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hukum Pemberian Mahar Pernikahan dan Rekomendasi Mahar Umum serta Unik

Mahar jadi hak wajib pertama istri yang harus dipenuhi

Ilustrasi pernikahan adat Jawa (instagram.com/erinagudono)

Dalam proses menuju pernikahan, satu hal utama yang perlu dipersiapkan adalah mahar. Menurut pandangan Islam, mahar merupakan pemberian dari calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan. Wujud, jumlah, dan nominalnya adalah hasil kesepakatan dari kedua belah pihak. Yang terpenting, keberadaan mahar harus disesuaikan dengan kemampuan calon suami, tanpa merendahkan calon istrinya.

Bagimu yang kebetulan tengah bersiap menuju pelaminan, berikut beberapa rekomendasi mahar secara umum dan unik, lengkap beserta hukum mahar dalam agama Islam. Mari simak ulasannya bersama-sama!

1. Hukum mahar dalam Islam

Ilustrasi mahar logam mulia (instagram.com/pinus.project)

Mahar adalah harta pertama yang diberikan oleh suami kepada istri dalam prosesi akad nikah. Dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i disebutkan bahwa memberi mahar itu wajib hukumnya. Kitab tersebut juga menyebutkan, mahar pernikahan wajib bagi suami agar sempurna akad nikahnya. Meski demikian, sebagian ulama berpendapat keberadaan mahar bukanlah syarat pernikahan dan tidak termasuk dalam rukun nikah.

Akan tetapi, meniadakan mahar dalam pernikahan bisa menimbulkan dosa bagi suami lantaran ia tidak memenuhi hak pertama istri yang diwajibkan padanya. Dalil tentang mahar tersebut di dalam Al-Qur'an, yaitu pada surat An Nisa ayat 4 yang artinya:

"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya," (QS. An Nisa ayat 4).

Dipersiapkannya mahar juga bisa jadi simbol kesungguhan niat seorang laki-laki untuk meminang perempuan yang ia cintai dan menghalalkannya menurut hukum dan agama. 

Baca Juga: [QUIZ] Pilih 1 Desain Cincin Kawin, Ini Zodiak Jodohmu

2. Jenis mahar

Ilustrasi pernikahan (pexels.com/UKL PHOTOGRAPHY)

Dilansir dari laman Universitas An Nur Lampung, para ulama berpendapat ada tiga jenis mahar pernikahan yang bisa diberikan suami kepada istrinya saat akad nikah, yaitu tsaman atau uang, mutsamman atau benda, dan ujroh atau jasa. Berikut penjelasannya:

  • Tsaman atau uang

Para ulama sependapat bahwa bentuk mahar bisa berupa uang (tsaman). Hal ini merujuk pada praktik pernikahan Rasulullah dan para sahabat yang biasa memakai uang sebagai mahar pernikahan mereka. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa mahar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebesar 500 dirham, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut :

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Berapakah maskawin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? ”Dia menjawab: “Mahar beliau terhadap para istrinya adalah 12 uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu? ”Abu Salamah menjawab: “Tidak.” Aisyah berkata: “1/2 uqiyah, jumlahnya (total) sama dengan 500 dirham. Demikianlah maskawin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk masing-masing istri beliau.” (HR. Muslim)

  • Mutsamman atau benda

Selain uang, para ulama sepakat bahwa mahar boleh berupa benda (mutsamman) yang memiliki nilai jual. Hal ini juga merujuk pada praktik pernikahan para sahabat yang diakui oleh Rasulullah. Di antara para sahabat ini ada yang memberikan mahar berupa barang kepada istrinya, mulai dari emas hingga sepasang sandal. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis berikut :

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu : bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat bekas kuning pada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu, maka beliau bersabda: “Apa ini?” Abdurrahman menjawab: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku baru menikahi wanita dengan maskawin berupa emas seberat biji kurma.” Lalu beliau bersabda: “Semoga Allah memberkati perkawinanmu, adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari Muslim)

Meski benda diperbolehkan sebagai mahar, namun para ulama memberikan beberapa syarat sahnya sebuah mahar. Syarat itu adalah memiliki nilai, suci atau tidak najis, bermanfaat, bisa diserahkan, dan diketahui keberadaannya.

  • Ujroh atau jasa

Terakhir adalah ujroh atau jasa. Para ulama sepakat bahwa mahar bisa berupa pemberian manfaat kepada istri. Bisa berwujud manfaat dari benda seperti kendaraan atau perbuatan yang bermanfaat seperti mengajari membaca Al-Qur'an.

Hal ini didasarkan kepada ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang mahar dari pernikahan Nabi Musa ’alaihis salam, dengan anak gadis Nabi Syuaib ’alaihis salam, yang berupa jasa pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Musa ’alaihis salam.

Perlu diingat bahwa dalam Islam, adanya mahar tidak ditujukan untuk memberi 'harga' pada perempuan yang hendak dinikahi. Sebab pernikahan bukanlah ajang jual-beli. Maka dari itu, nilai sebuah mahar pernikahan mempunyai jumlah dan ukuran yang relatif sehingga bisa disesuaikan dengan kemampuan dan kepantasan kedua calon mempelai.

Ada dua pandangan para ulama mengenai jumlah minimal mahar yaitu pertama, menurut Imam Syafii, Ahmad, Ishaq, Abu Tsur, dan Fuqaha` Madinah dari kalangan Tabi’in, berpendapat tidak ada batasan minimal soal jumlah mahar. Begitu pula dengan Ibnu Wahab, seorang ulama dari kalangan Madzhab Maliki. Menurut pendapat mereka, segala sesuatu yang bisa dijual-belikan dan bernilai maka dapat dijadikan mahar pernikahan.

Kedua, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sepakat bahwa mahar itu harus ditentukan jumlah minimalnya. Keduanya mengemukakan tentang adanya ketentuan minimal mahar, namun mereka berselisih mengenai jumlahnya.

Iman Abu Hanifah berpendapat, jumlah minimal mahar di angka 10 dirham atau yang senilai dengannya. Sementara Imam Malik berpendapat, nilai minimal mahar itu seperempat dirham timbangan atau senilai dengan perak seberat 3 dirham timbangan, atau seperempat 4 dirham dan perak seberat 3 dirham timbangan.

Kesimpulannya, dari pendapat pertama jumlah minimal mahar dan maksimalnya tidak dibatasi. Sedangkan kesimpulan dari pendapat kedua adalah ada ketentuan jumlah minimal mahar tapi, tidak dengan jumlah maksimalnya. Semua itu bisa disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing.

Baca Juga: Muhammadiyah: Kawin Kontrak Bermasalah Secara Syariah dan Sosial

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya