TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cara Move On Pasca Putus dari Toxic Relationship, Ini Penjelasan Ahli

Hubungan sehat akan membantumu bertumbuh

IDN Times/Alfisyahrin Zulfahri Akbar

Bukan hal mudah buat keluar dari toxic relationship. Beberapa orang alami trauma, bahkan sulit membangun relasi baru karena dampak fisik dan psikologis yang muncul. IDN Times mengulik lebih dalam isu toxic relationship melalui kuliah daring dengan mengambil tema Cara Move On Pasca Putus dari Toxic Relationship.

Bersama narasumber Sri Juwita Kusumawardhani, M.Psi, Psikolog, IDN Times Online Class diselenggarakan pada Sabtu (11/4) pukul 15.00-17.00 WIB dan dihadiri oleh kurang lebih 243 peserta.

Penasaran bagaimana kiat buat move on dari hubungan yang gak sehat ini? Mari simak cara move on pasca putus dari toxic relationship berikut ini!

1. Ketahui ciri-ciri toxic relationship dan beri waktu bagi diri untuk memahaminya

IDN Times/Rizka Yulita & Anjani Eka Lestari

Perkara awal toxic relationship adalah kegagalan mengidentifikasi hubungan yang gak sehat. Orang bisa jadi gak sadar bahwa ia ada dalam hubungan yang merugikan, baik untuk dirinya maupun pasangan.

Sebagian lagi menyangkal karena menganggap perilaku toxic pasangan adalah wajar atau bahkan mengelak bahwa dirinya sebenarnya yang merupakan racun dalam hubungan.

Sri Juwita Kusumawardhani, M.Psi, Psikolog, merangkum ciri-ciri dari toxic relationship. Beberapa di antaranya adalah komunikasi yang berlebihan, isolasi (menjauhkan diri dari support system), cemburu ekstrem, dan mengecilkan perasaan seperti meremehkan apa yang dirasakan pasangan dengan kata "Ah, lebay!", "Gitu aja, masa sedih?", dan "Gitu aja baper".

 "Kalau lagi senang, nempel terus. Abis itu, jeder, berantem gila-gilaan. Terus, mungkin saling maki-maki dan saling kasar. Kemudian belum lama baikan, lalu berantem lagi. Jadi, kayak hidup di drama dan itu pasti melelahkan secara emosional," tambah Wita, panggilan akrab Sri Juwita Kusumawardhani.

Kemudian tanda selanjutnya adalah kekerasan, baik fisik psikologis, seksual, dan ekonomi.

"Kekerasan sering kali masyarakat umum menganggap seperti dipukul, dijambak, ditendang. Padahal sebenarnya, banyak kekerasan lain secara psikologis seperti membatasi pergaulan, menghina, atau mengancam. Ancaman seperti 'Kalau kamu gitu terus, nanti aku bunuh diri'. Padahal tanggung jawab hidup seseorang bukan di pasangannya, namun di dirinya sendiri," terang Wita.

2. Fase putus cinta dibagi menjadi tiga, yaitu fase shock atau tidak percaya, fase refleksi dan emosional, serta fase penerimaan

IDN Times/Rizka Yulita & Anjani Eka Lestari

Wita membagi fase putus cinta menjadi tiga. Fase pertama adalah shock yang menunjukkan tidak percaya, terkejut, dan perasaan hampa.

Fase shock dimulai dari denial, di mana orang yang mengalami putus cinta, masih bingung, kaget dan gak percaya kalau dia sudah tidak bersama pasangannya. Ada kemungkinan buat menghubungi lagi karena sebelumnya ada rutinitas. Jadi, sebenarnya putus bukan hanya sama pasangan, melainkan juga kebiasaan saat bersama pasangan. 

Kedua ada fase refleksi dan emosional yang terdiri dari perasaan sedih, kecewa, marah, cemas, bersalah, bingung, perasaan hancur hingga depresi.

"Makin bergejolak, mungkin mix feeling bisa macam-macam. Mungkin bisa jadi marah, kecewa, cemas dan ini bukan cuma karena menangisi putus cintanya, tapi bisa jadi sedih dan marah sama diri sendiri. Mempertanyakan kenapa aku baru berani mengambil keputusan sekarang atau marah sama mantan pasangan yang jahat. Bisa kompleks emosinya", pungkas Wita.

Sementara fase ketiga, ada penerimaan yang terdiri dari bagaimana dia bisa memahami, menyesuaikan, menerima, memaafkan, dan membenahi hidup kembali. Tahap ini adalah adalah tahap di mana seseorang menyadari bahwa itu yang terbaik buat dia dan mantan pasangan. Ia sudah mau menyesuaikan diri dan memaafkan.

"Memaafkan dalam hal ini biasanya tricky ya, karena rasanya gak adil untuk kita yang sudah disakiti terus kita memaafkan. Padahal ketika kita sudah memaafkan, artinya kita bisa lebih ringan karena tidak membawa beban-beban emosi, amarah, kepada si pelaku. Kita mulai fokus pada target masa depan," tambah Wita.

Baca Juga: Pelajaran Cinta Film 500 Days of Summer, Obat buat yang Susah Move On

3. Beberapa cara move on adalah dengan mendekatkan diri dengan support system dan mencapai target pribadi

IDN Times/Rizka Yulita & Anjani Eka Lestari

Ada beberapa tahap move on dari toxic relationship. Pertama, membuat deadline untuk bersedih.

"Misalnya, sebulan. Jadi, sebulan sedih it's ok, tapi habis itu berani bangkit lagi untuk memulai hidup. Belajar memaafkan dan melepaskan karena proses itu masih terus terjadi, gak apa-apa karena butuh waktu," terang Wita. 

Lalu, ada boundaries yang merupakan usaha meminimalkan kontak dengan mantan dengan cara gak perlu berteman hingga gak perlu terburu-buru menjalin hubungan baru.

Setelah itu ada eksplorasi, di mana orang yang habis putus, mau mengevaluasi diri dengan menggali isu keluarga masa kecil, mempelajari pola hubungan, mengenali kebutuhan saat ini, dan harapan masa depan.

Evaluasi ini bisa mencakup pertanyaan seperti:

  • Bagaimana isu masa kecil, isu keluarga, hubungan orangtuamu? Jawaban ini akan membantu untuk mengetahui pandangan kamu tentang bagaimana seharusnya hubungan laki-laki terhadap perempuan.
  • Kamu, selama ini, suka sama orang seperti apa? Apa kamu suka orang karena tertarik sama faktor eksternal saja atau kualitas dalam diri orang yang kamu suka?
  • Apa yang kamu cari dalam hubungan?
  • Sebelum tahu kamu butuh orang yang bagaimana, kamu perlu tahu, kamu orangnya seperti apa?
  • Kamu punya target apa di masa depan? Kamu menginginkan hubungan seperti apa bersama pasangan?

Kemudian yang terakhir adalah mendekatkan diri pada support system seperti keluarga, saudara, dan teman agar punya networking yang lebih positif. Lalu, melakukan hobi hingga mencapai target pribadi. 

4. Setelah keluar dari toxic relationship, bagaimana seharusnya memulai hubungan yang sehat?

IDN Times/Alfisyahrin Zulfahri Akbar

Ada beberapa ciri hubungan sehat. Pertama, lebih perhatian terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan pasangan. Ini juga berarti adanya kepedulian dengan menyediakan dukungan, afeksi, dan juga semangat menjalani serta melewati tantangan hidup.

Kedua, ada open communication yang merupakan pemberian kata positif. Kamu dan pasangan nyaman menyampaikan apa yang jadi isi pikiran dan hati, bisa nyambung kalau ngobrol, serta memberikan kata yang membangun dibanding mematahkan semangatmu.

Hal yang gak kalah penting adalah kepercayaan. "Penting banget punya trust dalam hubungan tentunya karena kalau tidak ada kepercayaan, buat apa menjalin suatu hubungan? Kita percaya, pasangan kita bisa diandalkan, bisa membuat kita merasa aman nyaman bersama dia," terang Wita.

Terakhir adalah mutual respect, di mana pasangan bisa saling menghargai sebagai individu yang unik dengan preferensi yang berbeda. Meski beda, namun kalian boleh saling memberi saran, saling mendengarkan, serta mempertimbangkan.

Baca Juga: 7 Cara Move-On Ini Ampuh, Layak Coba Karena Sudah Teruji Secara Ilmiah

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya