Untuk Lelaki Pencipta Luka, Hari Ini Aku Berhenti Menunggumu

#14HariBercerita Karena sekuat apa pun aku menunggu, senja kita tak lagi sewarna.

Langit telah bergegas petang. Pada serpih harinya yang gugur, kutipan senja yang masih hangat hanyut dalam lebur tanya. Kucoba merakit asa yang mengabur, sambil tersenyum sedih. Aku menepi membelah malam, menyesap butir-butir rindu yang menguar. Tiba-tiba, sesakku memekik lantang, nyaring lengkingnya dalam dekap bisik panjang.

Tak mudah berbulan-bulan menyimpan rindu. Tak mudah berhari-hari menyusun rencana agar bisa bertemu walau sekejap mata. Benar katamu, "kita akan mati berperang melawan jarak". Kini aku tahu, suratmu tak lagi mengambang di udara ataupun melewati hujan dan petir, melainkan tertahan di sudut kamarmu, bersama serpihan-serpihan rindumu yang usang.

Rindu pecah menjadi abu. Asa lindap membaur debu. Purnama rebah merundung kalbu. Pada genang segala kenang, lelapku melarung sebayang sendu, yang mengapung di ingatan. Katanya, ia akan lenyap di sudut kota, bersama seuntai senyum di batas senja. Hari ke hari, sebingkai senyum mesra itu membias di tapak jingga, merona di pekat seroja.

Fotomu bersamanya terlihat bahagia sekali. Entah bagaimana aku harus mengatakannya, aku juga ikut bahagia. Aku bahagia melihatmu tersenyum se-semringah itu. Matamu berbinar hingga memantul ke arahku. Tapi jangan tertawa ya, kenapa fotomu menjadi mimpi buruk bagiku? Sudah kucoba untuk membutakan mata dan menulikan telingaku tentangmu, tapi bayangmu justru datang menina-bobokkanku. Lalu sekarang, siapa yang kini menjadi raksasa pengganggu kebunku?

Kemarin malam di kotaku, purnama sedang bercahaya. Teraaang sekali, sampai-sampai aku tak perlu lagi menghidupkan lampu teras rumahku. Tiba-tiba, aku mendengar seorang perempuan tertawa keras-keras. Semakin lama semakin keras. Tawanya memecah hening, namun begitu sendu. Kulihat cermin, ternyata perempuan itu adalah aku. Aku! Hahaha, dan aku masih tertawa!!! Kisah ini begitu lucu.

dm-player

Letup tawa itu mulai senyap dari ingar. Pada pandang matanya, digoreskannya secawan pilu. Berita hari itu, kutasbihkan pada gemintang, berharap akan pudar pada detik waktu. Namun saat kususuri, luka masih melangit di belantara matamu. Penyair benar: kepalsuan memanglah abadi.

Malam-malamku kini sepi. Puisi-puisi yang kauterbangkan ke ponselku kini tak ada lagi. Suara serakmu di telepon tak lagi kudengar. Detik mulai berlari semakin jauh. Malam semakin sibuk menyekap suara. Perempuan yang sedang dalam pelukan itu tak lagi bernada manis. Kini merindumu bukan lagi menjadi sesuatu yang mengerikan, tetapi dosa besar yang ampunannya entah harus kutemukan di mana.

Jauh sebelum kita melarung kisah, aku sudah khawatir. Aku merasa kau akan pergi, dan benar, kau sudah pergi bahkan tanpa kuminta. Aku benci hal yang tiba-tiba. Aku benci tiba-tiba aku menyukaimu, tiba-tiba lagi aku harus menghapus rasaku secepat kepergianmu. Lantas, masih pantaskah kugantungkan namamu di langit-langit kamarku, agar malaikat-malaikat penjaga tidurku bisa selalu meng-aminkannya?

Katamu, kita berhak untuk tidak saling menggali lagi. Tenang saja. Setelah ini, kita akan kembali pada takdir yang telah kita tekuni dari awal. Aku sadar, kini senja tak lagi mengairi senyummu. Nyalang matamu kini menjadi bahasa duka. Puisi-puisiku berhamburan mematahkan namamu. Dan kini kita hanya bernama kenangan.

Kukayuh langkah lamat-lamat, kusapu keping-keping rindu yang berserakan, kutakar doa yang mulai menua, agar nantinya, senja tak lagi menghidupkanmu. Agar nantinya, waktu memapahmu semakin jauh. Agar nantinya, nyeri di dada kiri akan sembuh.

Ana Zuhri Photo Writer Ana Zuhri

Aku tak selalu tulisanku // IG: @naa7x_

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya