Apa Itu Nikah Mut’ah? Penjelasan dan Hukumnya dalam Islam

Menurut ulama Sunni Sayyid Sabiq, nikah mut’ah disebut juga dengan nikah sementara atau nikah terputus. Nikah mut’ah berarti bahwa seorang laki-laki menikahi seorang perempuan hanya untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Disebut nikah mut’ah karena si laki-laki bermaksud bersenang-senang untuk sementara waktu.
DikutipTatanan Negosiasi dalam Pernikahan Mut'ah (Farihanto, Hakim, dan Pinkan, 2022), nikah mut'ah adalah bentuk pernikahan terlarang yang dijalin dalam waktu singkat untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Hal ini diperbolehkan pada masa-masa awal pembentukan ajaran Islam, sebelum hukum Islam sepenuhnya ditetapkan.
Adapun nikah mut’ah sudah menjadi kebiasaan di masyarakat Arab pada zaman Jahiliyah untuk menikahi seorang wanita hanya untuk sementara waktu. Meskipun Nabi Muhammad SAW mengizinkan pernikahan mut'ah selama perjalanan dan perang sebelum proses hukum Islam selesai, beliau kemudian melarangnya dan menjadikannya haram secara permanen. Berikut hukum nikah mut’ah menurut Islam yang perlu kamu ketahui.
1.Hukum nikah mut'ah

Ibnu Mas'ud meriwayatkan:
"Kami berada dalam sebuah ekspedisi bersama Rasulullah SAW dan tidak membawa istri-istri kami, maka kami bertanya kepada Rasulullah SAW 'Apakah kami tidak boleh mengebiri diri kami sendiri?' Beliau melarang kami melakukan hal tersebut, tetapi mengizinkan kami untuk melakukan akad nikah dengan seorang wanita sampai batas waktu yang telah ditentukan, dengan memberikannya sebuah pakaian sebagai mahar." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, pernikahan mut'ah memberikan solusi bagi dilema yang dihadapi oleh pihak yang lemah dan pihak yang kuat. Ini juga merupakan langkah menuju penyempurnaan hukum dari kehidupan pernikahan yang lengkap yang menjunjung tujuan-tujuan kesucian, reproduksi, cinta, dan kasih sayang.
Awalnya, beliau mengizinkan nikah mut'ah sebagai alternatif dari zina dan pada saat yang sama mendekati hubungan pernikahan yang permanen. Namun, kemudian beliau melarangnya secara mutlak, hingga hari kiamat.
2.Kapan nikah mut'ah dilarang dalam Islam?

Islam adalah agama yang sangat praktikal dan Al-Qur'an yang berisi aturan-aturan Islam, diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW selama dua puluh tiga tahun. Pada awal sejarah Islam, reformasi dilakukan secara bertahap dan bukan sekaligus, sehingga memungkinkan individu yang lebih lemah untuk menerapkan ajaran-ajaran baru ini.
Dilansir True Islam, hal ini seperti bagaimana Al-Qur'an mengadopsi cara bertahap dalam melarang arak dan riba, karena kedua kejahatan ini tersebar luas dan berakar kuat dalam masyarakat sebelum Islam. Oleh karena itu, larangan Islam terhadap alkohol tidak diwahyukan pada hari pertama.
Sebaliknya, pelatihan moral dan spiritual yang diperlukan diberikan terlebih dahulu dan perintah untuk melarang alkohol datang tiga belas tahun kemudian. Demikian juga praktik mut'ah, sebelum Islam dikurangi dan akhirnya dihentikan pada waktu yang tepat oleh Allah SWT.
“Bersikaplah lemah lembut. Mut'ah dihalalkan pada masa awal Islam, (bagi) orang yang terdesak karena terpaksa, sebagaimana dihalalkannya bangkai, darah, dan daging babi, kemudian Allah mengokohkan (perintah) agama-Nya dan mengharamkannya.” riwayat Ibnu Abu Amrah Al-Anshari RA.
3.Nikah mut'ah masa kini

Nikah mut'ah memiliki pro dan kontra tersendiri, tetapi tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa hal ini merupakan bentuk prostitusi. Kaum Sunni bahkan menyebutnya sebagai sebuah tindakan yang penuh dengan nafsu dengan kedok agama. Oleh karena itu, praktik semacam ini harus dihentikan, sebagaimana yang tertera pada ayat Al-Qur’an:
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (An Nahl: 72).
Menurut Sheikh Yusuf Al-Qaradawi, ayat ini berarti pernikahan dalam Islam adalah sebuah kontrak yang mengikat yang didasarkan pada niat kedua pasangan untuk hidup bersama secara permanen. Gunanya untuk mencapai titik sebagai individu, manfaat ketenangan, kasih sayang, dan belas kasih.
Tentunya, hal ini tidak sejalan dengan nikah mut'ah yang hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwat seksual semata. Dalam jenis pernikahan ini, baik pihak perempuan maupun pihak laki-laki tidak memiliki niat untuk memiliki keturunan.
Dengan demikian, nikah mut'ah dianggap merugikan bagi pihak perempuan. Ini karena terkesan seperti dimanfaatkan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lebih dari sekadar objek.