Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apakah Jatuh Cinta itu Ibarat Burung dan Sangkar?

flickr.com

“Jika suatu saat ada sebuah sangkar emas yang terbuka pintunya untukmu, kamu memilih memasukinya atau terbang mengelilingi dunia?” Rein bertanya datar, tatapannya kosong, melirik Dista yang tengah sibuk menyikati sepatu boots-nya.

“Tentu saja mengelilingi dunia! Dista menjawab dengan mantap, siapa pula yang tidak ingin terbang melintasi gunung dan samudra. Rein hanya mengangguk pelan.

“Bagaimana jika sayapmu terluka, apa kamu masih ingin terbang mengelilingi dunia atau beristirahat sejenak di dalam sangkar emas tersebut?”

“Beristirahat sejenak di dalam sangkar emas tersebut. Yap, setelah sayapku sembuh aku akan terbang kembali”.

“Bagaimana jika kamu terlanjur jatuh hati kepada pemilik sangkar burung tersebut dan bagaimana jika seluruh duniamu ialah pemilik sangkar tersebut. Apa kamu masih ingin mengelilingi dunia?”

Dista sontak menoleh, ia tahu ia tidak perlu menjawab pertanyaan retorika ini. Ia meletakan boots yang sedang ia sikat, mendekati Rein yang tengah bergelantung memeluk cabang pohon. Dengan lincah memanjat pohon, Dista sudah tepat berada di sisi Rein, menertawakan Rein.

Gadis yang biasanya selalu menertawakan kesedihan dan kebodohannya kini nampak tengah menikmati kesedihannya sekaligus kebodohannya karena telah menelan kata-katanya sendiri.

Default Image IDN

Beberapa bulan yang lalu Rein mengatakan bahwa ia tidak akan pernah mau jatuh hati kepada siapapun. Sungguh ajaib memang benda bernama perasaan tersebut, mudah sekali ia berbolak-balik. Mendinginkan hati yang beku dan membekukan hati yang hangat, hanya dalam hitungan detik. Benda yang membuat seseorang bisa terlihat benar benar berbeda dalam sekejap. Sebuah benda yang bisa menjawab pertanyaan atas perubahan sikap pada seseorang.

Kini Rein benar benar berharap bisa memutar waktu, dengan teliti mengantarkan surat tanpa perlu salah alamat agar ia tidak perlu bertatapan dengan kedua bola mata itu. Kedua bola mata yang membekukan kakinya untuk pertama kalinya dan membekukannya di dunia nyata, untuk kali itu dunia nyata terasa lebih indah daripada dunia mimpi.

“Aku percaya setiap pertemuan sudah digoreskan, sekalipun itu hanya tatapan yang sederhana”, ujar Dista dengan nada menggoda.

Rein menghela napas. Menggoyang-goyangkan tangannya, benar-benar nampak seperti seekor sluth. “Kamu tahu, aku benci urusan seperti ini. Aku benci saat seseorang sudah mulai memasuki hidupku, karena saat itu aku mulai harus belajar untuk melepaskannya setiap hari dan aku benci melepaskan apa yang sudah ada dalam hidupku.

Default Image IDN

Aku berpikir cinta itu seperti burung, seperti katamu. Mungkin akan memasuki sebuah sangkar saat sedang terluka sayapnya, kemudian terbang kembali. Bagaimana caranya menjadi pemilik sangkar yang membuat seekor burung berhenti terbang?”

Dista hanya menggeleng pelan, tidak mengerti harus menjawab apa. Aku bukan seekor burung, bagaimana aku bisa tahu.

“Mungkin mengunci sangkar tersebut?”

Rein menggeleng.

Dista tetap menerka, “Meletakan sebuah cermin agar burung itu merasa memiliki teman? Menaruh burung lawan jenisnya di dalam sangkar?”

Rein menghela napas, sebal, “Memangnya se-ekor burung terbang hanya untuk mencari teman hidup saja?, ia tertawa pelan. “Aha! aku tahu. Aku harus tahu dulu apa yang dicari burung tersebut hingga membuatnya terbang jauh, lalu menyediakan apa yang ia cari di sangkarku agar ia tetap tinggal dalam sangkar tersebut.” Rein tersenyum lebar.

Dista hanya menatap Rein dengan tatapan heran, begini ya kalau seseorang sedang jatuh hati. Ia tertawa, turun dari pohon. Kembali menyikat boots-nya sambil bersiul, sesekali melirik Rein yang matanya tengah kosong menatap rerumputan. Sibuk membuat berbagai skenario dalam kepalanya.  Deru kereta terdengar samar samar, angin berhembus pelan menendang gumpalan awan kolumbus yang kelabu, matahari sudah siap berganti dengan bulan. Di tengah mega langit Rein bergumam.  

“Apa aku harus menjadi lem dalam sangkar agar burung itu tidak akan terbang lagi?”

Dista benar benar tertawa, benar kata pepatah. Seseorang bisa menjadi sangat bodoh saat sedang jatuh cinta.

“Itu bukan cinta, itu egoisme. Mengorbankan kebahagian orang lain demi kebahagian diri sendiri”

Rein menatap Dista, masih sibuk membersihkan kotoran kambing dari bootsnya sambil berceloteh.

“Kita sering dibiaskan oleh mana cinta dan mana egoisme, jika kita berpikir bahwa cinta hanya soal kebahagiaan untuk diri kita sendiri mungkin kita belum mengerti makna cinta secara dalam”. Dista melirik Rein, menangkap kebingungan yang ada dimata gadis berwajah oriental tersebut.

“Mungkin banyak yang bertanya, apa itu cinta? Apakah cinta benar benar tanpa logika?  Aku juga termasuk orang yang pernah mempertanyakan hal seperti itu kemudian yang aku temukan ialah”, Dista terdiam, cukup lama.

Rein memandangi Dista dengan mata berbinar, menunggu jawaban yang biasanya selalu membuat Rein mengangguk, “Benar juga ya”. Dista hanya tersenyum tipis.

“Yang kutemukan ialah aku belum menemukan apa-apa”, Dista terkekeh. Rein hanya membalas Dista dengan tatapan sinis. “Apakah cinta benar-benar seperti burung?” Gumam Dista.

“Entahlah”.

Default Image IDN

Matahari sudah sempurna hilang dari pandangan kedua bocah yang tengah bingung mengenai cinta. Matahari boleh saja bergelincir, namun pertanyaan mereka tidak akan pernah bergelincir dari benak, entah sampai kapan. Dalam diam Rein percaya, suatu saat ia akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Entah kapan, melalui siapa dan bagaimana caranya. Entah melalui sebuah pengalaman yang manis ataupun pahit.

 

#CintaDalamKata

Share
Topics
Editorial Team
Arini Amirah Hidayat
EditorArini Amirah Hidayat
Follow Us