ilustrasi pasangan bertengkar (IDN Times/Rizka Yulita & Anjani Eka Lestari)
Perkara awal toxic relationship adalah kegagalan mengidentifikasi hubungan yang gak sehat. Orang bisa jadi gak sadar bahwa ia ada dalam hubungan yang merugikan, baik untuk dirinya maupun pasangan.
Sebagian lagi menyangkal karena menganggap perilaku toxic pasangan adalah wajar atau bahkan mengelak bahwa dirinya sebenarnya yang merupakan racun dalam hubungan.
Sri Juwita Kusumawardhani, M.Psi, Psikolog, merangkum ciri-ciri dari toxic relationship. Beberapa di antaranya adalah komunikasi yang berlebihan, isolasi (menjauhkan diri dari support system), cemburu ekstrem, dan mengecilkan perasaan seperti meremehkan apa yang dirasakan pasangan dengan kata "Ah, lebay!", "Gitu aja, masa sedih?", dan "Gitu aja baper".
"Kalau lagi senang, nempel terus. Abis itu, jeder, berantem gila-gilaan. Terus, mungkin saling maki-maki dan saling kasar. Kemudian belum lama baikan, lalu berantem lagi. Jadi, kayak hidup di drama dan itu pasti melelahkan secara emosional," tambah Wita, panggilan akrab Sri Juwita Kusumawardhani.
Kemudian tanda selanjutnya adalah kekerasan, baik fisik psikologis, seksual, dan ekonomi.
"Kekerasan sering kali masyarakat umum menganggap seperti dipukul, dijambak, ditendang. Padahal sebenarnya, banyak kekerasan lain secara psikologis seperti membatasi pergaulan, menghina, atau mengancam. Ancaman seperti 'Kalau kamu gitu terus, nanti aku bunuh diri'. Padahal tanggung jawab hidup seseorang bukan di pasangannya, namun di dirinya sendiri," terang Wita.