Beberapa orang yang hobi play victim memilih menyampaikan ketidakpuasan yang mereka rasakan melalui nada bicara yang datar atau perubahan sikap yang tiba-tiba. Mereka jarang menyampaikan alasan, tetapi berharap orang lain memahami maksudnya. Pola ini membuat lawan bicara merasa harus menebak-nebak apa yang terjadi. Dalam banyak kasus, kebingungan itu justru membuat suasana menjadi semakin tegang.
Cara ini sering membuat hubungan menjadi rumit karena tidak ada penjelasan yang cukup jelas. Orang sekitar akhirnya mudah merasa bersalah meski tidak tahu letak masalahnya. Lama-kelamaan, interaksi berubah penuh tekanan emosional. Pola seperti ini sering dikaitkan dengan play victim karena ia tampak sebagai pihak yang terus terluka tanpa memberikan dialog yang terbuka.
ilustrasi cerita masalah hidup (pexels.com/Tirachard Kumtanom)
Ada orang yang menyimpan masalah lama tetapi menjelaskannya dengan alasan yang sulit diverifikasi, misalnya “aku merasa disisihkan dari pertemanan” atau “aku tidak pernah didengar”. Kalimat seperti ini memang valid sebagai perasaan, tetapi tidak selalu menggambarkan situasi yang sebenarnya. Ketika alasan tersebut terus diulang, ia tampak seperti pihak yang terus dilukai. Padahal orang sekitar tidak tahu apa dan siapa yang ia maksud.
Secara tidak langsung, mental play victim seperti ini membuat masalah tampak terus berkembang meski sebenarnya tidak ada konflik baru. Lingkungan menjadi kaku karena semua orang takut mengulang hal yang ia anggap melukai. Pada akhirnya, ia yang memainkan peran paling tersakiti, sedangkan orang lain harus menjaga sikap berlebihan.
Perilaku playing victim sering muncul dari cara seseorang membaca situasi dan menempatkan dirinya dalam posisi yang paling aman. Memahami kebiasaan mereka akan membantu kamu menjaga interaksi tanpa harus menyalahkan siapa pun. Kalau kamu pernah menjumpai orang dengan mental serupa serupa, apa yang kamu lakukan saat itu?