INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan Millennials

Dampaknya menimbulkan luka, trauma hingga gangguan mental

Cerita pahit para selebriti yang terkuak ke publik membuka mata bahwa perselingkuhan masih menjadi isu problematik. Hubungan yang semula dinilai sempurna dan terlihat baik-baik saja di layar kaca, ternyata menyisakan pilu. Urusan cinta untuk kalangan muda memang pelik dan tak ada habisnya bila diulik. 

Komitmen dinodai, seolah kesetiaan berharga murah, bahkan tak ada artinya. Meski menyakitkan, tetap saja selingkuh menjadi tren yang menarik perhatian banyak orang. Benarkah kesetiaan berharga mahal sehingga generasi Z dan Millennial menganggap perilaku ini wajar?  

IDN Times menguak fenomena perselingkuhan melalui sudut pandang anak muda dengan melakukan survei selama kurun waktu 3 bulan, sejak Juli hingga September 2023. Pandangan beragam disuarakan oleh 350 responden yang berhasil terhimpun. Dalam artikel ini, terdapat berbagai fakta menarik terkait perselingkuhan bagi generasi muda yang ditinjau dari kacamata pelaku, korban, dan psikolog sebagai ahli.

1. Survei: 35,7 persen Gen Z dan Milenial mengaku pernah terlibat perselingkuhan dan sebagian lainnya sedang menjalin hubungan dengan lebih dari satu orang

INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan MillennialsInfografis: Persepsi Perselingkuhan dan Dampaknya pada Hubungan di Masa Depan. (IDNTimes/Aditya Pratama)

Perselingkuhan erat kaitannya dengan pengkhianatan dan kerapuhan dalam hubungan. Mengenai pandangan ini, generasi muda memiliki berbagai penilaian personal. Dari total 350 responden yang terkumpul, mayoritas pengisi survei adalah perempuan (81,9 persen) diikuti responden laki-laki (18,6 persen).

Kalangan muda yang turut bagikan pandangnya terkait isu tersebut, tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan mayoritas berdomisili di Pulau Jawa sejumlah 86,3 persen. Rata-rata usia responden berkisar antara 21-30 tahun (54, 6 persen), menyusul responden berusia di atas 30 tahun (37,4 persen).

Status hubungan dari para responden juga beragam, termasuk beberapa di antaranya menjalin ikatan dengan lebih dari satu orang. Angka teratas diisi oleh responden berstatus single atau tidak sedang terikat dengan siapa pun (38,3 persen), di posisi kedua responden mengaku sudah menikah (37,7 persen). Sementara sebagian responden (3,4 persen) mengaku sudah menikah dan sedang menjalin hubungan di luar pernikahan dengan orang lain, sisanya (1,1 persen) berpacaran dengan lebih dari satu orang. 

Meski pahit dan menyakitkan, pengalaman ini ternyata banyak dialami oleh Gen Z dan Millennial. Terdapat 39,1 persen orang mengaku tak pernah terlibat perselingkuhan, namun 35,7 persen diantaranya menyatakan pernah menjadi korban tapi tidak pernah menjadi pelaku. Sementara 19,1 persen pernah menjadi korban sekaligus pelaku,  sisanya sebanyak 6 persen mengaku hanya pernah menjadi pelaku. 

2. Korban perselingkuhan menilai adanya kesempatan dan rasa bosan menjadi penyebab utama terjadinya pengkhianatan

INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan MillennialsInfografis: Persepsi Perselingkuhan dan Dampaknya pada Hubungan di Masa Depan. (IDNTimes/Aditya Pratama)

Perselingkuhan dinilai sebagai bentuk pengkhianatan dalam hubungan dimana salah satu pihak ingkar janji terhadap komitmen yang dibentuk. Psikolog Klinis, Ratih Ibrahim, menyimpulkan selingkuh sebagai perilaku keluar dari komitmen kesetiaan terhadap pasangan. Definisi tersebut merujuk pada seluruh tindakan berpaling kepada orang lain, baik dari skala besar maupun kecil, misalnya one night stand, chatting dan lain sebagainya.

Meski selingkuh bukan perbuatan yang dapat dibenarkan, terdapat beberapa penyebab seseorang melakukan pengkhianatan. Menurut pandangan orang-orang yang pernah menjadi korban, alasan terbesar perselingkuhan adalah adanya kesempatan dan peluang (46,6 persen). Selain itu, hasrat seksual dan perasaan bosan turut menjadi alasan kuat bagi seseorang berselingkuh (36,4 persen). 

Alasan di atas selaras dengan keterangan Ratih yang menyebutkan beberapa pemicu lainnya dari kasus perselingkuhan. Pertama, tentunya salah satu pihak jatuh cinta pada orang di luar hubungannya, kejadian ini biasanya tidak terduga dan terencana. Kedua, tren perselingkuhan meningkat, banyak orang-orang di sekitar melakukan perbuatan serupa. Selain kedua hal tersebut, ada juga faktor kebosanan akan hubungan, kebutuhan libido atau gairah yang besar, faktor trauma karena melihat orangtua bercerai, hingga ketidakpercayaan akan kemampuan membina hubungan yang serius. 

Menghadapi pengkhianatan seperti mimpi buruk yang tiba-tiba datang tanpa pernah diprediksi sebelumnya. Kondisi psikologis seseorang yang terlibat perselingkuhan, terutama korban sebagai pihak terakhir yang mengetahui peristiwa ini, pasti terguncang. 

AN sebagai salah satu responden survei memberikan pendapatnya terkait perselingkuhan, “Sangat kesal dengan orang itu (orang yang berselingkuh_red). Kepercayaan terhadap orang itu menurun dan mungkin menghilangkan rasa simpati ke orang yang berselingkuh. Dia menjadi orang paling kejam di dunia. Untuk apa dia menikah kalau untuk menyakiti orang lain, apalagi jika sudah punya anak. Tentu pasangan akan merasa sangat sakit hati jika diselingkuhi, muncul perasaan seperti 'apakah aku seburuk itu sehingga dia selingkuh?’.” 

Jatuh cinta kepada orang yang keliru ternyata bisa menimbulkan masalah besar. Bagi sebagian orang, selingkuh menyebabkan rasa sakit hati bagi pasangan, bahkan melukai nilai dirinya. Tak jarang, proses ini memakan waktu yang panjang hingga mengganggu aktivitas, sebab kondisi psikologis tak stabil.

Beragam emosi negatif dirasakan korban perselingkuhan hingga membuat dirinya kurang nyaman, disampaikan Efnie Indrianie, psikolog anak, remaja dan keluarga dari Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung, “Ada kecenderungan mereka merasa harga dirinya lebih rendah, mulai insecure dengan kondisi diri. Bahkan kadang mereka merasa tidak percaya diri. Ada kecenderungan seperti itu.”

Pada tahap ini, peran ahli sangat diperlukan untuk membantu proses pemulihan. Nantinya, seseorang yang memilih mengobati luka diri dengan bantuan ahli akan dibantu memperbaiki self concept dalam dirinya. Kemudian, dibangkitkan hal-hal positif yang mungkin selama ini tereliminasi dari pikirannya. Tahap berikutnya, disampaikan Efnie, adalah proses terapi trauma.

3. Ada masalah dalam hubungan mendorong banyak orang untuk berselingkuh

INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan MillennialsInfografis: Persepsi Perselingkuhan dan Dampaknya pada Hubungan di Masa Depan. (IDNTimes/Aditya Pratama)

Separuh dari jumlah responden (50 persen) membenarkan sosok orang ketiga lebih menarik secara fisik daripada pasangan sebenarnya. Sebagian besar orang yang melakukan perselingkuhan juga mengungkap lebih nyaman atau enak di hati saat menjalin hubungan dengan selingkuhan daripada pasangan sebenarnya (63,3 persen). Padahal, sebagian besar orang yang berselingkuh akui merasa bersalah saat lakukan pengkhianatan terhadap pasangannya (81,8 persen). 

Responden berinisial EH melakukan perselingkuhan sebagai bentuk balas dendam terhadap pasangannya yang telah terlebih dahulu berkhianat. Perempuan yang sekarang berstatus single ini mengaku pernah menjadi korban sekaligus pelaku perselingkuhan, “Awalnya merasa bahwa yang saya lakukan adalah karena kesalahan pasangan saya, karena merasa bersama pasangan tidak se-value lagi, namun disaat yang sama merasa sangat bersalah sebab telah berbagi hati dan menghianati sebab telah mengingkari sebuah komitmen dan kesepakatan.”

Dari kacamata pelaku, diakui perselingkuhan rentan terjadi saat sedang mengalami masalah emosional dengan pasangan (46,6 persen). Alasan lainnya seperti validasi diri, hasrat seksual, dan ketakutan menjalin komitmen turut disampaikan dalam survei. 

“Ada beberapa kajian di penelitian yang menyatakan salah satu faktor pemicu perselingkuhan adalah problem di komunikasi. Urutannya komunikasi, finansial, kemudian ada seks juga, tapi komunikasi kontribusinya besar. Artinya komunikasi menjadi pemicu awal titik ketidaknyamanan pasangan,” ujar Efnie menegaskan hubungan komunikasi dan keretakan hubungan.

Menariknya, sebagian generasi muda (21 persen) yakin melakukan perbuatan tersebut karena adanya faktor keturunan atau genetik. Mengenai fenomena ini, ahli menilai masih terdapat perbedaan pandangan sehingga tak sepenuhnya mempercayai faktor keturunan sebagai alasan utama kasus perselingkuhan.

Efnie menerangkan, dalam sebuah studi disebutkan hanya 30 persen peran faktor genetik terhadap kasus perselingkuhan. Pengaruh lingkungan menyumbang angka yang lebih besar yakni 70 persen. Artinya bila lingkungan banyak yang melegalkan perilaku selingkuh, akan terjadi proses observational learning dimana seseorang akan belajar dari lingkunganya yang kemudian terinternalisasi pada dirinya. Proses tersebut memungkinkan seseorang mengamati dan mengadaptasi tren perselingkuhan untuk diterapkan dalam dirinya. 

“Kalau bicara faktor genetik, ada kajian yang disebut dengan Transgenerational Epigenetics, kajian ini mengatakan bahwa informasi tentang pengalaman hidup dari keturunan sebelumnya akan diwariskan keturunan berikutnya. Pengalaman hidup ya tadi, many things, bisa jadi perilaku berselingkuh, bisa jadi trauma, bisa jadi informasi bahagia dan lain-lain. Nah ternyata kalau dari kajian teori tersebut itu diturunkan menjadi memori di dalam DNA, tapi berapa persen besarnya itu masih harus diteliti lebih lanjut. Jadi coding DNA menyimpan memori tentang perilaku dari generasi sebelumnya,” ungkap Efnie.

4. Gen Z dan Millennial pilih tinggalkan pasangan setelah ketahuan selingkuh

INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan MillennialsInfografis: Persepsi Perselingkuhan dan Dampaknya pada Hubungan di Masa Depan. (IDNTimes/Aditya Pratama)

Berselingkuh jadi perbuatan keliru sebab melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesetiaan dalam hubungan hingga menyakiti orang lain. Sebab perselingkuhan adalah pengalaman personal, dampaknya dapat berbeda bagi setiap orang. 

Efnie tegaskan perilaku berkhianat dari pasangan bukan sesuatu yang bisa dianggap wajar, itu adalah hal yang salah sebagaimana diungkapkan, “Perselingkuhan itu mengkhianati komitmen, perselingkuhan itu tidak menjaga integritas dan perselingkuhan itu adalah sesuatu yang menyakiti pihak lain.

Respons setiap individu sangat beragam saat mengetahui pasangannya berpaling pada orang lain. IDN Times bertanya pada teman-teman yang pernah terlibat perselingkuhan, terkait tindakan apa yang akan dilakukan jika mengetahui pasangan berkhianat. 

Mayoritas anak muda memutuskan langsung mengakhiri hubungan dan tinggalkan pasangan setelah ketahuan selingkuh (53,4 persen). Namun sejumlah responden (40,1 persen) memberi kesempatan pasangan untuk jelaskan tindakannya. Lalu, mempertimbangkan langkah selanjutnya berdasar keterangan tersebut. Tak memungkiri, tindakan agresif seperti balas selingkuh atau melabrak sosok orang ketiga juga pernah dilakukan oleh responden sebagai reaksi atas perbuatan ingkar janji (1,1 persen). 

MD, perempuan single yang pernah menjadi korban dan pelaku perselingkuhan mengutarakan rasa puas setelah berselingkuh dari pasangan sebagai bentuk balas dendam, “Karena sebagai bentuk balas dendam, saya pernah diselingkuhi oleh pasangan, jadi seperti ada perasaan puas. Tapi untuk sekarang menyesal dan merasa bersalah. Sampai sekarang pun trauma untuk menjalin hubungan.”

5. Kesempatan kedua bagi pelaku perselingkuhan, perlukah?

INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan MillennialsInfografis: Persepsi Perselingkuhan dan Dampaknya pada Hubungan di Masa Depan. (IDNTimes/Aditya Pratama)

Apa pun penyebab perselingkuhan, orang-orang yang bersinggungan dalam hubungan itu sebaiknya berlaku tenang dan jangan meluapkan emosi secara destruktif. Keputusan untuk menyudahi  hubungan atau memberi kesempatan kedua dapat diambil setelah kondisi mental lebih stabil.

Pertimbangan untuk mengakhiri hubungan ditinjau secara lebih luas terhadap dampak dari aksi tersebut. Menurut responden perempuan berinisial IS, orang yang telah menikah dan salah satu pasangannya berselingkuh akan lebih baik melakukan diskusi terlebih dahulu, “Saling terbuka dan membahas kembali apa sebetulnya tujuan pernikahan kita di awal, membahas apa alasan itu dilakukan, sama-sama memperbaiki yang sudah retak walau tak mungkin kembali sama, tapi bisa membuat kesepakatan, tujuan dan komitmen untuk tetap berjalan berdampingan dan saling mendukung satu sama lain.”

Bagi seseorang yang hendak melanjutkan hubungan atau memilih berpisah dengan pasangan, ketetapannya sangat subjektif dan dapat berbeda bagi setiap individu. Pada fase ini, pertolongan profesional akan sangat membantu dalam memulihkan mental, dan mengambil penyelesaian. 

dm-player

“Kita berhak memberikan kesempatan kedua bagi pihak yang melakukan perselingkuhan supaya dia mau memperbaiki dirinya sembari kita memperbaiki kondisi relationship kita dengan pasangan,” ujar Efnie seraya menegaskan tindakan ini tak serta-merta bisa diterapkan pada seluruh kasus perselingkuhan.
Lain halnya bila perselingkuhan telah terjadi berulang kali hingga menjadi kebiasaan. Jika pasangan mengulang pola perselingkuhan hingga menjadi sebuah tabiat, Efnie anjurkan bantuan profesional dan mendapatkan terapi behaviour modification. 

“Dia akan mengulang lagi kalau menjadi habit. Makanya mereka yang sudah punya habit itu harus diterapi, terpinya harus komplit. Psychotherapy oleh psikolog, spiritual therapy oleh ahli yang mendalami spiritualitas dan religi, dia harus komprehensif. Dan adanya dukungan dari pihak di sekelilingnya agar dia berada pada kondisi yang mendapat support dan memperbaiki,” tambahnya.

Baca Juga: 5 Tips Hadapi Sikap Negatif Pasangan, Jangan Menerima Perselingkuhan!

6. Perselingkuhan tak hanya melukai hati, namun juga bisa menimbulkan trauma serta gangguan mental

INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan MillennialsInfografis: Persepsi Perselingkuhan dan Dampaknya pada Hubungan di Masa Depan. (IDNTimes/Aditya Pratama)

Menilik lebih jauh pengalaman Gen Z dan Millennial terhadap perselingkuhan, tak terlepas pada perihal trauma. Sebagian besar orang meyakini, perselingkuhan bisa menimbulkan rasa sakit mendalam yang membuat dirinya terluka apabila menjalin hubungan di masa depan. Angkanya pun cukup signifikan, yakni 91,6 persen.  

Praktisi kesehatan mental, Putra Wiramuda membenarkan trauma dan gangguan kesehatan mental sebagai akibat dari perselingkuhan, “Tentu bisa membuat trauma (perselingkuhan). Pada taraf tertentu bisa menjadi PISD atau Post Infidelity Stress Disorder (untuk diagnosis lebih lanjut silahkan menghubungi profesional). Gejala dapat berupa gangguan kecemasan, kenangan buruk yg terus berulang, merasa hampa, menolak emosi, depresi, menarik diri, insomnia, kesulitan untuk menjalin relasi, selalu berpikiran negatif terkait pasangan.”

Selingkuh tak hanya berimbas pada pasangan. Lebih luas dari itu, bagi orang yang telah menikah, tabiat ini bisa menyakiti hati anak yang berbuntut pada perilakunya ketika dewasa. Konsekuensi dari kesalahan orangtua memiliki efek yang berbeda. 

Responden berinisial AA yang pernah mengalami perselingkuhan sebanyak lebih dari satu kali, ungkap rasa kecewa mendalam. Perempuan yang telah menikah ini bagikan pengalamannya, “Aku adalah salah satu korban perselingkuhan dari pacaran hingga sekarang sudah menikah. Pikiranku mungkin kalau sudah menikah tidak akan melakukan perselingkuhan tapi aku salah mengartikan semuanya. Pelaku perselingkuhan akan melakukan berbagai cara untuk bisa selingkuh, bagaimana pun caranya. Aku sebagai korban selalu bertanya-tanya kenapa harus dengan selingkuh. Apakah tidak bisa memutuskan dahulu baru menjalin hubungan dengan orang lain terlebih lagi apabila sudah menikah, itu sungguh membuat kecewa berat.”

“Melihat bapak atau ibunya selingkuh itu buat anak-anak sungguh melukai, bagi anaknya. Terus ditinggalkan karena misalnya lebih memilih ke sana, itu kan nanti anaknya terluka,” Ratih benarkan perselingkuhan yang terjadi pada orangtua berimbas bagi anak bahkan ketika dewasa.  

Upayakan anak mendapatkan penjelasan yang bijaksana terkait problem yang dihadapi orangtua dan hindari perilaku menyalahkan. Sampaikan pada anak bahwa perpisahan yang terjadi bukan tanggung jawabnya, sehingga ia tak perlu merasa bersalah. 

Ratih berujar,  “Yang jelas harus diberikan penjelasan bahwa itu bukan salah anaknya. Karena banyak anak yang mengambil tanggung jawab atas kesalahannya orangtua, terus dia put blame kepada dirinya seolah-olah dia paling bertanggung jawab atas perpisahan orangtuanya.”

7. Mayoritas Gen Z percaya orang yang pernah berselingkuh akan mengulanginya lagi sebab perilaku tersebut bersifat candu

INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan MillennialsInfografis: Persepsi Perselingkuhan dan Dampaknya pada Hubungan di Masa Depan. (IDNTimes/Aditya Pratama)

Persepsi mengenai selingkuh sebagai perbuatan yang bersifat candu, terbagi dalam dua pandangan besar. Sebanyak 53,8 persen responden percaya selingkuh itu adiktif, orang yang telah berselingkuh akan mengulanginya lagi, jadi tak bisa berubah. Sisanya menganggap perselingkuhan tak bersifat candu, kelompok ini optimis perangai itu dapat berubah, yakni 46,2 persen.

Responden berinisial MN memberikan pendapatnya terkait perselingkuhan. Perempuan yang berdomisili di pulau Jawa ini menganggap pelaku perselingkuhan tak akan berhenti kecuali ada peristiwa yang buatnya jera, “Menurut saya selingkuh tidak bisa berubah kecuali ada sesuatu yang membuatnya kapok. Namun menurut saya, jika seseorang sudah berselingkuh pasti untuk ke depannya akan tetap seperti itu karena selingkuh itu seperti sebuah peluang dan kesempatan yang jika dimana ada celah akan selalu dilakukan. Mereka tidak pernah merasa cukup dengan pasangannya.”

Diterangkan Ratih, pengalaman perselingkuhan sangat subjektif dan personal, seseorang bisa saja mengulangi perbuatannya ataupun berhenti,  “Tergantung orangnya dan tergantung selingkuhnya bagaimana. Kaya yang tadi, udah benar-benar jatuh cinta terus begitu ngototnya untuk mendapatkan cinta itu, ya kemungkinan, yang sekarang dilepaskan sama dia. Terus kalau ternyata ‘khilaf, secinta-cintanya akan balik ke keluarga’ ya dia akan stay di situ. ‘Kemungkinan terulang kembali gak?’ Kalau kita bicara tentang kemungkinan, semua kemungkinan bisa terjadi. ‘Bakal kapok jera gak bu?’ Bisa jadi kapok jera.”

8. Mengungkap persepsi seputar perselingkuhan: Benarkah LDR bikin orang lebih mudah selingkuh?

INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan MillennialsInfografis: Persepsi Perselingkuhan dan Dampaknya pada Hubungan di Masa Depan. (IDNTimes/Aditya Pratama)

Tak dapat dibenarkan bila perselingkuhan dianggap sebagai kondisi yang wajar. Hampir seluruh responden (78,9 persen) sepakat bahwa selingkuh bukanlah hal yang semestinya dialami oleh setiap orang. 

Sependapat dengan anggapan anak muda, Efnie mengungkap, faktanya perselingkuhan telah menodai komitmen dalam hubungan, “Perselingkuhan itu sesuatu yang tidak wajar. Karena inti utama dari relationship adalah menjaga integritas, menjaga kejujuran satu sama lain, bersedia untuk commit dengan komitmen yang dibangun bersama, apakah komitmennya sifatnya informal karena belum ada legalitas pernikahan, maupun komitmen itu formal artinya sudah ada surat nikah.”

Sejumlah Gen Z dan Millennial (63,4 persen) setuju bahwa selingkuh membuat seseorang lebih selektif dalam memilih pasangan ke depannya. Apalagi bila orang tersebut mengalami trauma dan trust issue. 

“Perselingkuhan bisa memicu trauma dan kalau trauma itu tidak diselesaikan, itu menjadi hambatan bagi mereka untuk membina relationship di kemudian hari. Kalau yang sudah berkeluarga, mereka akan sulit membangun kepercayaan kembali dengan pasangannya. Kalau yang belum berkeluarga atau belum menikah, mereka sulit untuk meyakini orang baru yang mendekati mereka. Apakah orang tersebut bisa menjaga komitmen, integritas, dan kesetiaan,” Efnie turut menerangkan proses perubahan sikap dan pandangan seseorang. 

Menelaah lebih dalam mengenai sebab perselingkuhan, generasi muda menilai LDR (Long Distance Relationship) berperan besar terhadap kerapuhan hubungan sebab komunikasi lebih minim. Setidaknya (35,7 persen) sangat menyetujui pernyataan tersebut. 

Meski terdapat korelasi antara komunikasi yang lebih terbatas dengan hubungan yang terjalin, Ratih tidak membenarkan LDR sebagai alasan hilangnya kesetiaan terhadap seseorang, “Kalau dasarnya orangnya setia, ya setia aja, mau LDR, mau segala macam, dia gak selingkuh. Tapi apakah itu bisa berpengaruh? Ya bisa, karena kerentanan. Sepi ya, kesepian. Terus kalau dia sendirian, masuknya unsur penggoda gitu kan juga besar, itu tuh bisa.”

9. Laki-laki dan perempuan sama-sama mungkin lakukan perselingkuhan, tak ada yang lebih dominan

INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan MillennialsInfografis: Persepsi Perselingkuhan dan Dampaknya pada Hubungan di Masa Depan. (IDNTimes/Aditya Pratama)

Khusus untuk subjek perselingkuhan, tak dapat diidentifikasi secara jelas gender mana yang lebih memungkinkan berperan sebagai pelaku. Ratih utarakan beberapa tahun lalu kasus perselingkuhan yang disebabkan oleh laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Namun saat ini terjadi pergeseran kebiasaan. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki kemungkinan untuk menduduki posisi pelaku perselingkuhan. 

“Menurut saya perempuan zaman sekarang karena lebih mandiri, lebih maju, jadi punya bargaining power. Nah kalau sekarang karena banyak juga perempuan yang bekerja dan mandiri. Sekarang sebelum menikah aja berdua, bersama -sama sudah membuat komitmen untuk nanti di dalam kehidupan perkawinan gimana, makanya kalau kamu bisa aware sekarang ada yang namanya prenuptial agreement atau perjanjian pra nikah,” terangnya. 

10. Perselingkuhan menorehkan luka, ahli sarankan lakukan langkah ini untuk menghadapi perasaan negatif

INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan MillennialsInfografis: Persepsi Perselingkuhan dan Dampaknya pada Hubungan di Masa Depan. (IDNTimes/Aditya Pratama)

Perasaan sedih, kecewa, dan terluka dirasakan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa perselingkuhan. Gejolak emosi yang tidak stabil dan nyaman akan membuat proses pemulihan pasca selingkuh lebih sulit dilalui. 

Putra sarankan beberapa langkah berikut untuk hadapi emosi negatif setelah pengkhianatan, “Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghadapi emosi yang tidak menyenangkan, pertama sadari dan terima bila diri ini merasa marah, sakit hati dan insecure, temui dengan penuh kesadaran (Be mindful). Kedua, beri ruang kepada diri untuk pulih. Sejenak berjarak untuk menenangkan diri itu perlu (tapi ingat berjarak bukan berarti melarikan diri dari masalah). Ketiga, bila sudah cukup tenang coba komunikasikan dengan pasangan, mengenai apa yang kamu rasakan dan harapanmu ke depan.”

Walau berat hadapi kenyataan pahit itu, baik korban maupun pelaku sama-sama harus menyelesaikannya. Komunikasi yang terbuka dan positif dapat menjadi salah satu jalan bagi kedua belah pihak. 

“Dalam komunikasi harus ada self disclosure mau membuka diri, sehingga ketika satu sama lain membuka diri, masing-masing pihak akan lebih mudah untuk saling mempelajari karakter dan dengan adanya self disclosure tadi, masing-masing pihak bisa mengutarakan apa yang saya inginkan, apa yang tidak saya inginkan. Apa yang membuat saya nyaman, apa yang membuat saya tidak nyaman,” tutup Efnie sekaligus menegaskan, komunikasi sebagai langkah yang perlu ditempuh dalam penyelesaian masalah. 

Penulis: 

Dina Fadillah Salma 

Muhammad Tarmizi Murdianto

Editor:

Pinka Wima

Febriyanti Revitasari

Infografis: 

Aditya Pratama

Baca Juga: 5 Kunci Menghindari Perselingkuhan dalam Rumah Tangga

Topik:

  • Dina Fadillah Salma
  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya