Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi orang sedang jatuh cinta (pexels.com/Tim Samuel)
ilustrasi orang sedang jatuh cinta (pexels.com/Tim Samuel)

Intinya sih...

  • Nilai kebebasan personal diutamakanBagi Gen Z, kebebasan menentukan jalan hidup adalah hal utama. Mereka gak mau merasa terkekang oleh aturan hubungan yang monogami kalau itu gak sesuai dengan kebutuhan emosional.

  • Ketakutan akan toxic monogamyBanyak Gen Z yang menyoroti masalah toxic monogamy, seperti posesif, cemburu berlebihan, atau tekanan sosial untuk "memiliki" pasangan. Non-monogamy dianggap sebagai solusi untuk menghindari dinamika tidak sehat itu.

  • Pengaruh media dan budaya popDulu, hubungan monogami selalu jadi standar di film atau lagu. Sekarang, serial seperti You Me Her atau podcast tentang polyamory membuat Gen Z sadar

Generasi Z dikenal sebagai kelompok yang berani menantang norma sosial, termasuk dalam hal hubungan romantis. Gak heran kalau konsep non-monogamy mulai banyak dibicarakan di kalangan mereka. Bukan sekadar tren, tapi lebih ke cara mereka memaknai kebebasan dan kejujuran dalam berelasi.

Dibanding generasi sebelumnya, Gen Z lebih terbuka mengeksplorasi berbagai bentuk hubungan. Mereka gak mau terjebak dalam standar lama yang dianggap terlalu kaku. Dari open relationship sampai polyamory, semua dianggap sah asalkan komunikasinya jelas dan semua pihak setuju.


1. Nilai kebebasan personal diutamakan

ilustrasi wanita memegang gelas (pexels.com/ Anna Pou)

Bagi Gen Z, kebebasan menentukan jalan hidup adalah hal utama. Mereka gak mau merasa terkekang oleh aturan hubungan yang monogami kalau itu gak sesuai dengan kebutuhan emosional. Non-monogamy dianggap sebagai cara untuk tetap setia pada diri sendiri tanpa harus mengorbankan kebahagiaan pasangan.

Selain itu, generasi ini tumbuh dengan akses informasi luas tentang beragam gaya hidup. Mereka paham bahwa cinta gak harus selalu eksklusif antara dua orang. Asalkan ada kesepakatan dan rasa saling menghargai, hubungan bisa dibentuk dengan cara apa pun.

2. Ketakutan akan toxic monogamy

pria menyendiri (pexels.com/Andrew Neel)

Banyak Gen Z yang menyoroti masalah toxic monogamy, seperti posesif, cemburu berlebihan, atau tekanan sosial untuk "memiliki" pasangan. Mereka melihat non-monogamy sebagai solusi untuk menghindari dinamika tidak sehat itu. Dengan model hubungan lebih fleksibel, tekanan kepemilikan bisa diminimalisir.

Selain itu, non-monogamy mendorong komunikasi lebih transparan. Gen Z lebih suka berbicara jujur tentang kebutuhan dan batasan daripada memendam konflik. Hal ini bikin mereka merasa lebih aman secara emosional.

3. Pengaruh media dan budaya pop

ilustrasi wanita berpose (pexels.com/RDNE Stock project)

Dulu, hubungan monogami selalu jadi standar di film atau lagu. Sekarang, serial seperti You Me Her atau podcast tentang polyamory membuat Gen Z sadar bahwa ada banyak pilihan. Media mulai merepresentasikan hubungan non-monogamous dengan lebih positif, bikin stigma perlahan hilang.

Figur publik juga banyak yang terbuka tentang pengalaman mereka dengan open relationship. Gen Z yang tumbuh di era digital mudah terpapar cerita ini, sehingga perspektif mereka lebih inklusif. Mereka gak lagi melihat non-monogamy sebagai sesuatu yang tabu.


4. Fokus pada eksplorasi identitas

Ilustrasi perempuan sedang foto (pexels.com/Julio Lopez)

Gen Z adalah generasi yang terus mencari jati diri, termasuk dalam hal romansa. Mereka gak mau dibatasi label "pacaran" atau "menikah" kalau itu gak mewakili perasaan mereka. Non-monogamy memberi ruang untuk mengeksplorasi chemistry dengan banyak orang tanpa merasa bersalah.

Selain itu, banyak dari mereka yang menganggap cinta gak harus dibagi dalam kotak-kotak kaku. Mereka percaya bisa mencintai lebih dari satu orang dengan cara yang berbeda. Kuncinya adalah kejujuran dan komitmen untuk menjaga perasaan semua pihak terlibat.

Generasi Z membawa angin segar dalam cara memandang hubungan romantis. Bagi mereka, yang terpenting adalah keautentikan dan kebahagiaan bersama, bukan sekadar ikut norma. Non-monogamy mungkin bukan untuk semua orang, tapi setidaknya sekarang ada lebih banyak opsi untuk dicoba.

Yang pasti, tren ini menunjukkan bahwa Gen Z gak takut mendobrak standar usang. Selama ada respek dan komunikasi sehat, bentuk hubungan apa pun bisa bekerja. Siapa tahu, ini jadi awal perubahan besar dalam cara kita mencintai!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team