Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Gen Z Lebih Pro Pernikahan Dibanding Milenial, Kenapa?

foto pernikahan Jake Bongiovi dan Millie Bobby Brown
Jake Bongiovi dan Millie Bobby Brown, pasangan seleb gen Z yang memutuskan menikah muda (instagram.com/milliebobbybrown)
Intinya sih...
  • Gen Z melihat pernikahan sebagai strategi realistis untuk berbagi beban ekonomi, bukan sekadar komitmen romantis.
  • Pengalaman pandemik dan kultur kencan digital yang tidak sehat membuat gen Z meninjau ulang makna hubungan jangka panjang.
  • Akses informasi, kesadaran hukum, dan kesetaraan gender membuat gen Z memandang pernikahan secara lebih rasional serta terukur.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tren yang bilang kalau anak muda lebih pesimistis melihat pernikahan ternyata tidak bisa digeneralisasi begitu saja. Nyatanya, lebih banyak gen Z yang melihat pernikahan sebagai sesuatu yang positif dibanding generasi sebelum mereka: milenial. Setidaknya, itu yang ditemukan oleh tim periset dari The Times dan YouGov di Inggris Raya terhadap seribu responden muda pada 2004 dan 2024.

Ini diamini oleh Pew Research Center yang pernah melakukan survei terhadap milenial (usia 18–29 tahun) pada 2010 di Amerika Serikat. Survei itu menemukan bahwa hanya 22 persen dari anak muda itu yang berstatus menikah. Ini cukup rendah dibanding gen X pada survei serupa yang mereka lakukan pada 1997. Sikap milenial terhadap pernikahan pun cenderung tak optimistis. Mereka mengaku tidak banyak keuntungan signifikan yang bisa didapat dari ikatan legal tersebut.

Melihat tren tersebut, banyak peneliti memprediksi gen Z akan mengadopsi perilaku yang sama. Lantas, mengapa gen Z justru mengubah haluannya? Simak penjelasan ini.

1. Ekonomi sulit justru mendorong pernikahan

ilustrasi pasangan pengantin
ilustrasi pasangan pengantin (pexels.com/Alexander Mass)

Sebenarnya, sama seperti generasi milenial, gen Z juga merasakan tantangan ekonomi yang bikin mereka melihat pernikahan sebagai hal yang susah diwujudkan atau setidaknya harus mereka tunda dahulu. Seperti kita tahu, menikah umumnya diiringi dengan tanggung jawab baru. Sebagai contoh, ada biaya sewa atau cicilan rumah, tagihan, hingga membesarkan anak.

Menariknya, tidak seperti generasi sebelum mereka, gen Z menemukan peluang dan privilese dari pernikahan dalam memperbaiki kehidupan mereka. Dalam liputannya untuk majalah Dazed berjudul "Why are young people getting married again?", Halima Jibril berhasil mewawancarai gen Z yang justru sengaja menikah untuk menyelamatkan diri dari krisis finansial. Ini sesederhana bisa berbagi biaya sewa apartemen dengan pasangan sampai yang lebih kompleks: dapat visa sponsor yang menjamin keberadaan dan pekerjaan mereka di negara perantauan.

2. Pandemik COVID-19 dan kultur kencan yang gak sehat jadi bahan evaluasi gen Z

ilustrasi cincin pernikahan
ilustrasi cincin pernikahan (pexels.com/Wendel Moretti)

Alasan lain yang cukup spesifik dirasakan gen Z ialah memudarnya koneksi antarmanusia karena pandemik COVID-19 dan disrupsi digital. Dua hal ini secara langsung maupun tidak bikin gen Z terdorong untuk mengevaluasi perspektif mereka tentang kehidupan. Gen Z bisa dibilang generasi yang menjalani masa kecil dan produktif mereka pada era atomisasi sosial akibat perkembangan media yang masif. Mereka terjebak ilusi koneksi lewat media sosial yang ternyata justru bikin manusia makin kesepian.

Pandemik COVID-19 jadi katalisnya. Saat itu, media sosial ternyata tak bisa membantu kita merasa lebih baik meski menjanjikan kemudahan akses komunikasi. Ini berlaku pula untuk aplikasi kencan yang bukannya mempermudah justru menyuburkan kultur kencan yang tak sehat, seperti seks kasual, ghosting, situationship, perselingkuhan, dan lain-lain. Berkaca dari situ, wajar bila gen Z akhirnya berbalik arah ke institusi sosial tradisional seperti pernikahan.

3. Keterbukaan akses informasi dan kesetaraan gender

ilustrasi perjanjian pranikah
ilustrasi perjanjian pranikah (pexels.com/Terence B)

Argumen lain yang tak kalah menarik ialah fakta bahwa gen Z melihat perceraian sebagai sesuatu yang normal, bukan lagi aib seperti anggapan yang populer di kalangan generasi lebih tua. Ini pernah dibahas Maggie Lange dalam The New York Times berjudul "What Does gen Z Divorce Look Like?". Dalam liputan tersebut, Lange menemukan kalau gen Z cukup santai melihat perceraian. Ini didorong akses hukum, pendidikan, dan informasi yang makin luas serta persamaan hak antara perempuan maupun laki-laki untuk mengajukan gugatan.

Gen Z diklaim sebagai generasi yang realistis dan logis sehingga berimplikasi pada cara mereka melihat pernikahan. Setidaknya, menurut beberapa responden dalam artikel tersebut, gen Z cenderung tidak melihat pernikahan sebagai sesuatu yang mutlak harus dipertahankan seumur hidup. Mungkin perspektif ini juga bisa muncul dari fakta bahwa mereka sudah biasa menghadapi berbagai gebrakan atau kejutan ekonomi dan politik selama tumbuh besar. Ini membuat generasi itu cukup adaptif dan cekatan dalam mengambil keputusan. Sifat logis dan realistis gen Z bisa juga dipakai untuk menjelaskan kenaikan tren perjanjian pranikah di kalangan gen Z, setidaknya di Amerika Serikat.

Singkatnya, melek hukum, finansial, dan hak individu jadi salah satu alasan gen Z melihat pernikahan sebagai sesuatu yang praktikal. Sebelum berkomitmen, mereka sudah melakukan kalkulasi risiko, keuntungan, bahkan cara untuk menyelamatkan diri bila rencana tak berjalan sesuai kehendak. Menarik juga, nih? Setujukah kamu dengan tiga alasan di atas?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha ‎
EditorYudha ‎
Follow Us

Latest in Life

See More

50 Soal PAS Matematika kelas 3 Semester 1 Kurikulum Merdeka

26 Des 2025, 03:03 WIBLife