3 Pertimbangan saat Beli Buku Klasik, Gak Sembarang Murah!

Beda dengan novel-novel baru, buku sastra klasik, terutama yang sudah jadi domain publik karena hak royalti yang kedaluwarsa, bisa terbit dalam dalam beragam versi. Mereka bisa diterjemahkan ke bahasa lokal atau diterbitkan dalam bahasa asli. Dalam kasus Indonesia, biasanya kita disuguhi dua versi, yakni terjemahan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Namun, kadang kamu menemukan buku klasik dengan beberapa versi berbeda dan harga yang cukup jomplang pula. Ada yang mahal, tetapi di sisi lain ada yang menawarkan harga cukup miring. Tentu, sebagai makhluk ekonomi, kamu akan tergoda beli yang harganya lebih murah. Pertanyaannya, benarkah ini keputusan yang tepat dan bijak? Yuk, kupas lebih jauh dan pakai sebagai pertimbangan sebelum kamu beli.
1. Buku klasik bisa beda harga karena proses penerjemahan

Pernahkah kamu menemukan buku yang judulnya sama persis dan bahasa yang dipakai pun sama, tetapi harga keduanya timpang? Satu lumayan menguras kantong, satunya lagi cukup miring, nih. Ternyata, harga jual akhir buku klasik bisa berbeda karena proses penerjemahan atau penyesuaian bahasanya masing-masing.
Buku yang lebih murah biasanya tidak melalui proses penerjemahan yang rumit dan saksama. Bisa saja mereka hanya pakai naskah asli tanpa melakukan penyesuaian dengan ejaan terbaru. Ini beda dengan yang dibanderol lebih mahal. Kalau menemukan buku klasik yang sama, tetapi beda harga, coba tengok nama penerjemahnya masing-masing. Pasti berbeda! Ini berlaku pula dalam kasus buku klasik terjemahan bahasa asing non-Inggris. Buku klasik tidak hanya ditulis dalam bahasa Inggris, tetapi juga Italia, Spanyol, Portugis, Rusia, dan lain-lain.
Penerbit bisa langsung menerjemahkan naskah aslinya bila memang memiliki translator yang ahli dalam bahasa-bahasa tadi. Namun, mengingat keberadaannya mungkin langka, gak aneh kalau penerbit mematok harga agak tinggi. Dalam kasus lain, bila memang ketersediaan penerjemah bahasa-bahasa tadi langka, penerbit bisa juga menyadur naskah terjemahan bahasa Inggris yang sudah terbit. Untuk kasus ini, mereka seharusnya membeli royalti dari penerjemah bahasa Inggris untuk dapat hak alih bahasa ke bahasa Indonesia. Masalahnya, tak sedikit penerbit dalam negeri yang tidak melakukan proses legal tersebut. Ini yang memungkinkan mereka menjual novel klasik dengan harga lebih murah. Intinya soal etika dan proses penerjemahan yang harus dihargai, sih.
Beberapa buku klasik juga dilengkapi kata pengantar dari ahli atau penulis lain yang bisa jadi nilai plus buat sebagian pembaca. Ini cocok buat pembaca yang ingin tahu konteks sejarah dan kultural di balik tulisan tersebut. Keterlibatan ahli ini tentu gak gratis. Penerbit harus menambah biaya produksi dan akhirnya berpengaruh terhadap harga akhir.
2. Bahan dan format buku

Perbedaan harga buku klasik juga bisa terjadi karena faktor bahan dan format isi buku. Ada dua jenis kertas yang biasa dipakai dalam percetakan novel, yakni yang berwarna keabu-abuan dan kekuningan. Keduanya sama-sama ringan dan nyaman untuk mata. Namun, kertas abu-abu secara umum relatif lebih murah dan ringan. Di luar negeri, kertas abu-abu cukup umum dipakai terutama untuk buku dengan format mass-market paperback, yang ukurannya lebih kecil dari buku standar.
Terbukti, buku dengan kertas abu-abu umumnya terasa lebih ringan dan nyaman digenggam. Meski begitu, material tidak serta-merta menentukan harga. Tata letak pun ikut andil. Penerbit bisa melakukan penyesuaian untuk menghemat kertas dan biaya cetak, misal dengan sengaja memilih ukuran fon (font) kecil, margin yang mepet, dan tidak memisahkan halaman bab. Buat sebagian pembaca, ini mungkin berpengaruh pada kenyamanan dan wajib masuk pertimbangan sebelum membeli.
3. Desain sampul dan tipe penjilidan

Desain sampul juga bisa jadi faktor penentu harga buku. Untuk menekan harga, penerbit biasanya memasang lukisan domain publik yang mereka modifikasi sesuai tata letak yang mereka mau. Ini jadi jalan termudah dan aman untuk penerbit yang gak mau berurusan dengan hak cipta gambar sampul. Risikonya, sih, gambar tadi bisa sama dengan penerbit lain.
Beberapa penerbit pun memilih bekerja sama dengan ilustrator, desainer, fotografer untuk bikin sampul kustom yang beda dan khas mereka. Tentunya, ini akan meningkatkan biaya produksi. Namun, lagi-lagi harga akhir buku jadi hasil kombinasi proses penyusunan yang kompleks. Jadi, tidak selalu novel dengan ilustrasi/foto berhak cipta dibanderol dengan harga lebih mahal dibanding yang tidak.
Tipe penjilidan juga bisa masuk pertimbangan. Tipe favorit pembaca biasanya flat binding dengan bahan sampul dan isi yang terkulai (floppy) karena nyaman dibuka dan tidak ada risiko merusak punggung buku. Sayangnya, gak semua penerbit bisa menawarkan model penjilidan yang menghasilkan buku yang nyaman digenggam. Ini juga kembali ke selera masing-masing pembaca. Gak bisa dimungkiri, sebagian pembaca justru mencari buku yang sampulnya lebih kaku, bahkan hardcover.
Sudah jelas, nih, ternyata tiap versi buku klasik punya keunggulan dan karakter masing-masing. Ada harga, ada rupa berlaku di sini. Penerbit jelas gak asal-asalan saat menentukan harga akhir produk yang mereka jual. Makin mahal, makin banyak pula fitur yang mereka tawarkan, mulai dari kualitas ejaan dan penerjemahan sampai kenyamanan pengalaman membaca.


















