Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi selingkuh
ilustrasi selingkuh (vecteezy.com/p.natthapon197892)

Intinya sih...

  • Seseorang merasa kekurangannya tidak diterima dalam hubungan

  • Hubungan kehilangan rasa tumbuh bersama

  • Ekspektasi hubungan yang terlalu ideal menjadi sumber kekecewaan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dalam hubungan, menemukan kekurangan pasangan sebenarnya hal yang wajar. Setiap orang memiliki sisi yang tidak selalu sesuai dengan harapan, dan sering kali, fase ini menjadi titik ujian apakah hubungan bisa bertahan atau justru mulai retak. Namun, banyak orang yang ketika mulai sadar akan kekurangan pasangannya justru mencari pelarian ke arah lain, termasuk selingkuh.

Fenomena selingkuh ini bukan sekadar persoalan moral atau keinginan untuk mencari sensasi baru. Maka dari itu, berikut beberapa alasan mengapa seseorang bisa tergoda berselingkuh setelah menemukan kekurangan pasangan. Cari tahu lebih dalam agar bisa dijadikan topik diskusi atau bahan renungan dengan pasangan.

1. Seseorang merasa kekurangannya tidak diterima dalam hubungan

ilustrasi menerima kekurangan pasangan (pexels.com/Keira Burton)

Ketika seseorang merasa selalu dinilai atau dibandingkan, muncul kebutuhan untuk diterima tanpa syarat. Saat pasangan gagal memberikan rasa aman itu, individu bisa mencari validasi dari luar, dari orang yang tampak lebih menerima dirinya apa adanya. Bukan karena cinta baru itu lebih baik, melainkan karena di sana ia merasa lebih dihargai tanpa harus menutupi kelemahan.

Masalahnya, rasa diterima ini sering kali semu. Hubungan yang dimulai dari pelarian justru tampak seperti ilusi menyenangkan. Banyak orang kemudian menyadari bahwa orang ketiga hanya hadir di versi terbaik dirinya, bukan versi real yang apa adanya termasuk menampilkan sosok yang penuh kekurangan.

2. Hubungan kehilangan rasa tumbuh bersama

ilustrasi konflik dengan pasangan (pexels.com/Alex Green)

Setiap hubungan idealnya membuat dua orang saling berkembang. Namun ketika satu pihak merasa jalan hidupnya tidak lagi searah dengan pasangannya, muncul rasa terjebak. Bukan karena cinta itu hilang, tapi karena dinamika hubungan berhenti di satu titik yang stagnan. Dalam situasi seperti itu, godaan untuk selingkuh muncul bukan karena keinginan memiliki orang baru, tapi keinginan untuk kembali merasa hidup.

Selingkuh, dalam konteks ini, sering jadi simbol “ruang bernapas”. Ada sensasi kebebasan yang sempat hilang saat hubungan utama terasa membatasi. Padahal, masalah utamanya bukan pada siapa yang ada di luar hubungan, melainkan kehilangan rasa tumbuh di dalamnya. Banyak orang baru sadar, yang mereka cari bukan orang lain, melainkan versi diri mereka yang dulu lebih bersemangat dan hidup.

3. Ekspektasi hubungan yang terlalu ideal menjadi sumber kekecewaan

ilustrasi hubungan (pexels.com/Alex Green)

Banyak orang memasuki hubungan dengan standar yang sangat tinggi, seolah pasangan harus mampu memenuhi seluruh kebutuhan emosional dan mentalnya. Saat kenyataan tidak sesuai, rasa kecewa mudah muncul, dan kekurangan pasangan jadi sorotan utama. Dari titik itu, ada yang mulai membandingkan, lalu mencari orang lain yang tampak lebih sempurna.

Namun kesalahan sering terletak pada ekspektasi itu sendiri. Tidak ada manusia yang mampu memenuhi semua aspek hidup seseorang. Ketika seseorang selingkuh karena merasa pasangannya “kurang,” sebenarnya yang ia lawan adalah kekecewaannya terhadap realitas, bukan pada orangnya. Di sini, selingkuh menjadi cara cepat untuk menghindari rasa kecewa tanpa benar-benar menyelesaikan akar masalahnya.

4. Lingkungan sosial yang menormalisasi pelarian emosional

ilustrasi selingkuh (pexels.com/ROMAN ODINTSOV)

Media sosial sering kali meromantisasi hubungan yang impulsif, seolah berpaling dari pasangan adalah hal yang bisa dimaklumi jika merasa tidak bahagia. Padahal, narasi semacam itu membuat banyak orang salah menilai makna kedewasaan emosional. Mereka mulai percaya bahwa cinta yang baru otomatis berarti kebahagiaan baru, tanpa mempertimbangkan tanggung jawab di baliknya.

Lingkungan yang permisif juga membuat orang merasa tidak bersalah saat berselingkuh secara emosional, meski belum melangkah secara fisik. Percakapan intens dengan orang lain di luar hubungan sering dianggap wajar, padahal itu sudah bentuk pengkhianatan kecil. Dalam jangka panjang, pembenaran kecil seperti ini bisa membuka celah besar dalam sebuah hubungan.

5. Seseorang tidak pernah belajar menghadapi ketidaksempurnaan

ilustrasi pasangan yang selingkuh (pexels.com/RDNE Stock project)

Banyak orang dibesarkan dengan pandangan bahwa cinta sejati berarti menemukan seseorang yang sempurna. Padahal, hubungan dewasa justru dimulai ketika seseorang mampu menerima ketidaksempurnaan, baik milik pasangan maupun dirinya sendiri. Saat tidak memiliki kemampuan itu, mereka akan mudah menyerah setiap kali menemukan sisi pasangan yang tidak ideal.

Ketika ketidaksempurnaan dianggap sebagai tanda hubungan yang salah, maka selingkuh terlihat seperti jalan keluar yang paling mudah. Padahal, orang baru pun akan memiliki kekurangannya sendiri. Siklus ini bisa terus berulang tanpa akhir. Pada akhirnya, bukan pasangan yang selalu kurang, tapi ketidakmampuan seseorang untuk berdamai dengan realitas hubungan yang memang tidak akan pernah sempurna.

Hubungan selalu tentang pilihan yakni antara bertahan, memperbaiki, atau pergi. Selingkuh memang memberi jalan pintas untuk meredakan ketidakpuasan, tetapi tidak pernah benar-benar menyelesaikan perasaan kosong di dalam diri. Sebelum menilai semena-mena setelah kamu menemukan kekurangan pasangan, mungkin lebih penting bertanya apakah kekosongan itu sebenarnya berasal dari hubungan atau justru datang dari diri sendiri?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team