Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengenal Emotional Reactivity dalam Hubungan, Tidak Sepele!

ilustrasi orang bertengkar (pexels.com/Alex Green)

Emotional reactivity dalam hubungan merujuk pada kecenderungan seseorang untuk merespons situasi emosional dengan intensitas yang tinggi, sering kali secara impulsif atau tanpa mempertimbangkan dampaknya terlebih dahulu. Dalam konteks hubungan, emotional reactivity dapat menjadi tantangan tersendiri karena bisa memicu konflik, kesalahpahaman, atau bahkan jarak emosional antara individu. 

Ketika satu atau kedua pihak terlalu reaktif secara emosional, komunikasi bisa menjadi tidak sehat dan sulit untuk mencapai penyelesaian yang konstruktif. Oleh karena itu, memahami dan mengelola emotional reactivity menjadi kunci penting dalam membangun hubungan yang stabil dan penuh pengertian. Yuk, simak lebih lengkap pengertian hingga tips menguranginya!

1. Pengertian emotional reactivity

ilustrasi pasangan bertengkar (pexels.com/Vera Arsic)

Emotional reactivity dapat muncul dalam hampir semua jenis hubungan interpersonal dalam hidupmu. Jika hal ini terlalu sering terjadi, beberapa orang mungkin mengatakan kamu memiliki kepribadian yang reaktif.

"Emotional reactivity terjadi saat kamu merasa stres atau emosional, dan kamu bereaksi terhadap emosi tersebut secara impulsif atau emosional," kata psikolog Rachel Goldman, melansir laman Club Mental.

Melansir Verywell Mind, Anna Marchenko, seorang terapis menjelaskan, bahwa orang yang bereaksi seperti ini biasanya melakukannya secara impulsif. Mereka mungkin menyesali tindakan mereka di kemudian hari.

2. Contoh emotional reactivity

ilustrasi pasangan bertengkar (pexels.com/RDNE Stock project)

"Seseorang bisa saja bersikap reaktif secara emosional dalam satu hubungan, tetapi biasanya sangat terkendali dalam situasi lain. Orang lain mungkin memiliki kapasitas terbatas untuk mengatur diri dalam situasi apa pun," kata Rachel Wright, seorang psikoterapis.

Marchenko menambahkan, banyak orang yang bereaksi secara emosional mungkin mengatakan hal-hal yang menyakitkan kepada orang lain di saat-saat marah, menangis tak terkendali, berteriak atau meninggikan suara mereka kepada orang lain, melempar barang atau memukul tembok, atau juga memiliki suasana hati yang berubah dengan cepat dan tanpa peringatan.

Bila tidak dikendalikan, reaksi emosional yang tidak terkendali dapat berdampak negatif pada hubungan. Hal ini dapat menyebabkan pertengkaran yang sulit untuk diselesaikan, memengaruhi komunikasi dan kepercayaan, serta menghambat kemampuanmu untuk terhubung secara mendalam dengan pasangan. 

3. Tips mengurangi emotional reactivity dalam hubungan

ilustrasi bertengkar (pexels.com/Timur Weber)

Kamu bisa mengurangi emotional reactivity dengan melakukan beberapa tips berikut:

  1. Identifikasi hal yang memicu: Menurut psikoterapis, Lisa Brateman, salah satu cara terbaik untuk mengurangi emotional reactivity adalah dengan mengidentifikasi pemicumu dan membicarakannya secara terbuka dan jujur dengan pasanganmu. Ketika pasanganmu menyadari potensi pemicumu, ia dapat menavigasi skenario dengan lebih baik atau bahkan menyesuaikan cara mereka berkomunikasi denganmu.
  2. Mengembangkan keterampilan mendengarkan secara aktif: Mengembangkan keterampilan mendengarkan secara aktif penting untuk mengurangi reaksi emosional. Brateman menyarankan, hindari berbicara satu sama lain atau hanya berfokus pada bagian yang tidak kamu sukai. Memanfaatkan keterampilan mendengarkan ini dapat mengubah perilakumu dengan menanggapi apa yang kamu dengar.
  3. Ajukan pertanyaan dan dapatkan kejelasan: Marchenko mengatakan, alih-alih bereaksi, tanyakan pada dirimu sendiri apa yang dipikirkan atau dirasakan pasanganmu, apa yang mungkin mereka alami, dan apa yang mereka inginkan darimu.
  4. Kunjungi terapis: Bekerja sama dengan terapis dapat membantu mempercepat proses perbaikan pengaturan emosi. Dalam beberapa kasus, terapis mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi pemicu dan mengatasinya. Marchenko menjelaskan, bahwa seorang terapis dilatih untuk membantu orang meningkatkan stabilitas emosional mereka, dan juga dapat menawarkan berbagai jenis terapi seperti terapi perilaku kognitif, penanganan yang berfokus pada emosi, dan terapi perilaku dialektis. Terapi-terapi ini memberi orang-orang yang reaktif secara emosional alat yang mereka butuhkan untuk mengatasi situasi yang menegangkan.

Mengelola emotional reactivity dalam hubungan bukan berarti menekan emosi, melainkan belajar merespons dengan lebih sadar dan bijaksana. Dengan meningkatkan kesadaran diri, melatih empati, serta membangun komunikasi yang terbuka, setiap orang dapat menciptakan dinamika hubungan yang lebih sehat dan saling mendukung.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima
EditorPinka Wima
Follow Us