5 Alasan Logis Seseorang Berselingkuh Berbasis Neuroscience

Bisa karena kehilangan sirkuit kontrol diri

Selingkuh dalam pernikahan memang sebuah masalah yang tak akan pernah lekang dimakan waktu. Banyak orang menganggap bahwa pria selingkuh dan meninggalkan istrinya demi perempuan yang lebih seksi atau cantik, sementara perempuan akan meninggalkan suaminya demi pria yang lebih mapan.

Padahal, bukan itu alasan sebenarnya seseorang berselingkuh. Sebab ternyata, seseorang bisa selingkuh akibat kondisi otaknya, di mana perselingkuhan, kesehatan otak, dan kondisi mental seseorang memiliki hubungan yang saling berkesinambungan. 

Untuk lebih jelasnya, yuk simak beberapa alasan berbasis neuroscience mengapa seseorang berselingkuh. Jangan kaget, ya!

1. Kecanduan euforia cinta

5 Alasan Logis Seseorang Berselingkuh Berbasis NeuroscienceIlustrasi Selingkuh (IDN Times/Mardya Shakti)

Pengalaman indah jatuh cinta dan tergila-gila dengan seseorang, tidak bertahan selamanya. Ahli saraf menemukan bahwa setelah 6 bulan hingga 2 tahun, rasa cinta yang menggebu-gebu berubah jadi cinta dan komitmen yang lebih dalam atau keputusan untuk berpisah dan melepaskan diri.

Banyak terapis pasangan mengatakan bahwa perselingkuhan terjadi karena orang salah mengira kurangnya intensitas dan euforia sebagai tanda bahwa mereka telah putus cinta. Kurangnya euforia ini dapat mendorong seseorang untuk mencari pasangan lain demi mencoba menciptakan kembali intensitas cinta yang tinggi.

2. Kehilangan sirkuit kontrol diri

5 Alasan Logis Seseorang Berselingkuh Berbasis Neuroscienceilustrasi perselingkuhan (pexels.com/cottonbro)

Sirkuit kontrol diri adalah sistem penyeimbang antara bagian otak limbik, yang memotivasi untuk mencari aktivitas menyenangkan dan bagian otak korteks prefrontal (PFC). Hal ini yang membuat seseorang berpikir dua kali sebelum terlibat dalam perilaku berisiko, seperti perselingkuhan.

Ketika sirkuit kontrol diri seimbang, kontrol impuls memadai untuk menghentikan seseorang dari berselingkuh. Namun, ketika aktivitas PFC rendah, terjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan seseorang menyerah pada keinginan impulsif tanpa memikirkan konsekuensinya.

Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa orang dengan aktivitas rendah di PFC, lebih mungkin untuk bercerai. Kamu bisa mencoba program dari Stress Management Indonesia seperti Brain Health Assessment untuk mengetahui kondisi sirkuit kontrol diri otakmu.

3. Faktor testosteron

dm-player
5 Alasan Logis Seseorang Berselingkuh Berbasis Neuroscienceilustrasi laki-laki dan perempuan bermesraan (pexels.com/Katerina Holmes)

Sebuah studi tahun 2019 menemukan fakta, bahwa pria dengan kadar testosteron tinggi lebih mungkin untuk melakukan perselingkuhan daripada pria dengan kadar testosteron yang lebih rendah. Testosteron terlibat dalam suasana hati, motivasi, dan seksualitas.

Tingkat testosteron yang tinggi juga dikaitkan dengan empati yang lebih rendah dan hawa nafsu yang tinggi. Hal inilah yang kemudian bisa menjadi resep untuk berselingkuh.

Baca Juga: 5 Tips untuk Cowok Menahan Godaan Selingkuh, Sosok Setia Nih!

4. Otak yang tidak setia itu berbeda

5 Alasan Logis Seseorang Berselingkuh Berbasis Neuroscienceilustrasi pasangan selingkuh (unsplash.com/ Vidar Nordli-Mathisen)

Studi pencitraan otak telah menemukan bahwa otak seseorang yang setia, berbeda dari yang selingkuh. Ketika seseorang melihat gambar romantis, seperti pasangan berpegangan tangan atau menatap mata satu sama lain, aktivasi otak berbeda antara yang setia dan tidak setia.

Penelitian menunjukkan bahwa orang yang setia menunjukkan lebih banyak aktivitas saraf terkait hadiah saat melihat gambar romantis dibandingkan dengan orang yang tidak setia. Jadi, bisa dibilang otak orang yang setia dan tukang selingkuh itu berbeda.

5. Untuk mencegah terjadinya selingkuh, cobalah untuk saling mengenal kondisi satu sama lain

5 Alasan Logis Seseorang Berselingkuh Berbasis Neuroscienceilustrasi prselingkuhan (pexels.com/RODNAE Productions)

Lebih lanjut, menurut Coach Pris, untuk mencegah terjadinya perselingkuhan, sebaiknya pasangan saling mengenal kondisi satu sama lain sebelum menikah. Sehingga, ke depannya bisa memahami kondisi pasangan dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memperbaiki kondisi.

Pasangan yang sehat akan membentuk anak yang sehat, kemudian memengaruhi lingkungan sekitar menjadi lebih sehat juga. Untuk mencapai revolusi mental di Indonesia, bisa dimulai dari memperbaiki kondisi unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga.

Untuk mengetahui dan memperbaiki kondisi kesehatan otak, Stress Management Indonesia menawarkan program seperti Brain Health Assessment, serta program-program lainnya. Kunjungi situs Stress Management Indonesia di sini untuk mengetahui informasi lebih lanjut.

Baca Juga: 5 Cara Menyederhanakan Pekerjaan agar Lebih Efektif, Anti Stres!

Topik:

  • Muhammad Tarmizi Murdianto
  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya