Pernikahan di Mata Gen Z dan Milenial: Kebahagiaan atau Sekadar Simbol

Bukan lagi prioritas?

Pernikahan telah lama menjadi institusi sosial yang penting dalam kehidupan manusia. Pernikahan juga kerap dianggap sebagai tonggak penting dalam perjalanan hidup sebagian besar individu. Namun, dengan perubahan zaman dan nilai-nilai sosial yang berkembang, generasi muda, terutama gen Z dan milenial, menunjukkan pandangan yang berbeda terhadap pernikahan. 

Beberapa waktu lalu, muncul perdebatan di media sosial terkait konsep pernikahan. Ditemukan fakta bahwa ternyata gen Z dan milenial sudah gak terlalu ‘memprioritaskan’ pernikahan. Sejalan dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2021.

Gen Z dan milenial juga cenderung memiliki perspektif yang lebih kompleks tentang makna dan nilai pernikahan dalam kehidupan mereka. Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan gen Z dan milenial terhadap pernikahan? Apakah mereka melihatnya sebagai sumber kebahagiaan atau sekadar simbol?

Melalui survei yang dihimpun pada Januari-April 2024, IDN Times berusaha memaparkan pandangan gen Z dan milenial terhadap dua pilihan tersebut. Survei dengan peserta sebanyak 282 responden ini, akan membantumu mengetahui pandangan secara lebih mendalam dari gen Z dan milenial terkait pernikahan.

1. Demografi responden

Pernikahan di Mata Gen Z dan Milenial: Kebahagiaan atau Sekadar SimbolInfografis tren pernikahan di mata gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

IDN Times berhasil menghimpun 282 responden yang didominasi oleh perempuan (80,1 persen) dan laki-laki menduduki posisi kedua (19,9 persen). Mayoritas responden yang berpartisipasi dalam survei IDN Times berdomisili di Pulau Jawa (83 persen), disusul oleh Pulau Sumatera (7,9 persen), dan posisi ketiga dari Sulawesi (2,5 persen).

Survei ini mayoritas diisi oleh generasi Z dengan usia 15-26 tahun (49,3 persen) serta generasi milenial di usia 27-42 tahun (48,6 persen) dan sisanya berusia di atas 42 tahun (2,1 persen). Tingkat penghasilan tiap responden pun beragam, sejumlah 56 persen berpenghasilan kurang dari 5 juta. Sedangkan sisanya (44 persen) berpenghasilan lebih dari 5 juta.

Generasi Z dan milenial yang turut bagikan pandangannya ini memiliki status hubungan yang beragam, mayoritas responden survei IDN Times masih single (58,2 persen) dan yang berpasangan berjumlah 41,8 persen.

2. Mayoritas gen z dan milenial belum memprioritaskan pernikahan

Pernikahan di Mata Gen Z dan Milenial: Kebahagiaan atau Sekadar SimbolInfografis tren pernikahan di mata gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Gen Z dan milenial memiliki pandangan yang serupa terhadap pernikahan. Ketika ditanya terkait prioritas terhadap pernikahan, mayoritas gen Z dan milenial mengaku belum memprioritaskan pernikahan. Sebanyak 47,5 persen responden belum memprioritaskan pernikahan, sedangkan 23 persen sisanya memang memprioritaskan pernikahan.

Jika dielaborasikan, dari 139 responden gen Z, sebanyak 89 responden belum memprioritaskan pernikahan, 26 responden sudah memprioritaskan, 18 responden tidak memprioritaskan sama sekali, dan ada juga 6 responden yang sudah menikah namun sebenarnya gak memprioritaskan pernikahan.

Sedangkan untuk milenial yang berjumlah 137 responden, sebanyak 45 orang belum memprioritaskan pernikahan. Milenial yang memprioritaskan pernikahan dan sudah menikah walaupun bukan prioritas berjumlah sama, yakni 37 responden. Sedangkan sisanya sebanyak 18 milenial tidak menganggap pernikahan sebagai prioritas.

Selaras dengan data yang dihimpun oleh BPS (Badan Pusat Statistik), angka pernikahan pun ternyata semakin menurun sejak tahun 2021. Jika dirinci, angka pernikahan tahun 2021 ada di angka 1.742.049, sedangkan di tahun 2022 turun menjadi 1.705.348. Angka ini semakin turun pada tahun 2023 menjadi 1.577.255. 

Masih dari data BPS, proporsi perempuan berumur 20-24 tahun yang berstatus menikah pun semakin menurun setiap tahunnya. Tahun 2021, angka pernikahan pada perempuan usia 20-24 tahun masih di angka 9,23 persen, lalu mengalami penurunan menjadi 8,6 persen di tahun 2022. Persentase ini semakin menurun pada tahun 2023 menjadi 6,92 persen.

3. Gen z dan milenial menganggap bahwa usia pernikahan ideal adalah 25-28 tahun

Pernikahan di Mata Gen Z dan Milenial: Kebahagiaan atau Sekadar SimbolIlustrasi Pernikahan (Pexels.com/Photo by Min An)

Pergeseran perspektif gen Z dan milenial pun terlihat dari cara mereka memandang konsep pernikahan. Dulu, banyak orang yang memasang standar bahwa usia 24-25 menjadi usia yang ideal untuk menikah. Orang-orang yang belum menikah di usia 25 tahun biasanya mulai dipandang ‘sebelah mata’. Dari hasil survei, didapatkan bahwa mayoritas gen Z dan milenial (51,8 persen) setuju kalau usia pernikahan ideal itu adalah 25-28 tahun.

Lalu, sebanyak 25,9 persen responden memilih 29-32 tahun sebagai usia ideal menikah, sisanya sebanyak 5,3 persen memilih usia ideal menikah di angka 21-24 tahun. Di sisi lain, sebanyak 17 persen responden mengakui bahwa gak ada usia ideal untuk menikah. Dari sini, bisa terlihat bahwa mayoritas gen Z dan milenial memiliki standar usia yang lebih matang untuk menikah, yaitu di range 25-32 tahun.

"Sebenarnya konsep pernikahan itu gak berubah, ya. Dari dulu dinamika pernikahan akan berjalan seperti itu. Namun, saat ini generasi Z dan milenial sangat terpapar dengan media dan informasi. Kemarin juga banyak kasus-kasus terkait pernikahan yang ter-publish di Twitter. Jadi perspektif generasi ini berubah, mulai terjadi pemunduran usia ideal pernikahan. Dulu, usia 24-25 tuh dianggap tua banget untuk menikah, sekarang usia 27-28 belum menikah pun dianggap masih normal," kata Anette Isabella, seorang Psikolog Klinis.

Target usia ideal menikah ini juga menjadi salah satu pergeseran perspektif gen Z dan milenial. Seperti yang disebutkan Anette, sebenarnya konsep pernikahan sendiri memang gak berubah, tetapi suka duka di dunia pernikahan semakin terekspos. Dua generasi ini mulai bisa melihat bahwa dunia pernikahan gak hanya ‘suka’ saja, tetapi ada juga ‘duka’nya. Sehingga, mereka mulai memiliki pertimbangan yang lebih mendalam sebelum masuk ke dunia pernikahan.

Anette juga menambahkan, generasi saat ini sudah mulai memutuskan untuk menikah jika mereka ‘siap’, bukan hanya merujuk pada tuntutan sosial. Lagi-lagi, hal ini disebabkan karena mereka mulai terpapar realita bahwa dunia pernikahan gak selalu bahagia dan membutuhkan ‘struggle’. Sejalan dengan yang disebutkan oleh salah satu responden inisial IE (25 tahun).

"Kalau menikah cuma buat nurutin standar di masyarakat di mana umur segini-segini harus menikah, menurut aku itu gak benar, karena nikah bukan cuma buat menuhin tuntutan sosial. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan sebelum menikah, kayak mental dan finansialnya," ujarnya.

4. Uniknya, ada sejumlah gen z dan milenial yang sudah menikah tetapi sebenarnya gak memprioritaskan pernikahan

Pernikahan di Mata Gen Z dan Milenial: Kebahagiaan atau Sekadar Simbolilustrasi pernikahan menggunakan adat Jawa (pexels.com/rangga ispraditya)

Kelompok responden yang memilih gak memprioritaskan pernikahan ternyata bukan hanya berasal dari mereka yang single. Ada juga gen Z dan milenial (16,3 persen) yang sudah menikah namun mengakui bahwa pernikahan bukan prioritasnya. Jika diuraikan, dari 118 responden yang punya pasangan, ada 44 orang yang sudah menikah tetapi sebenarnya gak memprioritaskan pernikahan.

Mayoritas alasannya dikarenakan telah menemukan orang yang tepat (63 persen), untuk memenuhi kebutuhan emosional (34,8 persen), dan pastinya memang sudah siap secara mental dan fisik (32,6 persen). Di angka yang sama (32,6 persen), mereka juga mengakui bahwa mereka memutuskan menikah karena anjuran agama.

"Menurutku pernikahan itu tujuannya cuma ibadah aja, sama kayak orang yang belum menikah, kita ngejalanin hidup juga basic-nya kan buat ibadah," ujar responden berinisial DA (27 tahun).

Jika ditarik ke belakang, ternyata yang menjadi prioritas kelompok responden ini adalah kebahagiaan pribadi (80,4 persen), karier (41,3 persen), dan orangtua atau keluarga (26,1 persen). Walau begitu, banyak responden yang mengaku akhirnya enjoy menjalankan kehidupan pernikahannya. Karena keputusan mereka untuk menikah pun dibekali oleh kesiapan mental dan fisik. Beberapa responden juga setuju, ternyata menikah gak ‘menakutkan’ jika bertemu dengan pasangan yang tepat.

"Awalnya, bagi saya pernikahan adalah sesuatu yang menakutkan, bahkan sempat tidak ingin menikah padahal usia saya sudah kepala 3. Tapi ternyata setelah menikah, banyak sudut pandang saya berubah. Pernikahan tidak semenakutkan itu jika dijalani dengan orang yang tepat, yang sama sama mau belajar, mau berjuang, mau bersabar dan mau memahami satu sama lain," ucap responden dengan inisial GG dari Pulau Jawa.

Walau begitu, tentunya pernikahan mereka gak terlepas dari berbagai macam tantangan. Responden inisial MIA dari Pulau Jawa mengatakan, “Pernikahan cukup rumit jika diungkapkan hanya dengan bahagia saja, karena banyak perasaan lain yang menyertai. Namun sangat bersyukur atas pernikahan saya dengan berbagai perasaan marah, kesal, sedih, kecewa, bangga, haru, dan bahagia.”

Sebanyak 97,8 persen responden pun sepakat bahwa komunikasi dan toleransi menjadi kunci untuk menghadirkan kehidupan pernikahan yang lebih bahagia. Selain itu, 65,2 persen responden mengatakan bahwa stabilitas finansial pun menjadi salah satu usaha agar pernikahan bisa sukses.

5. Anjuran agama menjadi alasan utama gen z dan milenial memprioritaskan pernikahan

Pernikahan di Mata Gen Z dan Milenial: Kebahagiaan atau Sekadar SimbolInfografis tren pernikahan di mata gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Selaras dengan pendapat dari responden yang sudah menikah namun bukan prioritas, alasan utama responden yang memprioritaskan pernikahan (23 persen) adalah anjuran agama. Di angka yang sama (53,8 persen), gen Z dan milenial juga memprioritaskan pernikahan karena ingin mendapatkan keturunan. Alasan lainnya adalah ingin memenuhi kebutuhan emosional serta untuk melanjutkan fase hidup (50,8 persen) dan telah menemukan orang yang tepat (49,2 persen).

Jika dilihat, anjuran agama masih menjadi alasan dari mayoritas gen z dan milenial yang memprioritaskan pernikahan atau memilih menikah. Responden inisial NK dari Pulau Jawa mengatakan, "Dalam agama saya, pernikahan adalah anjuran yang sangat penting, karena menikah sama dengan ibadah seumur hidup. Pernikahan tidak memberikan jaminan 100% bahagia setiap hari. Pasti akan ada masa sulit yang harus dilewati. Namun dengan menikah akan memberikan warna, support system, dan partner hidup."

Bukan hanya itu, keinginan meneruskan keturunan dan membentuk keluarga baru pun menjadi salah satu alasan gen z dan milenial memilih menikah. Responden dengan inisial HD (26 tahun) mengatakan, "Pernikahan bisa memberikan kebahagiaan, karena selayaknya manusia hidup berpasangan dan berkelompok, pernikahan dapat menjadi fondasi awal membentuk keluarga baru yang diidamkan."

Sebagian besar gen Z dan milenial yang memilih opsi ini juga setuju, kebahagiaan gak serta merta datang dari pernikahan. Namun, kebahagiaan itu bisa diciptakan sendiri untuk membangun keluarga dan pernikahan yang lebih bahagia. Responden NK mengatakan,

"Kebahagiaan harus diupayakan oleh dua orang dan standar bahagia setiap rumah tangga berbeda-beda. Yang terpenting temukan orang yang tepat agar sesulit atau semudah apapun jalan bahtera rumah tangga tetap kuat dan kokoh mengarungi samudera ujian pernikahan."

Responden SK memiliki pendapat yang sama, "Kebahagiaan dalam pernikahan bukanlah jaminan mutlak, namun pernikahan memiliki potensi besar untuk memberikan kebahagiaan. Komitmen untuk tumbuh bersama, berbagi tanggung jawab, dan menghargai satu sama lain dapat memberikan kepuasan dan kebahagiaan."

Baca Juga: INFOGRAFIS: Mengupas Tren Perselingkuhan di Mata Gen Z dan Millennials

6. Sedangkan gen z dan milenial yang tidak/belum memprioritaskan pernikahan lebih fokus pada karier serta diri sendiri

Pernikahan di Mata Gen Z dan Milenial: Kebahagiaan atau Sekadar SimbolInfografis tren pernikahan di mata gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Menjadi opsi yang paling banyak dipilih gen Z dan milenial (47,5 persen), ada beberapa alasan mengapa dua generasi ini belum/tidak memprioritaskan pernikahan. Alasan paling banyak adalah karena mereka fokus pada pendidikan, karier, dan pengembangan diri (71, 9 persen). Sedangkan alasan lainnya yaitu belum mapan secara finansial dan emosional (66,7 persen) dan memang belum memiliki pasangan (41,5 persen).

Dapat dikatakan, responden yang gak memprioritaskan pernikahan ternyata memang berfokus untuk pendidikan/karier dan pengembangan diri. Responden AA (24 tahun), mengakui bahwa ia lebih fokus untuk mengejar pendidikan dan karier karena gak memerlukan pertimbangan rumit, "Pengembangan karier atau pendidikan tidak memiliki banyak pertimbangan rumit, dan banyak memiliki waktu untuk melakukan beberapa hal yang di ingin realisasikan."

Anette menambahkan, dalam teori segitiga Maslow itu ada yang bernama hierarki kebutuhan. Segala keputusan manusia biasanya dipengaruhi oleh hierarki kebutuhan. Di posisi paling bawah, ada kebutuhan fisiologi, yakni kebutuhan primer, safety needs (kebutuhan untuk keamanan), dan social needs (membutuhkan pasangan/partner).

"Sebelum akhirnya ke kebutuhan social needs, manusia cenderung memenuhi safety needs terlebih dahulu. Itu kenapa, generasi sekarang fokus dulu pada pencapaian karier dan mencapai financial freedom. Ibaratnya, gimana bisa naik ke level social needs (membutuhkan pasangan), kalau safety needs-nya belum terpenuhi," jelasnya.

Menurut Anette, generasi Z dan milenial yang saat ini lebih memprioritaskan karier/pendidikan, itu bukan sekadar tren sesaat. Namun, fenomena ini memang manusiawi dan secara psikologi pun step-nya seperti itu. 

"Mungkin akhirnya kita belum membutuhkan pasangan kalau belum ngerasa safe sama kehidupan kita yang sekarang. Kalau sudah safe dan settle sama diri sendiri, mungkin akhirnya muncul kebutuhan social needs atau ingin punya pasangan," lanjut Anette.

Kebutuhan akan safety needs ini juga senada dengan alasan gen Z dan milenial gak memprioritaskan pernikahan karena belum mapan secara finansial dan emosional. Itulah kenapa, mereka berusaha untuk fokus dan membahagiakan diri sendiri terlebih dahulu. Responden inisial AR (27 tahun) mengatakan,

"Alasan gak memprioritaskan pernikahan karena belum settle sama finansial, takut akhirnya malah menyusahkan pasangan. Selain itu, tiap orang juga punya bagasi masa lalu, takut kebawa sampai pernikahan dan berdampak ke pasangan/anakku nanti."

Di sisi lain, mayoritas gen Z dan milenial yang saat ini belum/tidak memprioritaskan pernikahan pun mengakui mereka tetap bahagia. Selain karena sudah terbiasa sendiri, mereka juga  menganggap bahwa menikah itu bukan satu-satunya cara untuk menemukan ‘kebahagiaan’.

"Menurut saya, (tetap melajang) itu bisa saja tetap bahagia. Lagipula, jika melajang gak membuat orang bahagia, belum tentu jawabannya adalah menikah. Banyak faktor yang bisa membuat seseorang bahagia. Menurut saya, ada tidaknya pasangan hanya menjadi salah satu faktor saja untuk menentukan apakah seseorang dapat bahagia atau tidak," tutur responden dengan inisial DMP dari Pulau Jawa.

7. Hampir semua gen z dan milenial setuju bahwa saat ini, pernikahan bukan suatu ‘fase keharusan’ dalam hidup

Pernikahan di Mata Gen Z dan Milenial: Kebahagiaan atau Sekadar SimbolInfografis tren pernikahan di mata gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Baik gen Z dan milenial yang memprioritaskan pernikahan atau tidak, keduanya setuju bahwa pernikahan bukan merupakan suatu 'fase keharusan' dalam hidup. Ini juga menjadi salah satu buah dari pergeseran perspektif kedua generasi ini.

"Karena pernikahan itu perihal kesiapan daripada keharusan. Mulai dari sisi fisik, psikis, finansial, sampai dari sisi rohani. Satu-satunya yang harus dalam sebuah pernikahan adalah harus siap," ucap responden inisial MD (29 tahun).

Pandangan ini mencerminkan pergeseran budaya yang semakin terlihat di era modern, di mana prioritas dan definisi kebahagiaan serta pemenuhan diri tidak lagi terikat hanya pada pernikahan. Generasi muda saat ini cenderung mengejar pencapaian pribadi, eksplorasi karier, serta menjalin hubungan yang bermakna tanpa adanya tekanan untuk menikah. 

Hal ini selaras dengan hasil penelitian dalam jurnal ‘Studi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Menunda Menikah  pada  Wanita  Dewasa  Usia Awal’ oleh Khairul Fadhilah Mahfuzhatillah. Dalam penelitian tersebut, faktor utama yang mempengaruhi seseorang menunda pernikahan adalah keinginan untuk fokus terhadap pekerjaan. Selain itu, ada juga alasan lainnya yaitu keinginan untuk menjalani kehidupan pribadi secara bebas (fokus pada diri sendiri).

8. Di sisi lain, gen z dan milenial juga setuju kalau pernikahan bukan hanya sekadar simbol/ritual, tetapi bisa membawa kebahagiaan dan perubahan

Pernikahan di Mata Gen Z dan Milenial: Kebahagiaan atau Sekadar SimbolInfografis tren pernikahan di mata gen Z dan milenial (IDN Times/Aditya Pratama)

Hampir semua gen Z dan milenial menganggap bahwa pernikahan itu bukan sekadar simbol atau ritual. Mereka meyakini bahwa pernikahan adalah hal yang sakral dan gak untuk main-main. Itu juga menjadi alasan mengapa mereka merasa memerlukan kesiapan yang sangat matang untuk memasuki dunia pernikahan.

"Pernikahan sudah seharusnya menjadi momen sekali dalam seumur hidup. Jadi harus banyak pertimbangan dan persiapan, harus siap secara lahir dan batin. Jadi pernikahan itu bukan hanya simbol/ritual, karena sifatnya sangat sakral,” tutur responden NA (24 tahun).

Lalu, jika berbicara tentang kebahagiaan dalam pernikahan, kedua generasi ini memiliki jawaban yang beragam. Ada yang merasa bahagia setelah menikah, di sisi lain ada juga yang merasa bahwa pernikahan gak sepenuhnya membawa kebahagiaan. Namun, pada akhirnya, kebanyakan responden setuju kalau kebahagiaan itu bisa diciptakan oleh diri sendiri.

"Soal kebahagiaan, itu really depends on people. Karena kalau kita mau cari kebahagiaan dari hal-hal eksternal (termasuk pernikahan), itu sifatnya semu banget. Ada orang yang mungkin bahagia kalau habis meraih pendidikan tinggi, ada juga yang bahagia ketika memiliki pasangan," jelas Anette.

Setiap individu memiliki konsep kebahagiaan yang berbeda. Mayoritas responden yang memprioritaskan pernikahan mengaku bahwa menikah mungkin memang bisa menciptakan kebahagiaan, tetapi ada juga ragam emosi lainnya yang dirasakan. Mereka setuju, kebahagiaan dalam pernikahan bisa diciptakan asal kedua belah pihak bekerja sama dan sama-sama mau belajar.

"Pernikahan gak memberikan jaminan bisa 100 persen bahagia setiap hari. Pasti akan ada masa sulit yang dilewati. Kebahagiaan harus diupayakan oleh dua orang dan standar bahagia setiap rumah tangga berbeda-beda," kata NK.

Sedangkan responden yang gak memprioritaskan pernikahan pun memiliki pandangan yang serupa. Mereka menganggap bahwa pernikahan mungkin bisa memberikan kebahagiaan, tetapi bukan berarti dijadikan pelarian untuk ‘hidup bahagia’ saja. Ada banyak tantangan yang akan dihadapi dalam dunia pernikahan.

Intinya, pernikahan bukan melulu berbicara tentang kebahagiaan. Ada banyak kesiapan dan pertimbangan yang harus dilakukan. Pernikahan artinya kita sudah siap melangkah ke arah yang lebih jauh. Sehingga harus siap secara fisik, finansial, mental, dan tentunya komitmen.

"Pernikahan menurut saya bukan hanya tentang berbagi suka duka bersama, tapi juga tentang bagaimana menjalani pernikahan dengan hal-hal yang lebih baik dari sebelum menikah. Bukan tentang saling mengalah, tapi juga saling mengingatkan. Bukan hanya tentang dua manusia yang tinggal bersama, tapi juga tentang hidup bersama. Menikah itu saling bertumbuh," kata NF (29 tahun).

9. Apa yang harus dipersiapkan gen Z dan milenial sebelum memutuskan menikah?

Pernikahan di Mata Gen Z dan Milenial: Kebahagiaan atau Sekadar Simbolilustrasi pernikahan (unsplash.com/Alvin Mahmudov)

Mayoritas gen Z dan milenial, baik yang masih melajang maupun telah berpasangan, memiliki pandangan bahwa pernikahan bukan menjadi  prioritas dalam hidupnya. Fokus pendidikan dan karier menjadi alasan utama bagi generasi muda untuk menunda pernikahan. Sementara responden yang memprioritaskan pernikahan, mengaku dilatar belakangi atas anjuran agama dan keinginan memiliki keturunan. 

Hampir semua responden sepakat bahwa pernikahan memang bukan hal yang mudah. Banyak persiapan dan pertimbangan yang harus dilakukan. Anette yang merupakan Psikolog Klinis memberikan beberapa tips dan kunci sebelum memasuki pernikahan,

Menurut Anette, kunci utamanya ada di diri sendiri. Sebelum akhirnya menikah, sebaiknya kita harus settle untuk diri sendiri. Karena orang lain belum tentu bisa memahami atau mengerti kita sejauh diri kita sendiri.

"Kita harus pahami diri sendiri terlebih dahulu. Kalau ada luka, kita obati dulu. Kalau ada pemikiran atau perspektif yang keliru, kita perbaiki dulu. Supaya kalau mau hidup sama orang lain, itu udah lebih enak, udah gak egois, dan gak lagi berfokus pada diri sendiri," ucapnya.

Momen ketika kita single atau belum menikah dapat dimanfaatkan untuk lebih mengenali diri sendiri. Karena itu menjadi fondasi penting ketika kita memutuskan untuk hidup dengan orang lain. Jadi, kuncinya ada dalam diri sendiri. Usahakan kita sudah settle dan merasa cukup dengan diri sendiri sebelum akhirnya memutuskan menikah.

Dapat dilihat, saat ini gen Z dan milenial lebih banyak yang belum atau bahkan tidak memprioritaskan pernikahan. Seperti yang disebutkan Anette, penyebabnya bukan semata-mata tren belaka. Namun, adanya faktor psikologis hierarki kebutuhan yang mendasari ini.

Di sisi lain, mayoritas gen Z dan milenial sepakat bahwa pernikahan merupakan hal yang sakral dan bukan sekadar simbol/ritual. Meski begitu, kedua generasi ini juga setuju, kebahagiaan itu gak harus terlalu digantungkan pada pernikahan. Karena kebahagiaan itu kita yang ciptakan. Kalau menurutmu, menikah adalah prioritas atau bukan?

Baca Juga: INFOGRAFIS: PNS vs. Swasta, Mana Profesi Idaman Milenial dan Gen Z?

Topik:

  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya