Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Untukmu yang Diam-diam Menancapkan Luka di Punggungku #14HariBercerita

howheasked.com

Selamat sore. Senang bisa menyapamu kembali. Laki-laki dengan tatapan teduh yang sempat membuatku terperangkap. Tenang! Itu dulu. Harus aku akui dengan besar hati, bahwa kamu memang pernah membuatku jatuh hati. Bahkan aku dan kamu pernah berjanji setia atas nama cinta.

Pada awalnya kita adalah sepasang kekasih yang bahagia. Merenda hari-hari dengan cinta dan senyum. Bahkan rencana pernikahan telah didepan mata. Aku pun telah larut dalam sukacita euforia persiapan pernikahan kita.

Aku luar biasa bahagia saat itu. Kamu memang pernah memberikan kebahagiaan besar untuk diriku. Suka tidak suka aku harus mengakui itu. Aku terhanyut dalam senyuman. Arus itu begitu kuat, hingga tanpa ku sadari telah membawaku masuk dalam jurang nestapa.

Diam-diam kamu telah bermain api dibelakangku. Menebar cinta pada dia yang juga kamu sebut kekasih. Malangnya kamu juga memberi janji untuk sehidup semati padanya. Mengucap kesediaan untuk menikahi wanita itu di depan kedua orangtuanya. Hati siapa yang tak akan nelangsa bila cintanya sengaja dikhianati?

Kamu yang pernah selalu aku banggakan. Kamu yang membuatku terkagum-kagum karena keluwesanmu bersosialisasi. Karena kepandaianmu itu pula, kamu bisa memikat banyak hati. Membuat banyak orang bersimpati karena tutur ramah dan senyum manismu.

Sayangnya, kamu tak cukup belajar tentang arti kesetiaan. Ada batas-batas kesetiaan yang memang kamu langgar dengan sadarmu. Kamu yang pernah berjanji untuk menjadi tempat bersandar bagiku hingga tutup usiaku kelak, diam-diam telah menancapkan luka di punggungku. Luka itu kemudian merembet hingga ulu hati. Meninggalkan kepedihan dan tangis.

Ada saatnya aku terpuruk. Masih tak mempercayai semua tindakanmu. Namun, itu dulu. Ada saatnya aku harus kembali belajar berdiri tegak. Mengangkat kepala dengan gembira tanpa ada air mata yang mengalir di pipi. Tuhan begitu baik padaku. Membuka kedokmu, sebelum aku resmi menjadi nyonyamu.

Akhirnya terima kasih pernah memberikan kebahagiaan dan kesediahan di hidupku. Mengajarkanku tentang arti guratan senyum dan tangis. Tak ada yang salah dengan keluwesanmu bersosialisasi dan juga keramahanmu. Tapi bukankah tak seharusnya kamu diam-diam menancapkan luka di punggungku?

Share
Topics
Editorial Team
Resti Dhian
EditorResti Dhian
Follow Us