Ashilly Achidsti Angkat Isu Gender hingga Kekerasan lewat WELLSharing

Isu gender dan perempuan perlu mendapatkan perhatian lebih

Jakarta, IDN Times - Berkembangnya dunia media sosial tak pelak menghadirkan ruang yang nyaman dan aman untuk berbagi kisah. Terlebih bagi para perempuan, mereka cukup rentan mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO) hingga ketidaksetaraan gender. Itulah mengapa banyak orang kembali menggaungkan opini dan edukasi seputar hal tersebut. 

Hal ini menjadi concern utama yang disuarakan Ashilly Achidsti melalui WELLSharing. Sebagai pegiat isu gender dan kebijakan, Ashilly berupaya menciptakan wadah yang tepat untuk berbagi pengalaman mengenai relasi sehat, kesetaraan gender, hingga kesehatan mental.

Di samping itu, Ashilly juga aktif menyampaikan opini-opini atau kritikannya terhadap kebijakan atau suatu fenomena ke dalam tulisan. Kisah seru Ashilly Achidsti dalam menyuarakan isu-isu gender dan perempuan dibagikannya melalui wawancara secara daring dengan IDN Times pada Minggu (21/1/2024).

1. Cerita orang lain perihal kekerasan dalam berpacaran, mendorong Ashilly untuk membuat WELLSharing

Ashilly Achidsti Angkat Isu Gender hingga Kekerasan lewat WELLSharingKegiatan WELLSharing (dok. WELLSharing)

Cikal bakal tumbuhnya WELLSharing berasal dari pengalaman-pengalaman kurang menyenangkan yang dialami oleh kawan-kawan dekatnya. Tampaknya, perkara hubungan yang toxic, red flag, dan kekerasan dalam berpacaran masih menjadi isu problematik yang serius.

Itu sebabnya, perempuan yang akrab disapa Hilly ini, merasa perlu ada wadah untuk membahas isu-isu tersebut. Melihat berbagai pengalaman buruk yang dialami perempuan, WELLSharing ingin hadir memberikan wadah bagi perempuan untuk berbagi pengalamannya dalam suatu hubungan. 

Hilly menuturkan, “Menurut kami, akarnya red flag itu ya, dia tuh tidak bisa menghargai perempuan. Jadi, posisi perempuan pada relasi pacaran itu lemah. Nah, karena kebetulan saya concern-nya di kesetaraan gender, jadi intinya kami membuat WELLSharing itu yang fokusnya di relation, kesetaraan gender. Satu lagi fokus kami, di mental health.”

Lantas, ia menggagas WELLSharing bersama dengan Arina Makarimal Fasya, Aufa Huwaidi Alfasya, dan Rizqi Karomatul Khoiruh pada tahun 2020. Nama WELLSharing merupakan akronim dari Women, Equality, Relation, Anti Violence, dan Sharing.

“Jadi kami ingin mengangkat terkait kesetaraan perempuan dalam hal relasi tentunya. Ketika kesetaraan perempuan itu dalam hal relasi bisa terwujud, tentu secara tidak langsung bisa menjaga kesehatan mental dari pasangan itu sendiri,” tambahnya.

2. WELLSharing melakukan riset seputar Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)

Ashilly Achidsti Angkat Isu Gender hingga Kekerasan lewat WELLSharingKegiatan WELLSharing (dok. WELLSharing)

Sebagai wadah aman untuk bercerita, WELLSharing membuka kesempatan bagi para pengikutnya untuk curhat. Hal tersebut dilatarbelakangi persoalan seputar KBGO yang kerap terjadi dan membuat mereka kesulitan atau bingung harus bercerita kepada siapa.

“(Ada perasaan) Takut disebarkan. Kalau cerita ke orangtua atau keluarganya, malah takut dimarahi. Mereka butuh teman sebenarnya dan karena WELLSharing membuka fasilitas tersebut, ya mereka akhirnya curhatnya kepada justru kepada WELLSharing di mana notabene itu merupakan orang-orang yang tidak mereka kenal. Dalam artian, bukan temennya, bukan keluarganya, tapi malah trust itu bisa mereka berikan kepada WELLSharing untuk bercerita,” terangnya.

Hilly lanjut menjelaskan, “Kalau KBGO, apa sih yang harus dilakukan? Misalkan, jangan panik, malah justru menghapus semua jejak digitalnya dengan pelaku. Itu adalah salah satu tips yang kami berikan ketika teman-teman korban itu bercerita kepada WELLSharing di DM Instagram.”

WELLSharing pun membuat riset seputar KBGO. Hilly menilai bahwa tingkat terjadinya KBGO makin tinggi saat pandemik karena banyak orang menggunakan media sosial. Divisi riset WELLSharing menyebar kuesioner dari 1 Desember 2021 hingga 10 Januari 2022.

Hasilnya ditemukan bahwa mayoritas penyintas KBGO adalah mahasiswa. Selain itu, penyintas banyak mendapatkan kiriman gambar yang kurang senonoh hingga komentar yang bersifat melecehkan dari media sosial.

Hilly menegaskan, “Kebanyakan dalam relasi pacaran. Misalkan, mereka ada masalah antara laki-laki dan perempuan. Laki-lakinya gak mau putus, tapi perempuannya mau putus. Akhirnya, laki-laki mengancam menyebarkan konten. Misalkan, topless cewek tersebut supaya tidak mau putus. Kita sebut biasanya istilah revenge porn. Ada pemerasan di situ.”

Berdasarkan infografis WELLSharing di laman media sosialnya, terungkap data bahwa ada 25 dari 65 orang yang merupakan korban KBGO. Sebanyak 60 persen di antaranya tidak berupaya mencari bantuan karena merasa bukan masalah yang serius. KBGO juga memberikan dampak psikis, seperti perasaaan tidak percaya diri, cemas, susah tidur, hingga frustasi. 

3. WELLSharing banyak melakukan kegiatan offline hingga online untuk mengembangkan diri hingga menyebarkan edukasi tentang pernikahan dini

Ashilly Achidsti Angkat Isu Gender hingga Kekerasan lewat WELLSharingAshilly Achidsti, founder WELLSharing (dok. WELLSharing)

Selain membuka laman curhat di Instagram, WELLSharing juga mengadakan kegiatan offline maupun online. Di tahun 2023, WELLSharing mulai merambah ke website yang di dalamnya banyak informasi-informasi mengenai kesejahteraan gender, relasi yang sehat, dan kesehatan mental.

WELLSharing sempat membuka kelas-kelas mengenai personal growth tentang public speaking dan komunikasi asertif dalam relasi romantis. Tujuannya untuk menarik Gen Z agar mereka memiliki pemahaman yang sama dan benar sehingga berdampak baik juga untuk kesehatan mentalnya.

Selain itu, Hilly mengatakan bahwa WELLSharing bekerjasama dengan lembaga-lembaga keagamaan untuk masuk ke pesantren-pesantren. WELLSharing bekerjasama dengan AMAN Indonesia dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dalam membuat diskusi yang membahas seputar pernikahan dini. 

Kegiatan yang berlangsung tahun 2023 lalu ini, menjadi bagian penting WELLSharing dalam memunculkan kesadaran para santri untuk mencegah terjadinya dampak negatif dari perkawinan di usia dini. Kegiatan tersebut juga berawal dari kenyataan bahwa angka pernikahan dini yang masih tinggi di DIY, khususnya di beberapa kabupaten.

“Jadi, akan keliling pesantren-pesantren terkait tentang gimana membangun keluarga yang kami sebutnya keluarga maslahah. Keluarga maslahah itu, ya intinya, keluarga yang bermanfaat untuk orang luar bahwa dalam diri keluarga itu harus clear dulu nih. Harus setara dulu nih, harus bisa saling memahami, saling berbagi tugas. Salah satunya adalah clear dulu untuk internalnya,” ungkapnya.

4. Ketertarikan pada isu gender berawal dari buku-buku yang dibaca

Ashilly Achidsti Angkat Isu Gender hingga Kekerasan lewat WELLSharingAshilly Achidsti, founder WELLSharing (dok. WELLSharing)

Apa yang dilakukannya dengan WELLSharing tak lepas dari ketertarikan Hilly terhadap isu gender. Buku menjadi hal yang membuatnya ingin mengenal dan mendalami isu-isu tentang perempuan lebih dalam lagi.

Hilly tumbuh dalam keluarga yang mengharuskannya membaca buku sejak kecil. Saat duduk di bangku SMA, perempuan yang kini menjadi Dosen Administrasi Publik di Universitas Negeri Yogyakarta ini, mulai tertarik dengan dunia feminisme sejak membaca buku Ekofeminisme Vandana Shiva terkait keterhubungan antara perempuan dengan lingkungannya.

Hilly juga aktif menjadi Ketua Partai Mahasiswa Srikandi Universitas Gadjah Mada saat berkuliah. Gak hanya itu, ia juga membawa isu gender melalui tesis. Bahkan hingga kini, ia aktif membuat tulisan seputar gender dan perempuan yang dipublikasikannya baik di website WELLSharing maupun media.

Contohnya, Hilly mengkritisi jalannya Debat Capres 2024 yang belum membahas mengenai pelayanan publik inklusif untuk perempuan dan anak. Menurutnya, kedua isu tersebut bisa digali lebih dalam lagi karena angka kekerasan di tahun 2023 masih tinggi. 

Menurut pandangannya, adalah hal yang baik ketika sudah ada regulasi untuk menangani berbagai permasalahan seperti kekerasan seksual hingga bullying. Namun sayangnya, hal tersebut belum dianggap sebagai hal yang urgent untuk dibahas.

“Kadang kita merasa bahwa itu bukan hal yang menghantui karena keluarga kita tidak merasakan hal tersebut, tetapi kita tidak memikirkan bahwa, ‘Oh, ternyata keluarga teman kita ataupun misalkan relasi kita itu, menjadi korban dari kekerasan seksual seperti itu’,” ucapnya.

Baca Juga: Arfilla Ahad Dori Sebarkan Edukasi Parenting-Ilmiah lewat Parentific

5. Stigma terhadap perempuan masih melekat di kehidupan sehari-hari

Ashilly Achidsti Angkat Isu Gender hingga Kekerasan lewat WELLSharingKegiatan WELLSharing (dok. WELLSharing)

Sebagai seorang perempuan yang juga bekerja, Hilly mengaku bahwa ia pun masih mendapatkan pandangan yang negatif dari sekitar. Perihal menikah merupakan hal yang disorot oleh banyak orang, seperti stigma atau pandangan negatif kepada perempuan yang menikah di usia akhir 20-an.

“Saya menikah di umur 27 tahun, mungkin bagi orang lain, itu adalah umur yang sudah terlambat untuk perempuan. Tetapi menurut saya, ya itu porsi saya segitu. Waktu saya untuk menikah di tahun tersebut, kayak gitu. Banyak yang bilang, 'Kamu nikah dulu aja. Nanti kalau kamu S3 langsung, nanti makin takut nih laki-laki yang mau mendekati,'” katanya.

Hilly melanjutkan, “Menurut saya, ketika perempuan itu dibatasi dan pembatasnya adalah standar orang lain kayak gitu, ya itu tidak bisa memberikan pengembangan diri bagi perempuan.”

Setiap orang berhak untuk tumbuh dan berkembang. Namun, bukan berarti hal-hal seperti itu membuat perempuan harus merendahkan diri atau merendahkan kualitas demi mendapatkan pasangan. Dari persoalan ini, Hilly juga melihat bahwa tataran perempuan berada di lingkup domestik dan mengurus rumah tangga saja.

Hilly berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki kesamaan dalam hal akses. Ia berkata, “Menurut saya, perbedaan perempuan dan laki-laki itu hanya dalam segi biologisnya saja. Tentunya akan berdampak pada pengalaman biologis, misalnya ketika perempuan memiliki rahim, ya nanti berpotensi hamil dan melahirkan sehingga memiliki anak. Sudah punya anak dan memiliki payudara, ya potensi menyusui. Tetapi, akses-akses untuk, misalkan kerja, ketika ada ibu-ibu pekerja dan sedang menyusui, ya jangan ditutup akses bekerjanya.”

Artinya, perempuan juga berhak mendapatkan lingkungan kerja yang friendly terhadap ibu menyusui dan ibu hamil. Bagi Hilly, perempuan dan laki-laki bisa menjadi sama secara akses, tetapi yang terpenting adalah membuat lingkungan lebih menghargai pengalaman biologis perempuan. Ketika lingkungan bisa menghargai hal tersebut, maka perempuan juga bisa mendapatkan akses yang sama dalam hal pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

6. Ashilly menelurkan karya berupa buku Gender Gus Dur

Ashilly Achidsti Angkat Isu Gender hingga Kekerasan lewat WELLSharingBuku karya Ashilly Achidsti, founder WELLSharing (dok. WELLSharing)

Sebagai pegiat isu gender, Hilly membuat karya baru dalam bentuk buku. Buku berjudul “Gender Gus Dur: Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid” merupakan hasil rombakan dari tesisnya saat mengemban pendidikan Magister Manajemen dan Kebijakan Publik dari UGM.

“Di buku itu, aku membahas tentang gimana sih kebijakan-kebijakan kesejahteraan gender era Abdurrahman Wahid ketika menjadi presiden. Meskipun belum ada 2 tahun ya, 21 bulan, tetapi dalam era Presiden Gus Dur itu, ada 3 kebijakan yang saat itu saya soroti,” jelasnya. 

Apa yang dibahas dalam buku tersebut menjadi cerminan bahwa pembahasan hingga kebijakan terkait kesetaraan gender masih sulit. Hilly menyoroti adanya inpres yang sampai saat ini menjadi pembahasan hukum untuk pengarusutamaan gender. 

“Jadi, saya membahas bagaimana Gus Dur sebagai seorang presiden meskipun dalam masa yang singkat, itu bisa memberikan landasan-landasan kebijakan gender yang sampai sekarang masih menjadi landasan untuk pengarusutamaan gender di Indonesia,” sambungnya. 

7. Hilly berharap mulai banyak konten atau diskusi yang bisa membukakan mata lebih banyak orang terkait kesetaraan gender

Ashilly Achidsti Angkat Isu Gender hingga Kekerasan lewat WELLSharingKegiatan WELLSharing (dok. WELLSharing)

Hidup di era yang penuh teknologi, tanpa sadar membuat seseorang hidup dengan hal-hal yang praktis dan instan. Tak jarang, masyarakat mengejar konten viral demi popularitas. Namun, Hilly berpandangan harus lebih banyak konten-konten Gen Z maupun Milenial yang positif. 

“Generasi Milenial diharapkan untuk bisa memproduksi konten-konten positif terkait tentang kesetaraan gender melalui media sosial. Nah, harapannya dengan misalkan membuat diskusi-diskusi online ataupun konten-konten positif lainnya itu, bisa membukakan mata lebih banyak orang terkait kesetaraan gender,” sebutnya. 

Selain itu, Hilly melihat fakta bahwa ternyata remaja atau perempuan Indonesia jauh lebih sulit mengutarakan pendapat, terutama bila pendapatnya berbeda dari kalangan mayoritas. 

“Jadinya, stigma perempuan memiliki pemikiran kritis atau pemikiran yang berbeda, dianggap sebagai perempuan yang ngeyel, perempuan yang susah diatur. Padahal, ketika kita membenarkan hal tersebut, dalam artian kita tidak mulai berani mengutarakan apa yang kita pikirkan, ya itu akan terus berlanjut, entah kita tahu sampai kapan bahwa perempuan itu gak boleh bersuara,” ucapnya.

Oleh karena itu, ia merasa semua perempuan harus bisa speak up apa yang mereka rasakan. Ketika tidak percaya diri untuk mengutarakan secara lisan, maka bisa diutarakan secara tulisan. Itulah langkah kecil yang bisa dilakukan agar setiap orang mampu menghargai pendapat diri sendiri dan orang lain.

8. Bagi Hilly, perempuan yang hebat adalah mereka yang tahu ke mana arah hidupnya

Ashilly Achidsti Angkat Isu Gender hingga Kekerasan lewat WELLSharingAshilly Achidsti, founder WELLSharing (dok. WELLSharing)

Seraya menutup obrolan hangat dengan IDN Times. Hilly menyampaikan pesan dan pandangannya terhadap perempuan. Baginya, setiap perempuan berhak mengambil keputusan yang tepat untuk kehidupan mereka masing-masing.

“Menurut saya, perempuan yang hebat itu adalah perempuan yang tahu kemana arah hidupnya. Apa yang ingin dia lakukan dan apa yang ingin dia putuskan dalam hidupnya,” katanya.

Ketika perempuan sudah memutuskan menjadi mahasiswa, ibu rumah tangga, atau ibu pekerja, artinya itu bukan keterpaksaan yang harus dijalani. 

“Ketika memang dia mencita-citakan menjadi ibu rumah tangga, silakan dilakukan dengan bahagia. Tapi ketika mahasiswa sudah lulus, ingin bekerja, seperti itu, lakukan hal tersebut. Ingin kuliah setinggi-tingginya sampai S3 atau postdoc, ya lanjutkan seperti itu. Jangan terpengaruh dengan keputusan-keputusan orang lain terhadap dirinya. Perempuan yang hebat adalah perempuan yang tahu apa yang dia ingin lakukan dan bisa menyaring apa yang menurut dia baik,” tutupnya.

Baca Juga: Serunya Nur Anugerah Menjadi Penggagas Sedekah Buku Indonesia

Topik:

  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya