Dr. Astrid HW-Levi, EdD: Tiap Anak Itu Unik dan Gak Bisa Disamakan

Co-founder Playhouse Academy ungkap kisah seru jadi pendidik

Jakarta, IDN Times - Jatuh cinta pada dunia pendidikan anak-anak membuat Dr. Astrid HW-Levi, Ed.D rela mengenyam studi doktoral di bidang yang sangat jauh berbeda dari jurusannya saat sarjana. Hal ini juga yang menantang dirinya untuk mendirikan sekolah bagi anak usia dini bernama Playhouse Academy.

Melalui wawancara dengan IDN Times pada Kamis (22/2/2024), Astrid menyampaikan banyak kisah seru dan inspiratifnya menjalani kehidupan sebagai seorang pendidik sekaligus ibu dari tiga orang anak. Lantas, apa pandangannya terhadap dunia anak-anak dan pendidikan di Indonesia sekarang?

1. Lulusan S1 Sistem Informasi yang mengambil studi doktoral di bidang pendidikan anak-anak usia dini

Dr. Astrid HW-Levi, EdD: Tiap Anak Itu Unik dan Gak Bisa DisamakanDr. Astrid HW-Levi, EdD, Co-Founder Playhouse Academy (dok. Astrid Levi)

Apa yang dipelajarinya saat kuliah dan apa yang menjadi profesinya, sangatlah berbeda. Astrid merupakan lulusan University of Melbourne yang mengambil jurusan Informasi Sistem. Sejak kecil, ia sudah tertarik dengan dunia pendidikan sehingga memilih melanjutkan Master of Education in Early Childhood di Wheelock College Singapore pada tahun 2004.

Kala itu, Astrid berpikir bahwa setiap anak punya cara yang berbeda dalam merespons suatu hal. Pengalaman pekerjaan makin membuat Astrid belum merasa cukup, ibu tiga anak ini menambah ilmu studi doktoral di bidang Educational Leadership dari Liberty University.

“Saya pikir dengan adanya sekolah makin banyak, anak-anak berkebutuhan sekarang nyebutnya bukan special needs. Kita nyebutnya neurodivergent. Jadi bagaimana otak anak-anak dan otak kita, respond to different things in a different way. Saya melihat penting untuk belajar lagi,” katanya.

Perjalanan kariernya dalam dunia pendidikan cukup beragam. Saat masih menetap di Singapura, Astrid pernah bekerja di beberapa sekolah. Kemudian pindah ke Jakarta dan memiliki banyak kesempatan untuk mengurus keluarga kecilnya.

“Ada sempat di mana saya gak bekerja, tapi saya membesarkan anak-anak sendiri tanpa suster gitu. Jadi, benar-benar saya hands on 24 jam sehari sama anak-anak. Akhirnya saya belajar mengenai motherhood, parenting, dan itu sangat penting untuk jadi bekal sekarang saya punya sekolah ini (Playhouse Academy),” imbuh Astrid.

2. Astrid mengaku bahwa setiap anak memiliki challenge masing-masing

Dr. Astrid HW-Levi, EdD: Tiap Anak Itu Unik dan Gak Bisa DisamakanDr. Astrid HW-Levi, EdD, Co-Founder Playhouse Academy (dok. Astrid Levi)

“Menurut saya, any moms, ibu-ibu gak boleh dan jangan sampai melihat bahwa kita harus membagi waktu. Yang saya lihat adalah bagaimana saya di pekerjaan bisa kasih 100 persen. Kalau pekerjaan, orangtua, anak-anak lagi membutuhkan saya, saya kasih 100 persen. Waktu saya di rumah bersama dengan anak-anak dan suami, saya juga kasih 100 persen,” jelasnya.

Dikepung segudang aktivitas mengajarkannya tentang pentingnya prioritas. Ada waktu tertentu di mana Astrid harus back to back bekerja, ia akan meminta pengertian anak-anak. Namun, ada timbal balik yang diberikan untuk ‘menebus’ waktu yang hilang.

Astrid memiliki tiga anak dengan usia yang cukup jauh. Dua remaja laki-laki dengan satu perempuan berusia 8 tahun. Berbeda dengan guru yang sudah memiliki bahan ajar setiap hari, Astrid dilatih untuk lebih kreatif sebagai ibu. Ia tidak menyangkal bahwa mengurus anak tanpa harus memberi gadget adalah hal yang butuh effort besar.

“15 tahun yang lalu kan gak ada gadget, ya. Jadi, kalau sekarang orangtua anak-anak lari-lari, ya tidak sogokin gadget. Zaman dulu kan gak ada, gitu. Jadi, saya sebagai mama harus kreatif. Entah bawa mainan apa lah, supaya mereka bisa hidup diam makan, gitu, tanpa ada gadget. Jadi, saya melihat bahwa, ya, waktu dulu punya dua anak laki-laki itu challenge tersendiri untuk membesarkan mereka, gitu,” cerita Astrid.

Berbeda dengan kedua kakak laki-laki, Astrid merasakan ‘dunia’ yang berbeda ketika memiliki anak bungsu perempuan. Namun, ia justru semakin semangat untuk belajar hal baru sebagai ibu.

“Jadi, challenge-nya beda-beda. I enjoy it karena setiap anak berbeda. Gak bisa pakai parenting method yang sama, gak bisa pakai discipline method yang sama. Jadi, kalau saya lihat perbedaan gender itu suatu challenge, perbedaan umur juga. Sekarang kalau sama yang anak laki-laki, udah bukan capek fisik lagi tapi lebih capek mental. Harus gimana menjaga mereka supaya mereka jangan sampai berjalan yang salah,” ucapnya.

3. Playhouse Academy dibangun karena melihat adanya kebutuhan terhadap support yang tepat pada anak-anak

Dr. Astrid HW-Levi, EdD: Tiap Anak Itu Unik dan Gak Bisa DisamakanDr. Astrid HW-Levi, EdD dan Monica Marthen selaku Co-Founder Playhouse Academy (dok. Astrid Levi)

Prinsip yang sama juga diterapkannya saat membangun Playhouse Academy pada tahun 2020. Menurutnya, setiap anak memiliki latar belakang yang berbeda. Hal ini juga membuat karakter dan personality mereka tidak akan sama.

“Anak-anak yang sebenarnya itu kan nakal, suka melawan, gitu, ya. Gak mau dikasih tahu. Kadang juga, ya, bikin kita pusing. Jadi, sampai kamu ke dalam tahap melihat bahwa anak-anak ini butuh pendampingan, butuh support. Itu yang menjadi satu challenge tersendiri,” tegasnya.

Astrid mulai berpikir bagaimana caranya anak-anak yang datang dari latar belakang dan dinamika keluarga yang berbeda bisa sukses dalam pendidikan mereka. Alasan itu juga yang mendorong Astrid untuk membangun Playhouse Academy, sekolah untuk anak-anak usia dini berakreditasi Cambridge Early Years.

“Jadi Playhouse Academy itu, memang saya bangun karena saya melihat adanya kebutuhan di Indonesia, di Jakarta, untuk bisa mendidik anak-anak secara benar. Kita memberikan support yang tepat juga untuk anak-anak ini,” terangnya.

Menurut Astrid, anak memang perlu keterampilan membaca dan menulis untuk memperlengkapi mereka di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, orangtua maupun guru juga perlu memberikan pengajaran yang berbeda. Artinya, orangtua maupun guru bisa membantu anak belajar sesuai dengan kebutuhan mereka.

“Tujuan boleh untuk anak-anak baca dan menulis dan begitu. Tapi, caranya itu yang harus disesuaikan dengan umurnya anak-anak. Waktu dulu kita kecil, kalau tulisan mereka jelek, kan guru bakal kasih lebih banyak buat kita lagi. Tapi, sebenarnya mereka gak menyelesaikan the root of the problem. Mungkin dia punya otot tangan belum kuat. Sebenarnya, kalau misalnya ada anak yang tulisannya jelek, yang harus guru lakukan adalah ngelatih otot tangannya, otot jari dia. Jadi, suruh dia apa begini, atau suruh dia meraba, suruh dia main sama play-doh, suruh dia main sama pasir, sehingga otot jari dia bisa ada kontrol. Menulisnya jadi lebih rapi,” paparnya.

Tentu saja membangun sekolah tidak seperti membalikkan telapak tangan. Astrid menemukan beragam tantangan dan kesulitan sebagai Co-Founder sekaligus kepala sekolah. Meski begitu, Astrid meyakini bahwa kerjasama guru-guru dan dukungan orangtua yang membuat Playhouse Academy mampu melewati masa-masa tersebut.

4. Playhouse Academy menghadirkan Playhouse Child Development Center (PCDC)

Dr. Astrid HW-Levi, EdD: Tiap Anak Itu Unik dan Gak Bisa DisamakanDr. Astrid HW-Levi, EdD, Co-Founder Playhouse Academy (dok. Astrid Levi)

Per Februari 2024, Playhouse Academy resmi membuka Playhouse Child Development Center (PCDC). Yang biasa terjadi, orangtua bisa melakukan pemeriksaan psikologis terhadap anak di luar sekolah. Lalu, memberikan hasil tersebut kepada pihak sekolah.

Berbeda dengan Playhouse Academy, Astrid menilai anak-anak butuh learning support secara individual. Maka, PCDC hadir sebagai one-stop-center anak-anak dengan neurodivergent sehingga mereka bisa mendapatkan lingkungan pembelajar inklusif dan intervensi yang tepat.

PCDC diinisiasi karena melihat kebutuhan anak dengan neurodivergent. Kondisi anak ketika one-on-one dengan psikolog mungkin berbeda dibandingkan saat berada dalam group setting karena anak bisa mendapatkan perhatian penuh dari psikolog. Itu sebabnya, Astrid memandang penting sekali dilakukan observasi di sekolah dari psikolog.

Astrid juga menjelaskan, “Kita melihat bahwa anak-anak nantinya akan sekolah, mereka akan masuk ke komunitas, dan nantinya bersama dengan 20 anak lain. Dia harus kita mengalami environment seperti itu. Jadi, ini menjadi suatu one-stop-center di mana kita dapat data dari guru nih mengenai anaknya di sekolah, lalu sudah dapat data dari psikolog mengenai assessment dia one-on-one secara mental, kita juga dapat report dari orangtua. Data itu bisa digabungkan semua jadi suatu diagnosis yang tepat.”

Salah satu muridnya mengalami Sensory Processing Disorder. Di usia 5 tahun, anak tersebut melakukan hal-hal yang mungkin dilakukan oleh balita. Semua sensori jadi mudah terstimulasi. 

“Ada anak yang pakai baju renda-renda itu gak suka, itu sensory processing. Ada anak-anak yang gak mau jalan di rumput atau gak mau jalan di pasir. Itu juga sensory processing,” terang Astrid memberi contoh.

Perilaku seperti ini membutuhkan intervensi khusus, “Kalau di sekolah lah ya, kita akan coba untuk bantu anak itu simulasi. Kita encourage dia, kita praise dia. Tapi kalau itu jadi suatu gangguan untuk dia melakukan rutinitas, kita akan minta psikolog untuk diterapi.”

Baca Juga: Ashilly Achidsti Angkat Isu Gender hingga Kekerasan lewat WELLSharing

5. Sikap, keterlibatan, dan pola asuh orangtua menjadi faktor yang penting dalam pertumbuhan anak

Dr. Astrid HW-Levi, EdD: Tiap Anak Itu Unik dan Gak Bisa DisamakanDr. Astrid HW-Levi, EdD, Co-Founder Playhouse Academy (dok. Astrid Levi)

Sebagai ibu, Astrid sadar bahwa keterlibatan orangtua menjadi faktor yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Itu sebabnya, Playhouse Academy juga berupaya merancang beberapa kegiatan bersama dengan orangtua.

“Di Indonesia, biasanya kalau orangtua datang ke sekolah, berarti ‘waduh kenapa nih’, ada masalah apa’. Tapi di Playhouse Academy, kita membuka ke orangtua anytime mereka mau datang, mau ngobrol, mau contribute. Ada orangtua datang untuk bacain cerita ke anak-anaknya, itu boleh. We are very happy to involve them. Tidak ada hal yang ditutupi. Kita melihat bahwa kerjasama dengan orangtua mejadi suatu advantage,” ujarnya.

Salah satu fakta penting yang perlu diketahui, Astrid menyebut bahwa orangtua harus punya sikap yang konsisten dalam mengasuh anak. Contohnya, anak yang tumbuh di era dinamis saat ini tentu gak terlepas dari pengaruh gadget, terlebih anak-anak erat dengan perilaku modelling.

“Bicara soal teknologi, teknologi kan bisa dibangun. Bisa jadi teman, bisa jadi lawan, tergantung cara kita memakainya. Kalau saya selalu bilang sama orangtua yang penting memakai gadget untuk tiga hal. Yang pertama komunikasi, misalnya mau video call ke oma opanya. Dengan begitu dia bisa belajar kapan menunggu opanya ngomong, kapan dia bisa ngomong. Kedua, gadget dipakai untuk belajar. Misalnya, anak-anak dikasih proyek harus bikin akuarium. Ya, mereka belajar dari teknologi caranya bikin akuarium bagaimana. Terakhir, gadget dipakai untuk bergerak. Jadi gak apa-apa, as long as teknologi itu dipakai dengan hal yang benar. Jadi, orangtua harus mempunyai komunikasi dengan anak-anak,” jelasnya.

Astrid berpandangan bahwa semua harus dimulai dari orangtua. Kalau orangtua tidak ingin anak bermain gadget, maka orangtua juga tidak disarankan bermain gadget. Untuk itu, orangtua bisa membangun kesepakatan dengan anak serta mampu bersikap konsisten dalam menjalankan kesepakatan itu.

Keterlibatan orangtua secara aktif dalam pendidikan anak, juga bisa terlihat sejak dini. Di Indonesia, banyak sekolah yang membuka kesempatan bagi anak di bawah usia empat tahun untuk mengikuti kelas-kelas tertentu. Menurut Astrid, itu adalah suatu kesempatan bagi orangtua untuk belajar. Sayangnya, tidak banyak orangtua yang bisa memahami manfaat dari pembelajaran atau permainan yang dilakukan anak saat sekolah.

“Kadang orangtua gak tahu. ‘Ya, masa anak gue main air aja, nih’. Tapi mereka gak tahu bahwa di belakang main air itu, banyak sekali hal-hal yang membantu anak itu untuk stimulasi otak dia, stimulasi sensori dia. Kalau anak mereka sensorinya masih kurang, akhirnya akademiknya juga bakal terpengaruh. Jadi, waktu masih di bawah 2 tahun, ditemenin anaknya. Dengan begitu dia melihat apa yang buruk, apa yang harus dilakukan. Nanti di rumah, dia bisa expand aktivitas,” papar Astrid.

Sebagai edukator yang sudah lama berkecimpung di dunia pendidikan, kelompok bermain termasuk kesempatan yang baik untuk anak belajar bersosialisasi. Akhirnya, anak gak akan di rumah hanya bersama suster dan orangtua.

6. Sebagai guru sekaligus orangtua, Astrid menyadari bahwa dirinya harus pintar memakai parenting skills yang sesuai kondisi dan kebutuhan anak

Dr. Astrid HW-Levi, EdD: Tiap Anak Itu Unik dan Gak Bisa DisamakanPlayhouse Academy (dok. Astrid Levi)

Lantas, apakah ada parenting yang tepat dan bisa jadi acuan? Menurut Astrid, sebenarnya tidak ada jenis parenting yang paling tepat. Kembali lagi, setiap keterampilan atau cara mendidik anak pasti memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Di samping itu, anak-anak juga tumbuh dan berkembang dengan lingkungan dan kepribadian yang berbeda.

Astrid menerangkan, “Jadi, orangtua harus pintar memakai parenting skills yang sesuai pada saat itu.”

Namun, ia berpendapat bahwa apa yang dilakukan orangtua zaman sekarang lebih mengacu pada gentle parenting. Gentle parenting merupakan gaya pengasuhan yang fokus menumbuhkan rasa empati, hormat, percaya diri, dan batasan yang sehat. Di dalamnya, terdapat komunikasi yang sehat antara orangtua dan anak.

Hal yang sama juga berlaku untuk sekolah. Sejatinya, sekolah hadir untuk membentuk seseorang menjadi pribadi yang cerdas dan bermanfaat.

Itu sebabnya, tiap sekolah yang ada di Indonesia, belum tentu menganut kurikulum yang sama. Sekolah juga berusaha menyesuaikan dengan apa yang dibutuhkan atau perlu dipelajari oleh anak. 

“The first thing to notice. You need to know your child untuk dikenali anak-anak kita,” sebutnya.

Astrid menekankan agar lebih mengetahui dan mengenali siapa anak-anak kita. Pasalnya, cara belajar setiap anak pasti berbeda-beda. Hendaknya, orangtua juga bisa belajar untuk melakukan suatu hal sesuai kebutuhan belajar mereka.

“Jangan menjadi orangtua yang menuntut apa yang kita mau. Tapi, kita juga harus menghargai bahwa anak punya cara belajar yang berbeda,” sambungnya.

7. Astrid menekankan bahwa setiap perempuan hebat dengan cara mereka masing-masing

Dr. Astrid HW-Levi, EdD: Tiap Anak Itu Unik dan Gak Bisa DisamakanDr. Astrid HW-Levi, EdD, Co-Founder Playhouse Academy (dok. Astrid Levi)

Apa yang dijelaskan oleh Astrid mungkin tidak akan sama dengan kondisi orang lain. Namun, pengalamannya memberikan insight baru bahwa merawat anak bukanlah pekerjaan yang mudah. Tugas utama orangtua bukan sekadar memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak, tetapi juga mengenal karakter anak.

Hal ini juga disampaikannya lewat buku Hello! yang diluncurkan pada akhir tahun 2022. Buku tersebut menceritakan seekor burung kecil yang suka terbang dan ikut mengajak binatang lain untuk terbang bersama. Sayangnya, burung itu merasa "berbeda” karena permintaannya ditolak.

Melalui buku tersebut, Astrid ingin menyampaikan bahwa setiap orang memiliki keunikan dan kemampuan yang berbeda. Seorang guru dan orangtua pun juga harus menyadari bahwa mereka tidak bisa menyamaratakan satu orang dengan yang lain.

Sama halnya dengan pandangannya tentang perempuan. Astrid juga memahami setiap apa yang dilakukan orang pasti memiliki dampak. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain dan masa depan.

“Setiap wanita mempunyai kekuatan mereka masing-masing, mempunyai kelemahan masing-masing, dan mereka hebat di dalam cara mereka masing-masing,” ucapnya seraya menutup obrolan hangat kami.

Baca Juga: Serunya Nur Anugerah Menjadi Penggagas Sedekah Buku Indonesia

Topik:

  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya