Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
1000281477.jpg
Press Conference Pameran Karya 3 Generasi Batik Legendaris Oey Soe Tjoen di WET Indonesia Komplek Perumahan VICO no 8 Jl. Cilandak Raya No 1, Jakarta Selatan, pada Rabu (16/7/2025)

Intinya sih...

  • Generasi muda kurang sabar dan telaten dalam pembatikan, menghambat regenerasi batik Oey Soe Tjoen

  • Batik Oey Soe Tjoen mempertahankan warisan dengan metode tulis yang memakan waktu lama dan mahal

  • Kain batik terlalu mahal dan lebih diapresiasi di luar negeri, minim apresiasi di Indonesia

Jakarta, IDN Times - Berdiri di tahun 1925, batik Oey Soe Tjoen (OST) resmi capai usia 100 tahun. Meski tergolong legendaris, batik ini jarang dikenal di tengah masyarakat Indonesia.

Batik Oey Soe Tjoen didirikan oleh Oey Soe Tjoen dan Kwee Tjoen Giok Nio yang biasa disebut OST 1. Hingga kini, Widianti Widjaja (Oey Kiem Lian) sebagai generasi ketiga atau OST 3, memegang penuh warisan pemberian kakek dan ayahnya.

Dalam konferensi pers yang berlangsung pada Rabu (16/7/2025) di WET Indonesia, Komplek Perumahan VICO no 8, Jl. Cilandak Raya No 1, Jakarta Selatan, Widi mengakui pameran ini diadakan agar jejak digital batik Oey Soe Tjoen tetap tersimpan meski bentuk fisiknya akan punah. Melihat kompleksnya proses pengerjaan dan hasil batik yang memukau, berikut 5 alasan mengapa batik Oey Soe Tjoen terancam punah.

1. Regenerasi berhenti di generasi ketiga karena generasi muda kurang sabar dan telaten

Widianti Widjaja, perajin batik generasi ketiga sekaligus pemilik Oey Soe Tjoen (OST) pada "Press Conference Pameran Karya 3 Generasi Batik Legendaris Oey Soe Tjoen", pada Rabu (16/7/2025)

Widi mengatakan, setiap generasi pasti memiliki tantangan. Namun, di generasi ketiga yang dipegangnya, regenerasi pembatik menjadi masalah terbesar. "Kalau di zaman yang saya pegang ini, saya lebih concern di pembatiknya. Jadi, kalau ditanya apakah pembatik itu ada, ada. Banyak. Tapi yang sesuai dengan standar Oey Soe Tjoen, itu susah didapat. Mungkin biasanya mereka yang muda-muda itu kurang telaten, kemudian gak sabar. Dia (generasi muda) akan menggunakan canting yang lebih besar, sehingga lebih cepat," tambah dia.

Tantangan zaman terhadap batik tidak hanya berasal dari teknologi, tapi juga dari para pembatiknya.

"Karena gini, kalau untuk batik Oey Soe Tjoen sendri, karena tidak ada regenerasi ke bawah, jadi, anak-anak dari pembatik yang sekarang saya pegang itu, rata-rata anak itu tidak ada yang mau jadi pembatik. Mereka lebih menjahit, konveksi karena bagi mereka itu, mindset mereka itu, kalau bekerja di dalam dunia batik itu kotor, kuper, gak bisa buat selfie," lanjutnya.

Dalam sesi menjelaskan karya setelah konferensi pers berakhir, Widi menjelaskan, kedua anak lelakinya pun tak bisa dipaksa membatik. "Aku sendiri gak kuat ngajarin Gen Z. Contohnya, gak usah jauh-jauh, anakku. Itu sempat, kan, aku pernah ngomong, 'Kamu bisa pegang batik Oey Soe Tjoen kalau membuat batiknya minimal sama dengan yang aku buat ini. Minimal sama seperti ini,' itu dijawab, 'Gak usah lama-lama, aku gak sanggup. Kalau harus persis seperti ini, mendingan gak.'," katanya ditutup dengan tawa.

2. Tetap mempertahankan warisan dari generasi pertama, yaitu dengan metode tulis

Widianti Widjaja, perajin batik generasi ketiga sekaligus pemilik Oey Soe Tjoen (OST) pada "Press Conference Pameran Karya 3 Generasi Batik Legendaris Oey Soe Tjoen", pada Rabu (16/7/2025)

Melihat banyaknya langkah yang harus dilewati oleh para pembatik batik tulis dalam proses pembuatan, Widi mengakui, batik Oey Soe Tjoen harus melewati 21 langkah. "Akan ada 21 steps dan itu ada di buku saya kedua. Itu step by step-nya saya jabarin di situ," terangnya.

"Jadi, satu warna satu proses. Kalau di kain itu ada empat warna, berarti itu mengalami 4 kali perebusan. Kalau tempat lain, mungkin satu kali perebusan itu bisa dua-tiga warna, kami gak. Itu satu warna, satu proses, dan dikerjakan bolak-balik, dan semuanya menggunakan canting. Untuk motif, mungkin yang zaman kakekku dengan yang generasi kedua itu masih lebih bunga-bunga," lanjutnya.

Diteruskannya, "Tapi kemudian setelah saya pegang, saya mulai mengubah desain mengikuti permintaan juga."

Hal ini dipertegas oleh pernyataan Damiana Widowati, Ketua Pameran dan Perwakilan Sahabat OST. "Kalau tadi Mbak Wid bilang satu warna satu kali, ya. Warnanya Mbak Wid itu gradasi. Jadi, bukan satu warna biru, merah, ya. Itu nanti biru, biru tua, biru muda, biru muda, biru muda. Jadi, bayangkan pekerjaan itu berapa lama," ujar Doti.

"Contohnya, kalau untuk membuat warna biru itu, saya harus tiga kali celup dengan tiga hari yang berbeda," lanjutnya.

Widi pun menjelaskan lama waktu yang diperlukan saat membuat batik Oey Soe Tjoen. "Tapi kalau dikerjakan seperti di pabrik, ya, datang jam 8, pulang jam 4. Masuk jam 8, pulang jam 4, tanpa ada hujan, tanpa ada dirusakin, proses kerja itu 3 tahun baru selesai."

"Saya itu membedakan kain gagal dan kain rusak. Kalau kain rusak itu berarti kain itu sempurna, tapi dia gak bisa mengikuti proses produksi. Jadi, sobek karena seratnya menipis atau lebam itu karena prosesnya. Bukan karena kesalahan manusia," lanjutnya.

"Tapi kalau gagal, itu berarti kemudian karena kesalahan saya," simpul Widi.

3. Harga kain terlalu mahal dan sejak awal kalangan atas menjadi target pasar

Widianti Widjaja, perajin batik generasi ketiga sekaligus pemilik Oey Soe Tjoen (OST) pada "Press Conference Pameran Karya 3 Generasi Batik Legendaris Oey Soe Tjoen", pada Rabu (16/7/2025)

Harga suatu barang yang tidak menyesuaikan kebutuhan pasar, tentu menjadi faktor terancam punahnya barang tersebut. Hal yang sama terjadi pada batik Oey Soe Tjoen, di mana kualitas leluhur tetap dipertahankan. Pasar yang akan membeli pun juga dipengaruhi dari kualitas tersebut.

"Jadi gini, karena batik Oey Soe Tjoen dianggap sebagai batik yang berkelas, sehingga buat yang nyari batik Oey Soe Tjoen, akan dianggap bahwa dia mungkin diaspora. Di kebudayaan peranakan itu kan ada semacam memberikan baju seserahan kepada pasangannya. Dari pihak laki-laki untuk menunjukkan pada keluarga pihak perempuan terutama, ini lho, aku mapan," lanjutnya.

Ditambahkannya, "Semakin batik Oey Soe Tjoen yang ada di tempat perempuannya, berarti secara tidak langsung, tanpa kata-kata, dia akan menunjukkan pada keluarga si perempuan bahwa kami dari keluarga mapan."

Hal ini juga dipertegas oleh Widi terkait semakin tua usia kainnya, semakin mahal harganya. "Kalau mengenai harga, memang untuk yang OST 1 ya, kita menyebutkan yang generasi pertama, bukan generasi saya, generasi pertama, itu memang harganya cukup tinggi karena dirancangkan tidak ada yang membuat batik seperti itu," kenangnya.

Doti menambahkan, batik Oey Soe Tjoen hanya tidak hanya untuk masyarakat kelas atas, namun juga untuk pelanggan yang mau menunggu bertahun-tahun. "Saya tadi udah bilang bahwa yang sanggup beli itu bukan cuman yang punya duit, tapi yang juga punya sabar," kata dia.

4. Minim apresiasi di Indonesia dan lebih diapresiasi di luar negeri

Widianti Widjaja, perajin batik generasi ketiga sekaligus pemilik Oey Soe Tjoen (OST) pada "Press Conference Pameran Karya 3 Generasi Batik Legendaris Oey Soe Tjoen", pada Rabu (16/7/2025)

Widi menjelaskan, ratusan kain tersebar di luar negeri karena orang Indonesia yang sanggup mempertahankan nilai seni kain ini, rela membelinya dengan harga mahal, bahkan memiliki posisi setara bupati. "Itu tahun 1935-an. Pada waktu itu, ada bupati dari Solo. Kemudian, dia ingin sesuatu yang dipakkai istrinya itu, tidak meninggalkan ke-Solo-annya, tetapi berbeda dengan yang lain," sebut Widi.

"Jadi, dia minta dibuatin motif baru, kolaborasi dari Solo dan Pekalongan. Kemudian, keluarlah motif yang kita sebut dengan motif Merak Ati," paparnya lagi.

Melihat dunia kolektor yang sunyi dan banyak menggunakan nama samaran, terkadang Widi sendiri sampai tidak tahu siapa pelanggan aslinya. Banyak asisten yang turun untuk mengontak Widi, namun jarang dengan nama aslinya.

"Kemudian, kita kembali ke pembelinya. Apakah dia memang ingin menghargai itu seni atau hanya ingin dilihat memakai bagus? Kalau kita bertemu dengan kolektor, pasti akan mengatakan lebih baik membeli yang tulisan," pungkasnya.

Editorial Team