Ilustrasi belanja di supermarket (pixabay.com/Vika_Glitter)
Selain soal logika keuangan, ada faktor emosional juga. Perempuan umumnya lebih empati terhadap kondisi ekonomi keluarga. Mereka cenderung memikirkan efek jangka panjang inflasi terhadap kesejahteraan rumah tangga, apakah nanti biaya sekolah anak bisa tetap terpenuhi, atau uang tabungan cukup untuk kebutuhan darurat.
Menurut pengamatan para peneliti ekonomi, empati dan rasa tanggung jawab ini membuat perempuan menilai kenaikan harga dengan lebih serius. Inflasi bukan cuma angka di berita, tapi sesuatu yang bisa memengaruhi keseimbangan hidup keluarga secara nyata.
Inflasi memang jadi tantangan bagi semua orang, tapi dampaknya terasa lebih kuat bagi perempuan. Kebiasaan mengatur keuangan, keterlibatan dalam belanja rumah tangga, hingga faktor emosional bikin mereka lebih peka terhadap setiap perubahan harga.
Hal ini sebenarnya gak sepenuhnya fair buat perempuan karena sistem sosial masih cenderung menempatkan mereka di posisi yang lebih rentan terhadap beban ekonomi sehari-hari. Ketika tanggung jawab mengatur keuangan rumah tangga dan urusan belanja lebih banyak dibebankan ke perempuan, otomatis tekanan akibat inflasi juga lebih berat dirasakan di pundak mereka. Sementara itu, kerja emosional dan finansial yang mereka lakukan sering gak diakui sebagai “beban ekonomi” yang nyata. Akibatnya, perempuan bukan cuma harus menghadapi kenaikan harga, tapi juga ekspektasi sosial untuk tetap bisa mengelola semuanya dengan tenang dan efisien. Ketimpangan inilah yang bikin dampak inflasi terasa jauh lebih tidak adil bagi perempuan dibanding laki-laki.