TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menaker Ungkap Langkah Cegah Bias Gender di Lingkungan Kerja

Partisipasi perempuan di ruang publik bisa memperkecil bias

Ngobrol Seru bersama Menaker. Sabtu (5/3/2022). IDN Times

Pada #InternationalWomensDay yang digelar 8 Maret mendatang, tema yang diusung adalah #BreakTheBias. Uni Lubis, Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dan Pemimpin Redaksi IDN Times, mengatakan bahwa bias itu banyak macamnya. Baik dalam segi suku, agama, ras, usia, status ekonomi, hingga pilihan politik dan sebaiknya perlu didobrak.

Apalagi, bias gender terhadap perempuan yang masih banyak kita temukan di lingkungan kerja. Para jurnalis kerap menemui bias, baik dalam ruang kerja maupun lapangan, bahkan cyberbullying. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyampaikan pandangan tentang upayanya dalam mendobrak bias gender di lingkungan kerja dalam Ngobrol Seru IDN Times x FJPI pada Sabtu (5/3/2022).

1. Dimulai dari persentase keikutsertaan perempuan dalam upaya meningkatkan kesetaraan

Ilustrasi Pekerja Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Menanggapi tema International Women's Day (IWD) 2022, Ida Fauziyah melihat bahwa tema ini mengajak banyak orang untuk bersatu mematahkan semua bias. Baik itu di tempat kerja, komunitas, sekolah, tempat layanan publik, hingga lingkungan terdekat seperti keluarga yang ternyata juga menjadi permasalahan.

Menurut Ida, #BreakTheBias mendorong dunia mencapai titik keadilan dan inklusivitas serta bebas dari diskriminasi. Hal yang sama diterapkannya dalam lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan.

"Saya juga ingin memastikan Menaker memiliki semangat yang sama dan melakukan kebijakan yang mendorong kesetaraan perempuan, khususnya di dunia kerja. Harus dimulai dari lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan. Dari data, pegawai ASN di Kemenaker ada 57 persen laki-laki dan 43 persen perempuan," terangnya.

Kementerian Ketenagakerjaan merupakan salah satu kementerian yang menempatkan perempuan sebagai pejabat tinggi madya dan pratama kurang lebih 30 persen. Dari 7 jabatan tinggi madya, tiga di antaranya perempuan. Sementara itu, ada 15 perempuan sebagai petinggi pratama.

2. Setiap perusahaan seharusnya memiliki kebijakan guna memenuhi kebutuhan perempuan

ilustrasi perusahaan (IDN Times/Aditya Pratama)

Implementasi perlindungan dan pemenuhan hak atas perempuan dilakukan dengan upaya pemenuhan kebutuhan mereka. Beberapa perusahaan sudah banyak menerapkan kebijakan soal hak cuti bagi perempuan.

Ida menunjukkan bahwa lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan sudah menerapkan hal ini. Perempuan mendapatkan hak mereka untuk cuti melahirkan, cuti keguguran selama tiga bulan, cuti haid, dan fasilitas ruang laktasi. Dharma Wanita Persatuan (DWP) juga berupaya memberikan berbagai kegiatan untuk calon pekerja imigran sebagai bentuk kontribusi terhadap kegiatan Kemenaker.

"Hak perempuan, apakah itu hak untuk cuti haid, hamil dan melahirkan, semuanya ada di UU nomor 13 Tahun 2003. Ketentuan ini tidak dihapus dan masih eksis. Maka ada sanksi bagi perusahaan yang tidak bisa memenuhi," tuturnya.

Masyarahat pun dihimbau untuk proaktif menyampaikan apa pun yang terjadi dalam lingkungan kerja. Terlebih, ketika perusahaan tidak menjalankan norma yang ada di undang-undang.

Baca Juga: Hambatan dan Tantangan Kepemimpinan Jurnalis Perempuan di Indonesia

3. Partisipasi perempuan dalam program pekerjaan informal semakin meningkat

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah (dok. Kemnaker)

Banyak perempuan mulai bisa menggunakan waktu yang tersedia antara pekerjaan di rumah dengan pekerjaan di luar rumah. Sebanyak 60 persen pekerja informal didominasi oleh perempuan karena fleksibilitas mereka menjadi pelaku usaha mikro.

Untuk mendukung partisipasi perempuan, maka Kemenaker menyediakan program pelatihan guna mengasah kompetensi agar lebih berdaya di bidang ekonomi keluarga. Ida menuturkan bahwa pemberdayaan perempuan itu berawal dari meningkatkan kompetensi.

Berdasarkan data Kemenaker, angkatan kerja di Indonesia ada sebesar 140 juta dengan partisipasi perempuan sebanyak 40 persen. Namun, 55 persen di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai jenjang SMP. Ini mendorong Kementerian Ketenagakerjaan membuka program pelatihan vokasi yang terbuka bagi laki-laki dan perempuan.

"Tahun 2021 dilihat dari kepesertaan, 40 persen peserta adalah perempuan dan 51 persen adalah laki-laki. Sebenarnya, keinginan teman-teman perempuan untuk meningkatkan kompetensi itu sangat tinggi," papar Ida Fauziyah.

4. Memperbanyak ruang perempuan di publik bisa menghindari bias gender

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah. (dok. Kemnaker)

Ida menceritakan pengalamannya sebagai anggota DPR selama 20 tahun dengan tiga kali periode sebagai ketua fraksi. Dalam lingkungan politik, Ida merasa tidak ada bias dalam fraksinya karena suami sebagai anggota fraksi, tetap bisa menetapkan batasan profesional. Pemerintah juga sudah memperluas ruang terbuka bagi perempuan untuk mengambil kursi legislatif sebesar 30 persen. 

"Sekarang banyak teman-teman perempuan beranggapan bahwa politik itu bagian dari cara mengekspresikan diri. Profil politisi perempuan kita gak kalah dari laki-laki. Mau dari background apa pun, saya kira pilihannya makin banyak," jelasnya.

Dengan memperbanyak perempuan di ruang publik sebagai tempat pengambil kebijakan, maka bias terhadap gender bisa dihindari. Hal ini juga didukung oleh kondisi sosial politik dan pendidikan masyarakat yang lebih baik, serta budaya patriarki yang berkurang.

Baca Juga: Kiat Media di Asia Tenggara Bertahan Pasca Pandemik COVID-19

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya