TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Gerak Bersama Civitas Academica, Lawan Kekerasan Seksual

#IDNTimesLife Dukungan petinggi kampus sangat dibutuhkan

pexels.com/Kampus Production

Pengawalan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sedang dibahas Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) muncul oleh berbagai pihak. Beberapa datang dari The Body Shop Indonesia dan Magdalene, yang memberi dukungan dalam bentuk edukasi webinar Campus Online Talk Show Series 4 pada Jumat (26/2/2021).

Tema yang diangkat bertajuk "Gerak Bersama Civitas Academica, Lawan Kekerasan Seksual". Seperti webinar series sebelumnya, ada pembicara dari mahasiswa yang memberi pemaparan data survei sekaligus narasumber ahli yang menyatakan konsentrasi mereka pada isu ini. Berikut pemaparan selengkapnya. 

1. Tingkat keamanan kampus diukur dari ada atau tidaknya payung hukum yang menaungi tindak kekerasan seksual

pexels.com/Sora Shimazaki

Pada pemaparan survei yang dilakukan oleh Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Undip), Yanuarisca N.C.P., menunjukkan sebanyak 62 persen responden menjawab RUU PKS berhubungan erat dengan tingkat keamanan kampus dari kekerasan seksual. Tingkat keamanan kampus itu diukur dari ada atau tidaknya payung hukum yang menaungi tindak kekerasan seksual tersebut.

Survei diambil pada pertengahan Januari- Februari oleh BEM Fakultas Psikologi dan BEM Fakultas Hukum Undip, dengan tujuan ingin mengetahui apakah mahasiswa Undip aman dari kekerasan seksual. 

Dari rentang tingkat keamanan 1-5, ada sebanyak 50 persen responden menunjukkan angka 3, sementara 30,1 persen memperlihatkan tingkat aman di angka 4. Namun ketika merujuk pada pertanyaan apakah responden pernah menjadi korban kekerasan seksual, sebanyak 6,3 persen mengatakan pernah mengalami.

Menurut Yanuarisca, kesimpulan yang bisa diperoleh dari hasil survei adalah Undip belum sepenuhnya aman terkait dengan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. 

"1 kasus saja sudah menjadi bukti bagi kami bahwa Undip belum aman, berarti ada yang pernah mengalami menjadi korban. Jadi jangan menunggu untuk menunda penanganannya", terangnya. 

2. Bentuk kekerasan seksual secara verbal lebih banyak daripada fisik

pexels.com/Anete Lusina

Sedangkan pada mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad), Pemimpin komunitas Girl Up, Putri I. Sharafina, melakukan survei tahun 2020 di Unpad dengan tujuan mendukung pengawalan dan mendorong rektorat Unpad mengesahkan peraturan rektor tentang penanganan dan pencegahan kekerasan seksual. 

Dari 616 responden yang tercatat, sebanyak 223 responden pernah menjadi penyintas kekerasan seksual di lingkungan kampus. Sementara jika melihat bentuknya, ada 15,7 persen responden mengalami kekerasan seksual secara fisik dan 45 persen lainnya mengalami pelecehan bentuk verbal.

Sebenarnya di Unpad sendiri sudah ada Peraturan Rektor No. 16 Tahun 2020, yang membahas terkait penanganan pelecehan seksual. Namun menurut Putri, masih banyak hal yang perlu dikawal dan dievaluasi.

"Masih ada banyak hal yang perlu dikawal dan dievaluasi karena isi cuman belasan dan masih banyak yang tidak komprehensif dari peraturan ini. Ditambah implementasi dari peraturan itu sendiri yang tidak dirasa dari teman-teman kampus", tambahnya.

Baca Juga: Kontribusi Laki-laki dalam Menciptakan Ruang Aman di Kampus

3. Tindakan reaktif saja gak cukup dalam menangani perilaku kekerasan seksual ranah kampus

pexels.com/Ivan Samkov

Menjabarkan pemaparan temuan secara kualitatif, Wakil Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Indonesia 2021, Zeni Tri Lestari, menuturkan bahwa ada banyak kasus bermunculan dan terlapor melalui utas di media sosial Twitter.

Fakta di lapangan terlihat miris bagi Zeni karena menurutnya, menceritakan kasus ke utas sosial media atau publik justru menunjukkan bahwa korban belum punya wadah yang aman untuk bicara serta mencari keadilan.

Korban lebih memilih menceritakan ke sosial media karena dirasa itu merupakan jalan paling bijak. Belum ada penanganan di kampus secara komprehensif terkait isu ini. 

"Namun kami sadar tindakan reaktif tidak cukup dalam menangani perilaku kekerasan seksual. Jadi kami menambahkan kembali upaya dengan tindakan pencegahan seperti edukasi, program kerja, dan webinar dengan kanal BEM lain untuk memberikan edukasi tentang bagaimana kekerasan seksual dan seperti apa kita menghadapinya", jelasnya. 

4. Dampak dari pelecehan dan kekerasan seksual gak bisa dikecilkan hanya karena bentuknya

pexels.com/Anete Lusina

Dalam penuturan Nirmala Ika Kusumaningrum, M. Psi., dampak yang ditimbulkan akibat pelecehan dan kekerasan seksual itu besar. Menurutnya, orang gak bisa serta merta mengecilkan dampak hanya karena bentuk kekerasan yang penyintas terima, baik itu secara verbal, gesture, maupun fisik. 

"Ketika banyak mahasiswa merasa tidak aman berkuliah, itu mempengaruhi performa mereka secara akademik. Ketika akademik turun akan mempengaruhi universitas. Jadi dampaknya panjang, gak cuma person to person, tetapi juga pada semua komunitas ini", terangnya.

Psikolog dari Yayasan Pulih itu sering mendengar kasus, yang mana pelaku sebetulnya telah dilaporkan, diproses, dan kampus cukup responsif. Tetapi sayangnya, penanganan gak ditindaklanjuti dan berhenti.

"Apa yang saya omongin ini bukan hanya kita cari gara-gara, bukan hanya kita menyuarakan segelintir orang, tetapi dampaknya besar. Untuk memastikan SOP dibuat, kita harus melibatkan berbagai pihak. Harus dari berbagai aspek dari dosen dan mahasiswa. Harus ada payung hukum dan edukasi", lanjutnya.

Baca Juga: PHI: Kekerasan Seksual Berbasis Online Makin Marak Terjadi

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya