TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Kejadian Nyata Memilukan yang Pernah Menimpa Wanita, Apa Aja?

Be strong, be a woman

pixabay.com/ArtsyBee

Kesetaraan hak bagi perempuan di zaman sekarang memang sudah lebih baik dibandingkan beberapa dekade di masa silam. Meskipun beberapa hal memang masih dan sedang diperjuangkan oleh beberapa kalangan.

Nah di bawah ini merupakan kejadian nyata di masa silam, ketika menjadi perempuan bagi individu bukan hanya kodrat yang telah diberikan oleh Tuhan namun juga bencana yang dibentuk oleh masyarakat, tempat ia tinggal.

1. Kehadiran bayi perempuan tak terlalu diharapkan

pixabay.com/PublicDomainPictures

Jika kamu pernah mendengar cerita dimana sebuah keluarga lebih baik memiliki bayi laki-laki dibanding perempuan, maka hal tersebut bukanlah hal yang unik atau langka. Sejak zaman Yunani Kuno, adat tersebut kerap digunakan oleh penduduk lokal.

Mereka menyebutnya dengan “pembiaran” yang artinya, meletakan bayi perempuan di alam bebas (hutan belantara) untuk dibiarkan mati secara perlahan.

“Setiap orang mempunyai anak lelaki jika mereka miskin. Tetapi kalaupun mereka kaya raya, lumrah untuk melakukan pembiaran” merupakan salah satu kutipan penulis Yunani pada kala itu.

Bahkan di Mesir, tempat dimana kesetaraan hak bagi perempuan diperhitungkan jelas tidak terlalu mencerminkan kesetaraan tersebut.

“Jika kamu telah melahirkan bayi sebelum aku pulang, bila bayinya laki-laki biarkan dia hidup; tetapi jika itu perempuan, tinggalkan dia di luar untuk mati” bunyi salah satu surat kuno yang ditemukan.

2. Ikut mati bersama sang suami

pixabay.com/suhasrawool

Bukan hanya kekaisaran Cina (dinasti ming) yang terkenal dengan ritual ‘keikutsertaaan’ istri untuk menemani kaisar yang telah mangkat.

Di India contohnya, sampai abad ke 19 menjadi hal yang wajar bagi perempuan untuk naik ke tumpukan kayu tempat suaminya akan dikremasi untuk kemudian dibakar hidup-hidup, bersama dengan jenazah suaminya. Bahkan terkadang di masa perang, si istri akan mengorbankan hidupnya meskipun suaminya belum meninggal dunia.

Ketika keadaan semakin memburuk maka seorang istri akan membakar dirinya hidup-hidup bersama anak-anak mereka. Sedangkan si suami akan melihat ritual tersebut. Abu istrinya kemudian akan diusapkan ke wajahnya sebelum berangkat berperang. Hal ini dipercaya untuk meningkatkan motivasi perang bagi si suami.

Baca Juga: Tak Hanya Kartini, 7 Tokoh Wanita Ini Juga Perjuangkan Emansipasi

3. Hukuman diberlakukan bagi perempuan yang terlalu banyak mendebat

pixabay.com/Espressolia

Jika di zaman sekarang kita masih mendebat bagaimana kedudukan yang seharusnya antara pria dan wanita. Maka di zaman dahulu seorang wanita tidak boleh berdiri sendiri tanpa peran lelaki. Apalagi memperjuangkan haknya.

Seperti di zaman Yunani Kuno dan Romawi, seorang perempuan tidak boleh keluar rumah seorang diri tanpa ditemani lelaki. Dan jika teman si lelaki datang, maka perempuan tidak boleh ikut menyapa atau makan malam bersama namun segera masuk ke kamarnya. Sedikit kehadiran perempuan dianggap merupakan kesopanan.

Di Denmark, seorang wanita yang membangkang atau mengekspresikan kemarahan mereka, akan digembok menggunakan alat yang mirip dengan violin terbalik dengan dua lubang di dalamnya. Lubang kecil di tengah untuk kedua tangannya sedangkan lubang besar di atas untuk kepala si istri. Lalu perempuan tersebut akan di ajak berkeliling untuk menjadi peringatan bagi istri-istri yang lain.

Di Inggris malah lebih parah lagi, istri yang membangkang akan diwajibkan menggunakan topeng baja dengan gigi-gigi tajam sebelum di arak dan dipertontonkan.

4. Tidak ada yang salah dengan pelecehan wanita

pixabay.com/Free-Photos

Sejak zaman dahulu merupakan hal yang lumrah bila budak wanita tidak hanya dipekerjakan untuk kebutuhan domestik, melainkan juga kebutuhan lahiriah majikannya. Maka sudah tentu para budak ini kemudian mengandung anak-anak majikannya, sedangkan perbuatan majikannya tidak bisa dianggap sebagai pemerkosaan ataupun pelecehan seksual.

Bukan hanya budak, bahkan seorang pelacur atau pelayan yang diperkosa tidak akan dianggap meskipun ia telah melaporkannya. Sedangkan bagi artis, jika terjadi pelecehan seksual, maka pelakunya menganggap bahwa pelecehan tersebut merupakan tradisi yang sudah lama ada.

Di abad pertengahan, Santo Agustinus pernah mengkritik pemerintahan secara satir dalam kasus pemerkosaan Lucretia yang menyebabkan bunuh diri, dengan mengatakan bahwa perempuan seharusnya tidak malu ketika menjadi korban pemerkosaan namun malah menikmatinya agar pelaku segera melepaskannya.

Baca Juga: Tak Hanya di Dunia Nyata, 5 Anime Ini Adalah Tokoh Emansipasi Perempuan

Writer

Merr lizh

Suka menulis di waktu senggang. Senang bercanda meskipun jarang mengundang tawa.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya