TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kalis Mardiasih: Perempuan Menulis untuk Merebut Otoritas dan Tafsir

#IWF2020 Ngobrolin feminisme bareng Kalis dan Ligwina

IDN Times/Besse Fadhilah

Kalis Mardiasih dikenal sebagai sosok penulis dan pemerhati gender yang cukup vokal di media sosial. Dalam diskusi "Perempuan dalam Kata-kata" di IWF 2020 ia membagikan pandangannya tentang haid, perempuan berkarier, dan pentingnya keberanian untuk menulis bagi perempuan.

Diskusi tersebut digelar pada Selasa (22/9/2020) pukul 19.00 WIB. Bersama Ligwina Hananto, Kalis membagikan gagasan dan ide-ide segarnya. Penasaran seperti apa? Simak rangkumannya berikut ini!

1. "Perempuan harus menulis untuk merebut otoritas dan tafsir," tutur Kalis

IDN Times/Dian Ayugustanty

Perempuan yang berdomisili di Jogja ini mengaku pernah berbicara di media sosial kalau perempuan harus berani menulis.

"Tujuannya adalah untuk merebut otoritas dan tafsir," tuturnya.

Alasan dari pendapatnya itu diutarakannya melalui empat fenomena yang ia temukan secara langsung. Yang pertama, ketika salah satu pendakwah di acara siaran televisi swasta menyebutkan bahwa alasan perempuan susah punya anak itu disebabkan oleh dua faktor. Yaitu, memakai pembalut serta sepatu hak tinggi.

Selanjutnya, ia mengambil contoh dari suatu gerakan komunitas anti berpacaran yang didominasi oleh laki-laki. Kalis mengkritisi konten media sosial mereka yang kerap kali menggunakan ilustrasi perempuan dengan caption menunggu jodoh. Ia mengatakan,

"Jadi, kaya perempuan itu sedih banget hidupnya. Dia cuma bisa nunduk, gak ngapa-ngapain, dan nunggu jodohnya aja".

Dua contoh lain yang disampaikan oleh Kalis adalah poster kelas poligami serta khotbah tentang adanya pesta seks di surga.

2. Menurut Kalis, otoritas punya peranan lebih penting dari sekadar uang dan jabatan. Hal ini bisa didapatkan dengan mulai berani berbicara

IDN Times/Dian Ayugustanty

Perempuan kelahiran 1992 ini menyebutkan bahwa dunia saat ini terlalu bersifat 'laki-laki'. Ia menuturkan, "Selama ribuan tahun, realitas perempuan itu disuarakan bukan oleh perempuan sendiri". Hal ini menyangkut kriteria perempuan yang dianggap ideal hingga persoalan kehamilan.

Bagi Kalis, hal ini bisa menyasar kepada hal lain yang lebih genting. Yaitu, nilai dan sikap perempuan yang ikut dikontrol oleh publik.

"Seorang perempuan yang udah punya power, jabatan, dan uang itu tetap bisa direpresi. Bisa aja tetap dibikin gak berdaya," tuturnya.

Ia mengutip riset yang dilakukan oleh Dr. Mohammad Akram Nadwi yang mengatakan bahwa rasa respect itu ditentukan oleh knowledge dan pious. Di dalam buku terbitan Dr. Nadwi, Kalis juga menemukan fakta bahwa ada banyak perempuan yang punya kiprah besar dalam sejarah dunia.

Baca Juga: IWF 2020: 6 Kiat Jitu Menulis dari Hati ala Rintik Sedu

3. Haid yang merupakan pengalaman biologis setiap perempuan juga sering kali masih dianggap sebagai hal yang tabu untuk diperbincangkan

IDN Times/Besse Fadhilah

Selain bicara soal otoritas, menurut Kalis, sangat penting untuk merebut tafsir tentang keperempuanan.

"Banyak tradisi yang menarasikan haid itu sebagai kutukan. Katanya sih gara-gara dosa Hawa telah menggoda Adam," ujarnya.

Karena stigma tersebut, data dari UN Women mengatakan bahwa pada tahun 2019 masih banyak perempuan yang dikucilkan serta mendapat diskriminasi saat sedang haid. Bahkan, kondisi tersebut bisa berbeda-beda peristiwanya di setiap wilayah Indonesia.

Perempuan kelahiran Blora ini mencoba menjelaskan hal tersebut dari perspektif Islam. Ia mengatakan,

"Di Quran itu bilang kalau haid itu bukan kutukan. Tapi, darah yang menyebabkan sakit. Sehingga ayat haid itu berkaitan dengan larangan suami untuk berhubungan seksual dengan istrinya kalau lagi haid".

Selain itu, ia juga menyebutkan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang bernada serupa.

"Ketika kita ngomong dari sisi pengalaman reproduksi dan biologis, akhirnya tafsir itu bisa direbut," katanya.

Menurutnya, pengalaman reproduksi dan biologis dari perempuan yang istimewa membuat mereka harus punya ruang lebih untuk menyuarakan kebutuhannya.

"Karena jangan sampai hukum-hukum yang terkait melahirkan, hamil, dan menyusui itu ditentukan oleh laki-laki. Karena mereka kan gak mengalami," tambahnya.

4. Sering vokal di media sosial, Kalis selalu berusaha menahan diri untuk gak sembarangan mengomentari suatu isu

IDN Times/Dian Ayugustanty

Kalis juga membagikan secara khusus tips bagi mereka yang masih takut dirundung akibat opininya di media sosial. Tips pertama adalah untuk mengukur kemampuan diri.

"Dulu aku jadi pengamat segala bidang seperti netizen pada umumnya. Tapi, kemudian aku tahu kalau aku harus bertanggungjawab dengan apa yang aku tweet," ujar Kalis membagikan pengalamannya.

Baginya, hal tersulit dari main media sosial itu adalah berlapang dada dan mengakui kesalahan kita.

"Sebetulnya yang susah sih itu. Ketika kita sadar kalau kita salah ngomong, blunder, dan bias. Kita ada keberanian untuk mengakui itu di depan publik," tuturnya.

Menanggapi ucapan buruk dari seseorang di internet, bagi Kalis gak semuanya pantas mendapat balasan.

"Kecuali tweet-nya emang sesuai dengan apa yang kita omongin dan ada argumen yang masih on the track, itu baru bisa dialog," ucapnya sambil terkekeh. Ia pun menyarankan untuk gak menanggapi tweet serangan personal.

Setelah bertahun-tahun main socmed, Kalis jadi lebih menyiapkan diri ketika mau mengutarakan pendapatnya di publik. Sambil tersenyum ia bilang,

"Aku take Twitter seriously, ketika aku bikin thread itu aku buat draft dulu".

Baca Juga: [WANSUS] Kalis: Urusan Gender Bukan Perempuan Saja, Tapi Juga Pria

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya