Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Kondisi korban kekerasan seksual di Indonesia sampai sekarang masih terus memprihatinkan. Komnas Perempuan mencatat bahwa angka kekerasan seksual meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016, terdapat 259.150 kasus kemudian meningkat menjadi 348.446 kasus pada tahun 2017 hingga 406.178 kasus pada tahun 2018.
Dari kasus kekerasan seksual yang terjadi, tidak semua kasus dilaporkan ke polisi. Berdasarkan temuan Forum Pengadaan Pelayanan (FPL) hanya sekitar 40 persen kasus yang dilaporkan ke polisi. Lebih mirisnya lagi, dari 40 persen kasus yang dilaporkan tersebut hanya 10 persen yang dilanjutkan ke pengadilan. Penyebab utama dari sedikitnya kasus yang dilanjutkan ke pengadilan adalah terbatasnya pengaturan mengenai tindak pidana kekerasan seksual dalam undang-undang.
1. Mengatur 9 tindak pidana kekerasan seksual
Ilustrasi kata bertuliskan 'Justice' (Pixabay/CQF-avocat) Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa masih ada keterbatasan peraturan tentang tindak pidana kekerasan seksual. Demi mengatasi keterbatasan tersebut maka dibentuklah RUU PKS. Dalam RUU PKS terdapat pengaturan mengenai 9 tindak pidana kekerasan seksual.
Sembilan tindak pidana tersebut adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa RUU PKS menjadi peraturan pertama dan satu-satunya yang mengatur mengenai 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual.
2. Memuat 6 elemen kunci dan prinsip HAM perempuan
Pin baju bertuliskan "Women's rights are human rights." (Pixabay/Carrie Z) Dengan segera disahkannya RUU PKS, diharapkan ada undang-undang yang memuat 6 elemen kunci dan prinsip HAM perempuan. Hal itu terdiri dari pencegahan, hukum acara termasuk hak korban dan keluarganya, sembilan jenis tindak pidana, pemidanaan, serta pemantauan dan pemulihan. Dalam RUU PKS memang terdapat pengaturan mengenai 6 elemen kunci dan prinsip tersebut.
RUU PKS mencantumkan tindakan pencegahan kekerasan seksual yang konkret. Tindakan pencegahan tersebut seperti memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual ke dalam kurikulum sekolah, membangun fasilitas publik yang aman dan nyaman, menetapkan kebijakan anti kekerasan seksual di perusahaan, serta menguatkan kapasitas kelompok masyarakat, keagamaan, kepercayaan, dan adat.
Baca Juga: Yuk Baca! Ini 5 Alasan PKS Tolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
3. Mencantumkan hak korban dan keluarga secara terperinci
Ilustrasi perempuan sedang tertekan (Pixabay/Foundry Co) RUU PKS juga mencantumkan secara terperinci hak korban dan keluarga. Dalam RUU ini, korban berhak mendapat penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Salah satu hak yang diberikan kepada keluarga korban adalah berhak untuk dirahasiakan identitasnya serta tidak dituntut secara pidana dan perdata oleh tersangka atau keluarganya.
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
4. Mengatur hak saksi
Ilustrasi perempuan sedang melakukan aksi demonstrasi (Pixabay/Dean Moriarty) Selain mengatur mengenai hak korban dan keluarganya, RUU ini bahkan mengatur mengenai hak saksi sehingga dapat mendorong masyarakat untuk tidak takut dalam menolong korban. Saksi mendapat hak seperti mendapat bantuan dan pendampingan hukum, dirahasiakan identitasnya, dan tidak dituntut pidana atau perdata karena kesaksian yang diberikannya.
5. Menjelaskan definisi masing-masing jenis kekerasan seksual
Ilustrasi perempuan sedang tertekan (Pixabay/Anemone123) RUU ini juga mengatur mengenai 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual. RUU ini mencantumkan definisi masing-masing jenis kekerasan seksual dan pemidanaan terhadap pelaku. Pemidanaan juga dirincikan pada beberapa jenis korban yaitu anak, orang dengan disabilitas, dan anak dengan disabilitas. Pemidanaan juga dibedakan untuk beberapa jenis pelaku seperti atasan kerja, tokoh masyarakat, pejabat, dan keluarga.
Baca Juga: Women’s March 2019, Perempuan Desak RUU PKS Segera Disahkan