TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Inilah Jumlah Kekerasan pada Perempuan di Jatim, Sudah Peka Kah Kamu? 

Ternyata, tidak semua orang paham sudah jadi korban!

Unsplash/Yuris Alhumaydy

Kekerasan pada perempuan seakan tidak pernah ada habisnya. Dari tahun ke tahun, jumlahnya membentuk siklus yang sulit diputus. Berdasarkan data dari situs Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), selama 2018 saja, ada sekitar 15 ribu kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Jumlah ini pun masih bisa bertambah karena kecenderungan korban melapor dalam jangka waktu lama setelah kejadian.

Hal ini turut membuka mata kita semua. Sudah cukup sadar pekakah kita terhadap kasus kekerasan pada perempuan di sekitar kita? Atau, apakah selama ini kita mengalaminya tapi tak pernah sedikit pun menyadarinya?

1. Menurut Kemen PPPA, kekerasan terhadap perempuan dibagi menjadi 6 jenis

Unsplash/Eric Ward

Mengacu pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan No 01 Tahun 2010 jenis kekerasan yang pertama dan yang paling umum adalah kekerasan fisik. Kedua, ada kekerasan psikis. Jenis ini berefek pada ketakutan, hilangnya kepercayaan diri, hingga penderitaan psikis yang berat. Menghina, melontarkan komentar yang menyakitkan, merendahkan orang lain, sampai menakut-nakuti adalah beberapa contohnya.

Jenis kekerasan ketiga dan yang sudah sering kita dengar adalah kekerasan seksual. Keempat, penelantaran. Hal ini meliputi tapi tak terbatas pada menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang bekerja yang layak di dalam/luar rumah.

Kekerasan selanjutnya adalah eksploitasi. Tindakan yang termasuk eksploitasi adalah pelacuran, kerja paksa, perbudakan, penindasan, pemerasan, hingga memanfaatkan orang lain untuk meraih keuntungan materiil maupun imateriil.

Kekerasan lainnya adalah yang keenam. Yang termasuk di dalamnya adalah ancaman melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan seseorang. Selain itu, pemaksaan tindakan yang berlawanan dengan kehendak korban pun termasuk jenis kekerasan lainnya. Selain keenam jenis di atas, ada satu jenis kekerasan lagi, yaitu perdagangan manusia (trafficking).

2. Jumlah kekerasan di Jawa Timur termasuk tertinggi kedua di Indonesia. Hal ini dikarenakan tingkat pelaporan & koordinasi yang baik

IDN Times/Rully Bunga

Dalam konteks kekerasan secara umum, Jawa Timur menempati urutan kedua dalam jumlah kejadian kekerasan terbanyak selama 2018. Anugrah Pambudi Raharjo, Kasubag Sistem Informasi Biro Perencanaan dan Data KPP-PA RI, menyebutkan hal itu bisa disebabkan oleh faktor pelaporan yang baik. "Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY memang termasuk wilayah dengan jumlah kekerasan yang tinggi. Ini karena adanya jejaring dan pelaporan yang bagus," jelasnya.

Dikatakannya, tingkat pelaporan dan koordinasi antara unit pelayanan serta masyarakat juga bagus. "Korban kekerasan di sana punya kesadaran yang tinggi, terbuka, dan berani melaporkan," tambah Anugrah. Ditengok dari data real time per 31 Desember 2018, Kabupaten Sidoarjo menempati posisi pertama pada jumlah kasus kekerasan di Jawa Timur. Sementara itu, Surabaya menempati posisi kedua.

Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual, Jokowi Sarankan Baiq Nuril Ajukan Grasi

3. Menurut aktivis & psikolog, tingkat kesadaran perempuan akan kekerasan perlu ditingkatkan. Namun, masih ada masyarakat yang meremehkan

Indri Putri Waskithasari (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Tirza Yoga, konselor kehamilan yang tidak direncanakan (KTD) sekaligus aktivis kekerasan pada perempuan, prihatin dengan angka kekerasan perempuan di Indonesia yang semakin tinggi. "Sudah cukup banyak gerakan yang dilakukan para aktivis untuk membangkitkan kesadaran masyarakat soal apa itu kekerasan dan bagaimana kita bisa berperan untuk menghentikannya. Tapi masyarakat kita itu kayak semacam meremehkannya."

Ditambahkannya, budaya patriarki di Indonesia masih sangat kuat. "Bahkan begitu banyak perempuan yang masih aja victim blaming sama para korban kekerasan." ungkap ibu dua anak ini. Ia kerap kali menemui kasus-kasus karena adanya relasi kuasa. "Power relation itu sangat banyak menjadi penyebab kekerasan dan ini gak hanya dari yang tua ke yang muda tapi sesederhana dari laki-laki ke perempuan atau perempuan ke laki-laki," jelasnya.

Hampir senada, Psikolog RS Husada Tama Indri Putri Waskithasari pun mengungkapkan seringnya kasus kekerasan yang disangkal. "Angka kekerasan yang tinggi itu jelas memprihatinkan. Kenapa bisa seperti itu? Itu bisa terkait kesadaran masyarakat. Tak cuma perempuan, dari laki-lakinya juga tingkat kesadarannya kurang tinggi," ungkapnya.

Indri mencontohkan dengan candaan di lingkungan kerja. Menurutnya, masih banyak yang tak tahu guyonan seperti apa yang menjurus ke kekerasan. Misalnya, yang berbau fisik. "Mereka berlindung di bawah alasan kultur. Karena sudah merasa dekat," tambahnya. Selain takut, perempuan enggan bertindak karena tak mau karier terganggu. Maka, tak jarang ditemukan perempuan yang menyangkal kekerasan yang dialami. 

4. Sejauh ini, pemerintah telah menangani kasus kekerasan pada perempuan lewat berbagai regulasi & membentuk unit layanan hingga tingkat daerah

IDN Times/Febriyanti Revitasari

Secara regulatif, pemerintah Republik Indonesia telah menyusun berbagai regulasi. Salah satunya adalah  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pemerintah juga bersikap serius lewat peraturan daerah, peraturan gubernur, dan perbup/perwali.

Selain regulasi, pemerintah turut membentuk unit layanan penanganan kekerasan. "Ada lembaga yang berjejaring dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia dari masing-masing tingkatan. Misalnya Lembaga Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), POLDA, dan POLRES. LSM termasuk salah satu di antaranya," papar Anugrah.

Menurut SPM Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan No 01 Tahun 2010, ada tujuh layanan penanganan kekerasan yang tersedia di unit-unit tersebut. Pertama, penanganan pengaduan yaitu tindakan setelah adanya laporan tindak kekerasan. Kedua, pelayanan kesehatan (pemeriksaan, visum).

Ketiga, penegakan hukum. Keempat, bantuan hukum (pendampingan dan advokat). Kelima, rehabilitasi sosial (pengembalian korban ke masyarakat). Keenam, reintegrasi sosial (penyatuan korban dengan keluarga). Ketujuh, pemulangan korban ke daerah asal. Di luar ketujuh layanan di atas, korban kekerasan juga bisa mendapatkan pendampingan tokoh agama.

Meski punya unit tugas hingga wilayah terkecil, tak lantas kerja pemerintah sudah cukup. Menurut Tirza, pemerintah harus menaruh perhatian yang lebih tinggi karena perempuan masih mendominasi angka korban kekerasan. Selain membangun lebih banyak komunikasi dengan NGO untuk perspektif lebih baik, pembenahan undang-undang juga perlu.

"Hukum di negara ini banyak yang kontradiktif dan mayoritas cenderung merugikan perempuan dan kaum marginal lain, tidak hanya perempuan. Aku sering banget diledekin sama temen-temenku dari orang Belanda, 'Kenapa hukum di Indonesia itu kolot?'".

Kata Tirza, "hal ini dikarenakan Indonesia mengadopsi hukum sejak masa kolonialisme dan tidak disesuaikan dengan perkembangan zaman."

Tirza juga berpendapat agar isu kekerasan pada perempuan tidak digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. "Pemerintah juga perlu berhenti mempolitisasi isu kekerasan untuk keuntungan agenda-agenda politik. Intinya, pemerintah perlu belajar lagi."

Baca Juga: Laporkan Balik Pelaku Kekerasan Seksual, Nuril Bawa Banyak Alat Bukti

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya