Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-06-27 at 5.52.44 PM (1).jpeg
Presentasi Final Gaharu Bumi Innovation Challenges 2024 oleh Ashoka Indonesia, Komunitas Mamaberclodi sebagai salah satu finalis di kategori komunitas. (dok. Anggia Vicky)

Intinya sih...

  • Anggia Vicky menerapkan gaya hidup minim sampah sejak lima tahun silam, terinspirasi dari kepeduliannya terhadap sampah popok anak.

  • Menerapkan gaya hidup minim sampah bukan perjalanan instan, butuh dibiasakan dan tidak selalu menghasilkan nol sampah.

  • Tiap keluarga memiliki metode yang berbeda dalam mengelola sampah, tidak semua harus meniru apa yang dilakukan orang lain.

Jakarta, IDN Times - Jika membahas lingkungan, rasanya tidak pernah usai. Isu ini masih menjadi permasalahan yang serius di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Data tahun 2024 dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan bahwa timbulan sampah mencapai 34.214.607 ton/tahun.

Angka tersebut tidak sebanding dengan pengurangan sampah yang hanya mencapai 13,24 persen saja atau berkurang sekitar 4 ton/tahun di 317 Kabupaten/Kota se-Indonesia. Sementara itu, sampah tidak terkelola masih ada sekitar 13 juta ton/tahun. 

Jika dilihat berdasarkan komposisi sampah, produksi sampah rumah tangga menduduki peringkat tertinggi (53.74 persen) dari keseluruhan timbunan sampah. Sekitar 39.25 persen di antaranya merupakan limbah sisa makanan.

Isu ini juga menjadi perhatian khusus bagi Widia Anggia Vicky, seorang ibu rumah tangga, yang mulai menerapkan gaya hidup minim sampah sejak lima tahun silam. Perjalanannya tidak hanya menjadi inspirasi, tapi juga cerminan dari semangat perubahan yang dimulai dari rumah sendiri.

1. Berawal dari kepedulian terhadap sampah popok anak, ia menumbuhkan semangat gaya hidup minim sampah

Presentasi Final Gaharu Bumi Innovation Challenges 2024 oleh Ashoka Indonesia, Komunitas Mamaberclodi sebagai salah satu finalis di kategori komunitas. (dok. Anggia Vicky))

Sejak menjadi seorang ibu, perempuan yang akrab disapa Vicky ini, mulai memikirkan segala kebutuhan bayi dan pengeluarannya. Gak disangka, persoalan popok saja bisa membuatnya tertarik untuk memahami isu lingkungan.

“Aku gak ada niat sebenarnya untuk mendalami atau ngomong tentang lingkungan. Isu lingkungan bukan isu yang dekat denganku zaman dulu masih sekolah dan kerja. Jadi, sebenarnya ini hal yang baru buatku,” kata Vicky dalam wawancara khusus secara daring pada Rabu (25/6/2025).

Sebagai ibu baru, tentu Vicky banyak mempertimbangkan segala hal, termasuk pengeluaran popok anak sekali pakai. Menurutnya, popok saja membutuhkan budget yang tidak sedikit. Itulah mengapa Vicky berusaha mencari solusi lain untuk menghemat pengeluaran dengan mengikuti banyak kelas terkait pemakaian clodi (cloth diaper) atau popok kain.

Full time menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak dan rumah, membuat Vicky mulai merasa dekat dengan urusan sampah. Dari kelas-kelas yang diikutinya juga, ia semakin terpapar dengan berbagai isu lingkungan terutama sampah. 

“Jadi, banyak belajar tentang isu lingkungan, mencoba memahami dari perspektif ibu. Sebenarnya, urusan sampah itu gimana sih? Ternyata, memang dampaknya ke mana-mana. Setelah dipelajari juga, aku merasa bahwa kita jadi manusia itu seharusnya memang gak merusak alam. Itu sejalan dengan value yang aku yakini sebagai seorang muslim bahwa manusia diciptakan bukan untuk menimbulkan kerusakan,” tuturnya. 

Akhirnya bukan sekadar mengganti popok sekali pakai menjadi popok kain, Vicky juga mulai menerapkan gaya hidup minim sampah. Sejak 2020, Vicky mulai belajar untuk ikut berkontribusi menjaga lingkungan dengan memilah sampah.

2. Gaya hidup minim sampah merupakan perjalanan yang tidak instan dan butuh dibiasakan

Mengisi kegiatan Wanagama Rally dari Fakultas Kehutanan UGM tentang sustainable lifestyle, tahun 2025. (dok. Anggia Vicky))

Selama ini, Vicky terbiasa berada di lingkungan yang sangat kontras dari budaya minim sampah. Ia merupakan lulusan Teknik Material dan Metalurgi ITS yang terbiasa berkutat dengan plastik maupun ekstraksi logam dan mineral.

Ketika pertama kali memulai mengurangi sampah, Vicky sempat berpikir bahwa itu adalah hal yang mudah untuk dilakukan. Setelah menjalaninya sekitar setahun, ia baru merasa bahwa perjalanan menjaga lingkungan ini bukan perkara yang mudah.

“Dulu maunya sempurna banget, sama sekali gak menghasilkan sampah. Tapi, sulit banget dan agak mustahil sebenarnya. Dulu aku berekspektasi ke diriku kayak ‘Ah, bisa lah ya cuma gak pakai plastik, cuma gak nyampah,’. Ternyata setelah dijalani, susah banget,” kata Vicky.

Ia juga mengatakan, “Ada masa-masa aku itu mengalami kecemasan, ketakutan. Mau buang sampah itu ada rasa anxious dulu. Setelah aku menerapkan zero waste, justru ada masa-masa itu beberapa bulan. Merasa sulit banget, kok kayak beban hidup banget.”

Setelah melewati fase penuh tekanan dan ekspektasi tinggi terhadap dirinya sendiri, Vicky perlahan mulai menyadari bahwa terlalu ekstrem dalam melakukan suatu hal itu gak selamanya baik. Dari titik itu, ia memutuskan untuk tidak terlalu berekspektasi dan menjaga apa yang bisa dia kontrol.

“Aku mulai dari hal-hal yang aku punya kontrol,” kata dia.

Ia memulainya dari hal-hal kecil terlebih dulu, seperti mengganti produk personal care atau produk rumah tangga. Perlahan, Vicky mulai belajar untuk memilah sampah hingga mengompos tanpa harus mengganggu urusan rumah tangga.

3. Tiap keluarga punya metode yang berbeda dan gak bisa disamaratakan

ilustrasi sampah (pexels.com/Polina Tankilevitch)

Gak selamanya apa yang dilakukan orang lain harus ditiru. Seperti halnya parenting, tiap rumah tangga juga memiliki cara yang berbeda dalam mengelola sampah atau menumbuhkan kepedulian terhadap hidup berkelanjutan.

Semasa Vicky masih bekerja full time, ia merasa kesulitan mengatur sampah di rumah dan berakhir menjadi tumpukan saja. Menurutnya, dalam rumah tangga juga perlu kerjasama soal hal ini. Ia dan suami akhirnya memutuskan untuk saling tegas terhadap kebersihan sesuai ritme yang nyaman menurut mereka.

Vicky juga sering menjelaskan hal ini saat menjadi pembicara atau di konten-kontennya untuk menjadikan kebiasaan orang lain sebagai referensi. Artinya, kita harus menemukan sendiri mana metode dan ritme yang tepat sesuai dengan kenyamanan masing-masing orang.

“Kamu benar-benar harus kembali lagi mengenali mana yang bisa jadi mudah untuk keperluan keluargamu. Bisa jadi tujuannya sama, tapi caranya berbeda. Entah caranya mau B dulu baru ke A, atau C dulu baru ke B. Gak masalah menjadi gak sama dengan orang lain,” pesannya.

4. Apakah zero waste dan hidup minimalis berbeda?

Berbelanja ke pasar selalu bawa tas dan wadah sendiri untuk mencegah sampah plastik. (dok. Anggia Vicky)

Dari kacamata Vicky sebagai praktisi lingkungan hidup, baik zero waste atau hidup minimalis pada akhirnya akan bermuara di satu tujuan. Menurutnya yang sama adalah manusia hidup sesuai kebutuhan dan berdampingan dengan alam.

“Misalnya, aku dulu berangkatnya mau zero waste gitu, mengurangi sampah, tapi dalam perjalanannya aku tuh akan juga menerapkan minimalis, menerapkan juga mindful lifestyle gitu,” ujarnya.

Semuanya saling berkesinambungan dalam suatu gaya hidup berkesadaran dan berkelanjutan. Orang yang memutuskan untuk mengurangi sampah juga akhirnya mulai bersikap lebih mindful saat ingin membeli suatu hal. Mindful living itulah yang akhirnya membuat hidup perlahan tampak minimalis.

Vicky menuturkan, “Dari zero waste ke mindful living dan akhirnya kita beli barang-barang yang kita butuhkan saja. Akhirnya itu sebenarnya beririsan, mungkin beda secara konsep dan teorinya, tapi secara praktik pasti saling bersinggungan.”

5. Gaya hidup minim sampah bukan berarti mengeliminasi semua, tetapi mengurangi

ilustrasi memilah sampah (pexels.com/SHVETS production)

Dalam keseharian, Vicky gak menuntut diri untuk zero waste total. Ia menyebutnya sebagai hidup “minim sampah”. Ia dan keluarga mencoba membiasakan diri untuk melakukan beberapa hal seperti membawa wadah sendiri ketika membeli suatu hal atau membawa tas belanja.

Sampah organik bisa dikompos. Selain itu, ia akan memilahnya untuk dibawa ke tempat yang bisa mengelola sampah-sampah tersebut. Baginya, gaya hidup minim sampah bukan berarti benar-benar mengeliminasi semua sampah, tetapi berusaha mengurangi.

“Yang aku anti adalah plastik sekali pakai. Kalau keresek bersih, akan aku pakai lagi karena memang plastik diciptakan untuk bisa dipakai berkali-kali,” kata Vicky.

Ia menekankan bahwa kuncinya bukan kesempurnaan, melainkan kesadaran dan usaha terus-menerus. Vicky punya prinsip untuk tidak menambah sampah masuk ke dalam rumah. 

Selagi masih bisa, Vicky juga mengganti beberapa produk yang memang memiliki penggati. Contohnya, gak lagi memakai tisu melainkan kain lap atau memilih produk skincare dengan kemasan yang tidak menggunakan plastik sehingga 100 persen bisa didaur ulang.

Dulu, Vicky merasa kalau sudah membuang sampah pada tempatnya, maka itu adalah perbuatan yang mulia. Padahal, sampah itu memang hilang dari mata manusia, tapi belum benar-benar hilang dari bumi ini.

Mindset itu yang perlu kita bilang ke orang-orang bahwa membuang sampah pada tempatnya saja, itu gak cukup karena sampah yang hilang cuma pindah tempat,” imbuhnya.

Maka dari itu, Vicky menyarankan agar kita belajar memilah sampah organik dan anorganik. Menurutnya, semua bisa dipelajari secara otodidak asalkan punya niat yang baik.

6. Upaya edukasi dilakukannya lewat Mama Berclodi dan Waste Therapy

Presentasi Final Gaharu Bumi Innovation Challenges 2024 oleh Ashoka Indonesia, Komunitas Mamaberclodi sebagai salah satu finalis di kategori komunitas. (dok. Anggia Vicky)

Gak berhenti di dirinya sendiri, Vicky semakin giat membagikan banyak tips dan edukasi simpel melalui konten-kontennya di media sosial. Ia juga membuat sebuah platform di Instagram bernama Waste Therapy (@waste.therapy) serta menjadi Director of Mama Berclodi (@mamaberclodi).

Mama Berclodi merupakan komunitas dari ibu-ibu pengguna cloth diaper atau popok kain. Kini, komunitas ini sudah mengedukasi lebih dari 1.800 orang melalui kelas-kelas daring seputar pemakaian popok kain.

Tentang Mama Berclodi, Vicky mengungkapkan, “Kita punya program edukasi. Kita bikin kelas online. Kita ajarin cara pakainya gimana, cara merawatnya, dan cara memilihnya gimana.”

Lewat Mama Berclodi, Vicky ingin mengajak para ibu untuk mempertimbangkan penggunaan popok kain. Bukan hanya menghemat pengeluaran berjuta-juta, popok kain bisa digunakan untuk anak yang kulitnya sensitif. 

Vicky merasa ibu-ibu sering takut kalau harus memakaikan anaknya popok kain karena modal yang besar di awal pembelian. Namun ketika sudah punya popok kain, justru bisa menghemat biaya, tidak menimbulkan sampah, awet dalam jangka waktu yang cukup lama.

Konsepnya seperti baju yang harus dicuci setelah dipakai dan kotor. Usia popok kain lebih lama, bahkan bisa disumbangkan atau dipakai orang lain.

Di samping itu, Vicky juga rajin mengunggah berbagai konten di media sosial lewat Waste Therapy dan akun pribadinya. Prinsipnya hanya mengajak dan mendorong banyak orang untuk menerapkan gaya hidup ramah lingkungan.

“Pada prinsipnya, hanya bisa mengajak. Kalau dia mau, ya bersyukur. Tapi kalau gak mau, ya gak usah dipaksa. Kita gak perlu menghabiskan energi untuk orang yang gak mau diajak,” ucapnya.

7. Menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan ini membuat Vicky lebih mengenal dirinya sendiri

Anggia Vicky, Founder Waste Therapy, Director of Mama Berclodi, sekaligus Eco-Content Creator (dok. Anggia Vicky)

Dari gaya hidup yang ia terapkan selama lima tahun terakhir ini, Vicky mengaku belajar banyak hal terutama tentang dirinya sendiri. Tentu, ia menjadi lebih mengerti bagaimana caranya mengelola sampah dengan baik dan benar.

“Secara personal, aku merasa jadi lebih kenal dengan diri sendiri. Dalam arti, aku jadi lebih memahami diriku sendiri dan kebutuhannya, lalu hal-hal apa yang menjadi prioritas buatku," ungkapnya.

Vicky kini tumbuh menjadi pribadi yang lebih fleksibel dan melihat banyak sisi. Terkadang, apa yang menurut diri sendiri baik, belum tentu baik menurut orang lain. Begitu juga kebalikannya.

Dengan belajar menerapkan prinsip minim sampah, Vicky juga belajar tidak memaksakan suatu hal. Ia menjadi tahu apa arti dari cukup, seperti yang selalu ditekankannya bahwa hidup secukupnya dan nyampah seperlunya. Seberapa besar kita merasa cukup akan mencegah dari hal-hal buruk.

“Yang awalnya aku merasa cukup berat, aku belajar harus lebih relaks sama diri sendiri,” tuturnya.

8. Menjaga lingkungan adalah tugas bersama

ilustrasi sustainability (pexels.com/Markus Spiske)

Satu pesan penting yang Vicky sampaikan adalah keterlibatan semua pihak untuk menjaga lingkungan. Vicky berharap semua pihak bisa menjalankan perannya masing-masing dengan baik dan benar.

“Masyarakat juga harus sadar ketika dikasih tahu, jangan ngeyel,” sebutnya.

Vicky memandang permasalahan lingkungan hidup bukan salah satu pihak saja. Tanggung jawab sampah pun tidak bisa dibebankan hanya kepada konsumen.

Jika satu rumah saja bisa merasakan perubahan positifnya, apalagi kalau gaya hidup minim sampah ini dilakukan oleh banyak orang. Yuk, mulai ambil langkah kecil untuk membuat perubahan demi menyelamatkan bumi!

Editorial Team