Belajar Ikhlas & Pantang Menyerah dari Bu Sri Beserta Gerobak Jamunya

#AkuPerempuan siapa bilang perempuan makhluk lemah?

Setiap pukul 10 pagi sebuah gerobak bermotor selalu lewat di depan kantorku. Pengendaranya seorang ibu paruh baya yang selalu tersenyum lebar menyambut pelanggannya. Iya kamu gak salah baca, pengendara gerobak bermotor itu ibu-ibu.

Kalau biasanya gerobak serupa dipakai mengangkut tabung gas, galon, atau bahkan sampah, punya Bu Sri disulap menjadi warung berjalan. Ada etalase kaca yang menawarkan aneka lauk dan gorengan. Ada rak kecil tempat belasan botol jamu tertata rapi. Di langit-langitnya menjuntai aneka jenis minuman sachet.

Walau banyak, dagangan Bu Sri selalu tampak rapi dan menarik penjual. Bungkusan keripik yang digantung bergelayut menggoda saat wanita 50 tahun itu menghentikan gerobak motornya di depan kantorku. Tampak jelas bahwa ia adalah sosok yang mudah disukai, terlihat dari interaksinya dengan para pelanggan setia.

1. Berani merantau seorang diri sejak usia 14 tahun, Sri datang ke Surabaya bersama bayinya demi mengejar mimpi

Belajar Ikhlas & Pantang Menyerah dari Bu Sri Beserta Gerobak JamunyaIDN Times/Triadanti

Aku menyeruput es sinom racikan Bu Sri sembari mengawasi gerak-geriknya saat melayani pembeli. "Itu resep saya sendiri lho mbak, dari dulu gak saya apa-apain. Asli!" sesumbarnya dengan suara hangat.

Bu Sri bukan orang baru dalam dunia jualan jamu. Dia mengawali petualangannya dengan berkelana seorang diri dari Wonogiri ke Surabaya di tahun 1985. "Saya baru 14 tahun, gak ada sodara saya ngekost sendiri sama anak saya masih bayi."

Saat kutanya apa motivasinya pergi jauh dari keluarga di usia remaja? Jawabannya adalah mencari penghidupan yang lebih baik bagi dirinya dan anaknya, apalagi ia baru saja bercerai.

Berawal dari jualan jamu, akhirnya ia menambah dagangan lainnya sampai sebanyak sekarang. "Awalnya saya gak pakai ini," kenang Bu Sri sambil membelai kepala motornya.

"Dulu dari 85 sampai 88 dagangannya digendong. Lalu 88 sampai 2002 gerobak kecil. Tahun 2002 sampai 2016 gerobak sedang, sempat pakai sepeda tapi saya kesulitan melayani pembeli. Akhirnya beli motor ini."

Semuanya dibeli dari uang hasil berjualannya selama ini. Tetapi masih ada cerita lain dari perjuangan ibu gigih ini.

2. Sedikit demi sedikit tabungan terkumpul jadi bukit, namun Sri pun mengalami kehilangan yang luar biasa

Belajar Ikhlas & Pantang Menyerah dari Bu Sri Beserta Gerobak JamunyaIDN Times/Triadanti

Ia bekerja keras untuk keluarga. Selain berjualan keliling Bu Sri juga jadi penyalur tenaga kerja rumah tangga. Honor yang didapatkan tak banyak memang, namun ia mengaku senang melakukannya.

"Aku kerja begini kan demi cucu, anak laki-laki saya baru meninggal. Waktu istrinya hamil anak kedua tiga bulan, anak saya dipanggil Tuhan," suaranya Bu Sri bergetar, namun raut wajahnya tetap tegar.

dm-player

Sekarang menantu dan kedua cucunya menjadi tanggungan hidupnya. Sang anak lelaki satu-satunya telah menderita stroke selama tiga tahun sebelum akhirnya berpulang. Selama pengobatan itu pula Bu Sri harus habis-habisan menanggung semua biaya yang dibutuhkan.

"Saya dulu pernah punya tanah di Menganti sana. Hasil dari kerja sehari-hari sama suami. Tapi tak jual lagi demi pengobatan anak."

Bukannya menyalahkan keadaan, atau kecewa karena semua pengorbanannya tetap berakhir dengan kepergian sang buah hati, Bu Sri segera bangkit dan move on karena sekarang kedua cucu dan menantunya adalah tanggungannya.

Baca Juga: Sekar Sari: Perempuan Harus Sadar Apa Potensinya & Rajin Mengasahnya

3. Mungkin di matamu Sri hanya seorang penjual jamu biasa, namun ada tekad kuat membara dalam karakternya

Belajar Ikhlas & Pantang Menyerah dari Bu Sri Beserta Gerobak JamunyaIDN Times/Triadanti

Mengadu nasib ratusan kilometer dari rumah sejak usia belia, mengumpulkan tabungan sedikit demi sedikit, lalu mengalami kehilangan besar dalam hidupnya... Tak semua manusia bisa menghadapi kenyataan sepahit ini dengan kepala tetap tegak.

Aku pun bertanya apa yang begitu mendorong si gadis 14 tahun untuk membawa bayinya yang baru tujuh bulan merantau ke Surabaya. "Mau bagaimana lagi? Anak saya masih kecil, sementara suami pertama saya pada saat itu sudah pergi dengan wanita lain. Saya harus nekat demi masa depan," ujarnya.

Aku terpekur memikirkan betapa manja dan kurang bersyukurnya diri selama ini. "Sengsara itu sudah jadi hal yang biasa bagi saya."

4. Walau hidup membantingnya ke tanah berulang kali, Sri tetap mencintai segala yang dilakukannya dengan sepenuh hati

Belajar Ikhlas & Pantang Menyerah dari Bu Sri Beserta Gerobak JamunyaIDN Times/Triadanti

Tak perlu menatapnya iba, Bu Sri tidak butuh rasa kasihan. Berbeda dengan anggapan banyak orang, ia justru menikmati profesinya sebagai penjual keliling. "Saya paling gak bisa kerja ikut orang. Saya lebih ingin berjuang sendiri begini, meski berat."

Ia tak selalu bertemu orang-orang baik di jalan. Dimaki dan dihina orang sehari-harinya bukan hal asing lagi bagi Bu Sri. Tapi ia pun dipertemukan dengan mereka yang berhati mulia dan bersedia membantunya saat terpuruk. "Pas anak saya sakit, ada pelanggan saya yang ngasih tongkat buat jalan. Saking bahagianya saya gak bisa nangis," kenangnya sambil tersenyum manis.

Es sinom yang kupesan sudah habis, waktu istirahat siang juga sudah menipis. Sebelum pamit dari Bu Sri, aku bertanya apa yang jadi harapannya setelah ini? 

"Aku hanya pengen umrah aja. Sama semoga cucuku bisa sekolah tinggi." Pikiran positif dan optimis Bu Sri menular padaku, mengingatkanku untuk bersyukur, dan tak mudah menyerah. Semoga ceritanya juga bisa menggugahmu.

Baca Juga: Layinuvar Anggia, Merantau Seorang Diri ke Ibu Kota Demi Pengabdian

Topik:

  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya