Nirasha Darusman (instagram.com/nirashadarusman)
Selama 7 tahun (2007-2014), Nira mengalami kehilangan secara bertubi-tubi. Pertama sang adik, Tara, yang meninggal karena sakit. Kemudian disusul oleh ayah, abang, dan terakhir ibu yang dipanggil oleh Tuhan pada tahun 2014.
Akhir tahun 2017 merupakan turning point di mana Nira menyadari bahwa ia belum bisa memproses duka dengan baik selama 10 tahun terakhir. Kesedihan itu terus terakumulasi hingga tanpa sadar membuatnya tidak tenang dalam menjalani hidup. Bersyukurnya, Nira dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang peduli dan menyadari hal tersebut, sehingga mereka menyarankan Nira untuk menemui psikolog.
“Aku menderita mild depression. Ini kayak wake up call, aku harus bisa memproses grief dengan baik. Baru deh lebih clear karena selama ini kaya clouded gitu. Kasarnya aku hidup dengan survival mode aja. Benar-benar gak mindful, pokoknya survival mode karena kan duka datang bertubi-tubi,” paparnya.
Selama 10 tahun, Nira dihadapkan dengan kondisi di mana ia merasa sudah melakukan sebagaimana apa yang dilakukan orang berduka.
Nira menjelaskan, “Memang selama 10-11 tahun, i think i did what most people do when they grief. Sedihnya karena gak banyak orang memahami harusnya grief diapain. Kita terbiasa dengan society yang bilang ‘udah jangan sedih-sedih. Yang ikhlas saja”. Aku melakukan itu dan ternyata, ya, sedihnya harus sedih dulu baru kemudian bisa ikhlas.”
Banyak langkah besar yang kemudian diambil Nira dalam prosesnya berdamai dengan luka. Bukan hanya datang ke psikolog untuk terapi, Nira juga mulai rutin olahraga hingga belajar menerapkan mindfulness dalam kehidupannya sehari-hari. Banyak sekali pertanyaan tentang duka yang menghantuinya sehingga Nira mencari buku-buku tentang grief.
Hal ini mengantarkan bertemu dengan buku bergenre memoar, yang jarang ditemukan di Indonesia. Di sinilah Nira merasa bahwa ia bisa menemani banyak orang yang sepertinya melalui buku memoar.
“Jadi orang-orang ini (penulis buku_red) tuh cerita tentang pengalaman griefing mereka. Yang aku rasakan pada saat baca buku mereka itu aku merasa tervalidasi perasaaan. Kedua, aku gak merasa gila. Kadang aku mikir ‘ih gue gila kali ya’, masa griefing dari berbelas tahun sampe sekarang belum kelar. Ketiga, oh ternyata griefing itu gak papa. Intinya semua rasa tervalidasi, beberapa pertanyaan terjawab,” cetus perempuan lulusan Universitas Indonesia ini.