IDN Times/Aldzah Fatimah Aditya
Berbicara tentang kekerasan seksual tentu tak lepas dengan RUU PKS, yang bisa menjadi payung hukum untuk kasus kekerasan seksual. Rancangan ini telah diusulkan sejak 2016 lalu, namun belum disahkan hingga saat ini. Proses yang terus mengulur waktu, pun isinya yang cukup multitafsir akhirnya menimbulkan kontroversi dalam masyarakat.
Sebagai seorang aktivis kekerasan seksual, Poppy pun mendukung pengesahan RUU PKS ini, namun masih banyak hal yang perlu disempurnakan. Masyarakat pun juga harus diedukasi agar tidak salah tafsir akan isi rancangan undang-undang ini.
"Selama ini, menurutku, yang absurbd adalah pada saat ada yang menolak, terus menolaknya pun tanpa alasan yang jelas gitu. Misalnya pro zina, bagian mana yang pro zina? Pro aborsi, bagian mana yang pro aborsi? Pro ini lah apalah segala macam. Mohon maaf itu beda undang-undangnya," tutur Poppy.
Poppy pun juga cukup geram dengan proses pengesahan yang cukup lama, padahal Indonesia darurat kekerasan seksual. Komnas Perempuan telah memperjuangkan payung hukum ini sejak lama.
"Buruan deh diajak ngobrol kita-kita nih yang emang di lapangan. Kita beneran melihat kaya apa sih KDRT, kaya apa sih anak yang jadi korban perkosa bapaknya sendiri. Supaya mereka paham sedarurat apa. Masa sih info atau semua yang dilakukan sama Komnas Perempuan bertahun-tahun dan kasih liat datanya ke pemerintah itu tidak cukup?" serunya.