Jadi Korban Perdagangan Manusia, Salas Dirikan Kampung Buruh Migran

Hingga akhirnya dia mendapatkan penghargaan

Berdasarkan Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2018, Indonesia menjadi salah satu negara utama yang menjadi negara tujuan serta transit untuk pekerja paksa dan korban perdagangan seks. Banyak warga Indonesia yang dieksploitasi menjadi pekerja paksa dan terlilit hutang di Asia dan Timur Tengah, terutama dalam sektor pekerja rumah tangga, buruh pabrik, pekerja konstruksi dan manufaktur, hingga perkebunan kelapa sawit dan kapal-kapal penangkap ikan.

Pemerintah memperkirakan terdapat sekitar 1,9 juta warga Indonesia yang bekerja di luar negeri yang gak memiliki dokumen atau telah melewati batas izin tinggal. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan merupakan korban human trafficking. Salah satu perempuan yang pernah mengalami pengalaman pahit ini adalah Maizidah Salas. Dalam acara Human Trafficking Among The Vulnerable yang diadakan oleh MyAmerica Surabaya (30/7), Salas berkesempatan menceritakan perjuangannya mulai dari menjadi TKI hingga mendirikan Kampung Buruh Migran.

1. Salas mulai menjadi TKI di Taiwan sejak tahun 2001

Jadi Korban Perdagangan Manusia, Salas Dirikan Kampung Buruh MigranIDN Times/Rully Bunga

Salas lahir dan dibesarkan di kota kecil di Jawa Tengah, Wonosobo. Pada tahun 2001, Salas mendapat tawaran oleh seorang calo atau yang biasa disebut PJTKI untuk menjadi TKI di Taiwan dalam segmen PRT. Dengan iming-iming biaya yang cukup murah, akhirnya Salas menerima tawaran tersebut. Karena sebelumnya, Salas sudah pernah ditipu orang dan dia harus rela kehilangan uang sebesar Rp10 juta dari hasil penjualan pekarangan yang ada di desa.

Setelah Salas menerima tawaran tersebut, dia dibawa ke tempat penampungan yang berada di Jakarta tanpa diminta untuk memberikan dokumen apa pun. Sampai di sana, Salas bertemu dengan calon TKI lainnya. Mereka semua ditempatkan dalam satu ruangan yang gak terlalu besar. Ruangan tersebut digunakan untuk menampung 188 orang dan dijadikan sebagai ruang tidur, makan, belajar bahasa, sekaligus untuk melakukan kegiatan lainnya. Aturan di sana pun cukup ketat, setiap orang hanya diperbolehkan mandi selama 8 menit dan jika terlambat akan dihukum lari keliling kantor. Mereka juga dipekerjakan dengan modus piket. Padahal hal tersebut merupakan bentuk eksploitasi pada para TKI sebelum diberangkatkan ke luar negeri.

2. Di sana, Salas harus bekerja mulai pukul 04.00 pagi hingga pukul 01.00 dini hari tanpa istirahat

Jadi Korban Perdagangan Manusia, Salas Dirikan Kampung Buruh MigranIDN Times/Rully Bunga

Setelah tiga bulan berada di penampungan, akhirnya Salas diberangkatkan ke Taiwan. Ketika menandatangani beberapa lembar dokumen, Salas mendapat informasi bahwa dirinya akan ditugaskan untuk merawat seorang nenek yang buta. Sebelum berangkat, Salas gak diperbolehkan untuk membawa barang apa pun, termasuk mukena, Alquran, nomor telepon (karena pada saat itu belum banyak yang memiliki HP), kosmetik atau pun pakaian di atas lutut. Sampai di Taiwan, Salas dijemput oleh agensi dan masih harus bekerja di kantor agensi tersebut selama 3 hari dengan gaji nasi kotak saja.

Setelah itu, Salas dibawa ke rumah calon majikannya. Ternyata gak ada nenek buta satu pun di sana. Salas dipekerjakan untuk membersihkan rumah dengan 4 lantai dan melayani 8 orang termasuk pacar anak majikannya. Bukan hanya itu, dia juga harus membantu usaha rumah makan milik majikannya.

Setiap harinya, Salas bekerja mulai pukul 04.00 pagi pukul 01.00 dini hari tanpa istirahat. Mulai dari membuat acar kol sebanyak 24 kg, mencuci dan memasak usus babi 7 kg, menyangrai daging babi sebanyak 4 kg, menyiapkan makan malam hingga mencuci dan menyetrika baju. Lebih parahnya lagi, Salas juga gak mendapatkan hari libur atau cuti, gak menerima gaji, dan gak diperbolehkan berbicara dengan orang lain selain keluarga majikan. Begitu seterusnya hingga berjalan 3 bulan lamanya.

3. Karena menolak pulang, Salas akhirnya melarikan diri dan menjadi tenaga kerja ilegal

Jadi Korban Perdagangan Manusia, Salas Dirikan Kampung Buruh MigranIDN Times/Rully Bunga
dm-player

Di bulan ke-4, Salas dipindah ke majikan baru. Bagaikan keluar dari neraka dan masuk ke surga, beruntung majikan barunya sangat baik pada Salas. Dia mendapatkan hak yang sesuai dan justru dihadiahi HP oleh majikannya tersebut. Padahal dari pihak agensi sudah menginformasikan bahwa PRT gak boleh menerima hadiah berupa HP. Namun, kebahagiaan ini hanya berlangsung selama 4 bulan. Salas dijemput oleh pihak agensi dan akan dipulangkan ke Indonesia karena permintaan majikannya yang pertama. Karena majikan yang pertama memiliki kontrak selama 2 tahun, sehingga dia gak bisa mendapatkan PRT baru jika Salas belum dipulangkan.

Karena gak ingin pulang, Salas akhirnya melarikan diri dan menjadi tenaga kerja ilegal di Taiwan. Namun ternyata, lepas dari agensi gak membuatnya terlepas dari keterpurukan. Tanpa tempat tinggal dan gak memegang uang sepeser pun, membuat Salas harus berutang dan membayar agensi ilegal.

Setelah mendapat pekerjaan kembali, sayangnya Salas gak bisa menikmati gajinya karena diambil oleh agensi tersebut. Kejadian tersebut terjadi berulang kali hingga akhirnya Salas mendapat pekerjaan di pabrik yang hasilnya lumayan. Hasil kerja kerasnya tersebut dia kumpulkan dan digunakan untuk menyewa apartemen. "Saya gunakan apartemen tersebut untuk menampung teman-teman dari Indonesia yang juga ilegal. Saya gak ingin mereka seperti saya, gak punya tempat tinggal dan luntang-lantung di jalanan," ungkap Salas.

Baca Juga: Psikis 5 Anak Korban Trafficking di Sanur Mulai Labil

4. Pada tahun 2006, Salas tertangkap polisi dan akhirnya dideportasi

Jadi Korban Perdagangan Manusia, Salas Dirikan Kampung Buruh MigranIDN Times/Rully Bunga

Pada tahun 2006, Salas tertangkap polisi dan akhirnya dideportasi. Beruntungnya Salas sempat bertemu seorang aktivis dan telah belajar banyak dari orang tersebut. Sehingga pada saat kembali ke Indonesia, Salas mengumpulkan tetangganya yang pernah bekerja di luar negeri. Di pertemuan tersebut mereka semua menumpahkan segala isi hatinya hingga menangis sesenggukan. Dari situlah Salas sadar bahwa ini adalah masalah besar yang gak boleh didiamkan begitu saja.

Akhirnya bersama 16 orang yang berkumpul saat itu, Salas membentuk Solidaritas Perempuan Migran Wonosobo (SPMW). Selain kumpul-kumpul, mereka juga memiliki kegiatan arisan sehingga semakin banyak orang yang berminat mengikuti organisasi tersebut. Karena jumlah anggota semakin banyak dan semua adalah mantan TKI yang bermasalah, organisasi tersebut kemudian diubah menjadi Kampung Buruh Migran.

5. Setelah pulang, Salas mendirikan Kampung Buruh Migran bersama korban human trafficking lainnya di Wonosobo

Jadi Korban Perdagangan Manusia, Salas Dirikan Kampung Buruh MigranIDN Times/Rully Bunga

Saat ini, anggota Kampung Buruh Migran sudah mencapai 900 orang lebih. Mereka mengadakan kegiatan mulai dari pemulihan secara psikologi dan fisik, serta memberdayakan keterampilannya. Kampung Buruh Migran juga menyediakan fasilitas sekolah PAUD gratis untuk anak-anak buruh migran. Mereka juga mendirikan koperasi dan juga menyediakanwifi gratis untuk orang-orang yang ingin belajar menggunakan internet dengan baik dan bijak. Sekarang, Kampung Buruh Migran juga tengah mengerjakan proyek film yang bekerjasama dengan beberapa lembaga dan pemerintah.

Kisah Salas dalam memperjuangkan hak-haknya ini bisa menjadi pembelajaran untuk kita semua. Berkat perjuangannya ini, Salas mendapat penghargaan Trafficking In Person (TIP) Report Heroes 2018 dari Pemerintah Amerika Serikat. Salas berharap gak ada lagi orang-orang yang menyalahkan korban, karena hal ini justru akan memperburuk kondisi korban. "Orang terdekat harus melakukan pendekatan pada korban, sampaikan bahwa mereka gak sendiri. Masih ada orang yang peduli dan menguatkan korban untuk bisa bangkit. Pada korban sendiri harus berani bicara dan menyampaikan pada orang lain. Supaya kasus yang dialami korban gak terjadi pada orang lain," ujarnya.

Baca Juga: Trafficking di Jatim, Mayoritas Pelaku Orang Dekat

Topik:

  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya