Wisni Indarto, Founder Saung Batik WDrupadi (instagram.com/wisni_wdrupadi)
Ketika ditanya perihal proses tersulit sepanjang menjalankan bisnisnya, Wisni menjelaskan bahwa mempertahankan atau menjaga para pengrajin merupakan hal tersulit. Pengrajin adalah pekerja seni yang bekerja menggunakan rasa. Gak menutup kemungkinan, pengrajin juga bisa merasa jenuh.
“Jadi saya lebih memacu ‘kalian kalau mau dapat penghasilan banyak ya kerjanya harus banyak’. Dengan begitu, akhirnya mereka juga terpacu. Saya juga tetap memperhatikan kalau misalnya ada keluarga yang sakit atau dianya sakit,” pungkasnya.
Wisni juga bercerita bahwa Saung Batik WDrupadi ini memiliki sentuhan yang berbeda. Khususnya untuk teknik menjahit dan pemilihan kain, semuanya menggunakan teknik dan bahan yang klasik. Ia mengatakan bahwa setiap kebaya kutubaru produksinya itu limited edition.
Selain itu, ia juga berusaha mempertahankan keutuhan kain karena tergolong kain lawasan atau langka. Katanya, "Ini saya mencoba untuk mempertahankan keutuhan kain. Kalau kain tulis dipotong itu rasanya gimana gitu.. Akhirnya saya berpikir keras bagaimana caranya saya desain untuk bisa jadi bagus seperti dipotong padahal utuh. Saya sedang mencoba terus cari inovasi produk dari kain batik yang tanpa dipotong. Atasannya masih mempertahankan kutubaru."
Beberapa kutubaru produksinya juga terinspirasi dari gaya busana Ibu Tien Soeharto. Istri presiden Soeharto ini memang terlihat selalu memakai kutubaru dalam berbagai kesempatan. Hal ini mendorong Wisni untuk mencari kain batik dengan motif yang serupa.
Hanya ada satu kutubaru untuk setiap size. Kain yang dipilih pun juga kain yang betul-betul terlihat klasik dan berbahan chiffon. Material chiffon ini merupakan kain tekstil yang bertahan lama dan bisa wariskan ke anak cucu. Sampai sekarang, Wisni juga masih mengenakan kebaya milik neneknya yang sudah bertahun-tahun.
Teknik jahit yang digunakan untuk finishing adalah teknik sum atau teknik jahitan tersembunyi. Teknik ini dikerjakan dengan tangan sehingga jahitan terlihat rapi dan tidak keluar dari kain. Potongan bajunya pun pasti ada kerah setali ke atas sebagaimana kutubaru pada umumnya.
Kata Wisni, “Jadi ketika pembeli membeli kutubaru dari kami itu ada sentuhan tangan yang dikerjakan satu per satu. Ada jahitan mesin tapi akhir jahitannya itu di-sum. Memang teknik klasik, tapi saya ingin mengajarkan bahwa dengan sum ini kita dilatih soal kesabaran dan ketekunan. Nah, kedua hal itu yang saya ingin tanamkan ke para pengrajin. Bukan hanya sekadar menjual, tapi ada value dalam proses pembuatan yang kita tanamkan."
Dalam perjalanan mengenal kutubaru dan batik ini, Wisni juga belajar tentang kesabaran dan ketelatenan. Ia melihat bahwa orang yang membuat batik adalah orang yang belajar tentang kedua hal tersebut. Sebabnya, kini ia lebih menghargai proses suatu karya itu tercipta.