Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Wisni Indarto, Founder Saung Batik WDrupadi (instagram.com/wisni_wdrupadi)

Di tengah derasnya arus tren fashion, ternyata masih ada orang yang begitu peduli dengan warisan bangsa. Pasalnya, Millennial dan Gen Z kerap dihadapkan dengan banyaknya tren fashion kekinian sehingga belum banyak orang yang konsisten mengenakan batik. Nyatanya, hal ini tidak berlaku untuk Wisni Indarto.

Kecintaannya pada kutubaru dan batik, membawa Wisni menempuh perjalanan mencari jati diri sebagai perempuan Indonesia. Berawal dari memakai kutubaru dan batik sebagai baju sehari-hari, akhirnya Wisni melebarkan sayapnya dengan membuka bisnis Saung Batik WDrupadi.

Pernahkah menemukan seseorang yang hanya mengenakan kutubaru dan batik setiap hari? Itulah yang dilakukan Wisni untuk menanamkan kecintaan terhadap batik pada masyarakat Indonesia. Melalui diskusi hangat dengan IDN Times pada Senin (21/3/2022), Wisni Indarto pun berbagi pandangannya tentang batik dan kisah inspiratif di balik bisnisnya.

1. Komplain dari suami membuat Wisni akhirnya menjatuhkan hati pada kebaya kutubaru

Wisni Indarto, Founder Saung Batik WDrupadi (instagram.com/wisni_wdrupadi)

Apa yang dilakukannya saat ini tentu gak lepas dari keresahan di masa lalu. Awal mula Wisni berlabuh pada kebaya kutubaru dan jarit batik, karena ia selalu merasa salah kostum dalam setiap kesempatan.

“Permasalahannya, saya sering merasa salah kostum kalau pakai baju ke mana-mana. Apalagi mau berangkat pergi terus merasa udah rapi dan bagus. Tapi pasangan minta saya untuk ganti baju, katanya ini gak bagus. Suami saya sebenarnya sangat peduli terhadap apa yang saya pakai,” tuturnya.

Ketika beralih ke kutubaru dan batik, justru Wisni merasa lebih nyaman dan mendapatkan pujian dari suami. Akhirnya, ia merasa semakin tertarik dengan kutubaru berkat kesederhanaan cutting dan pola baju. Banyak orang yang menganggapnya aneh tapi Wisni meyakini bahwa ini cuma persoalan kenyamanan saja

Wisni juga menyadari bahwa kutubaru ini adalah pakaian tradisional perempuan Indonesia yang sebenarnya bisa digunakan pada segala momen. Dengan cutting yang simpel, kutubaru mudah disesuaikan dengan jarit warna apa pun.

“Kalau kita pergi dari acara formal dan langsung ke non formal juga masih oke. Dari kesederhanaan cutting dan polanya, itu yang bikin saya tertarik dan lebih nyaman. Saya merasa perempuan Indonesia ini punya potongan baju yang mudah dikenali dan menarik,” ujarnya.

Saat ini, sudah terhitung 9 tahun Wisni memadukan kebaya kutubaru, jarit batik, dan sneakers sebagai busana sehari-harinya. Entah itu di rumah, bekerja, atau sesederhana ke pasar, Wisni tetap tampil percaya diri dengan gaya klasik ini. Bahkan, lemari bajunya nyaris gak ada baju lain.

“Kalau boleh jujur sejak tahun 2013, di lemari saya hanya ada kutubaru, jarik, dan pakaian olahraga karena memang saya suka olahraga,” ucapnya.

“Saya merasa lebih percaya diri dan merasa gak terlihat tua. Saya menghadirkan kutubaru tidak terlihat kuno. Orang kalau belum siap pake jarit, kutubaru itu bisa dipadukan dengan jeans. Itu masih terlihat bagus, kasual. Beda dengan potongan kebaya yang penuh payet. Itulah kenapa saya memutuskan memilih benang merahnya kutubaru karena gak lekang oleh waktu,” imbuh Wisni.

2. Perjalanan karier Wisni menunjukkan bahwa apa yang kita pelajari dengan apa yang kita temui di lapangan itu bisa saja berbeda

Editorial Team

Tonton lebih seru di