5 Fakta Alat Musik Marawis, Warisan Budaya yang Masih Digemari

Alat musik marawis merupakan instrumen tradisional yang tumbuh dari budaya Islam dan memiliki penyebaran luas di Indonesia, khususnya di wilayah Betawi. Marawis kerap dimainkan dalam acara keagamaan dan budaya, dengan bentuk serta teknik khas yang mencerminkan nilai-nilai spiritual dan sosial.
Marawis tak sekadar alat musik pengiring pertunjukan, tapi juga sarana menyampaikan pesan keagamaan dan nilai spiritual. Instrumen ini menciptakan suasana khusyuk sekaligus meriah dalam berbagai acara seperti pengajian, pernikahan, dan festival budaya. Berikut penjelasan lengkap tentang asal-usul hingga komponen penting alat musik marawis.
1. Alat musik marawis berkembang dari Timur Tengah hingga Betawi

Awal mula alat musik marawis bisa ditelusuri hingga ke wilayah Timur Tengah, khususnya Kuwait. Marawis masuk ke Indonesia melalui jalur dakwah ulama dari Hadramaut, Yaman, yang menyebarkan ajaran Islam di Nusantara sejak abad ke-19. Madura menjadi salah satu tempat pertama di mana seni marawis dipraktikkan, lalu berkembang pesat ke wilayah Bondowoso di Jawa Timur karena tingginya minat masyarakat terhadap seni ini.
Pengaruh budaya Betawi membuat alat musik marawis tidak hanya menjadi bagian dari ibadah atau ritual religi, tetapi juga menjelma menjadi sarana hiburan khas masyarakat urban Muslim. Penggabungan nilai religi, budaya Timur Tengah, dan karakter lokal Betawi menjadikan marawis sebagai bentuk seni musik yang sangat unik, berenergi, serta penuh makna. Dalam pertunjukannya, lirik-lirik yang dinyanyikan mengandung pujian kepada Nabi Muhammad SAW dan doa-doa yang penuh harap.
2. Bentuk alat musik marawis mencerminkan akulturasi antara budaya Arab dan lokal

Secara fisik, alat musik marawis terdiri dari beberapa instrumen utama yang masing-masing memiliki peran spesifik. Instrumen ini meliputi hajir (gendang besar), marawis (gendang kecil), dumbuk pinggang, darbuka atau caltiq, simbal, hingga tamborin. Hajir memiliki diameter sekitar 45 cm dan tinggi mencapai 70 cm, terbuat dari kayu dengan dua sisi tertutup kulit hewan. Biasanya dimainkan satu orang dan menghasilkan suara dasar yang berat dan dalam.
Marawis, instrumen yang juga menjadi nama dari keseluruhan kelompok alat ini, berbentuk gendang kecil berdiameter 20 cm. Suara marawis lebih nyaring dan biasanya dimainkan oleh beberapa orang sekaligus dengan teknik tanya-jawab, menghasilkan harmoni ritmis yang kompleks. Dumbuk pinggang dan darbuka menambah lapisan tekstur suara yang unik. Bentuknya menyerupai jam pasir dan biasanya dikenakan di pinggang pemain. Kedua alat ini memberi nuansa tempo cepat yang menyemarakkan suasana.
3. Jenis pukulan marawis menjadi penentu suasana dalam pertunjukan

Alat musik marawis tidak hanya soal bentuk dan komposisi alat, tapi juga teknik memainkan yang sangat khas. Dalam seni marawis dikenal tiga jenis pukulan utama, yakni zapin, sarah, dan zahefah. Setiap jenis pukulan memiliki tempo dan irama yang berbeda serta digunakan sesuai suasana lagu atau acara.
Zapin biasanya digunakan saat pertunjukan lagu-lagu yang bernuansa ceria dan penuh semangat, seperti saat pembukaan festival. Irama zapin lebih ringan dan mengalun. Sebaliknya, pukulan sarah lebih cocok untuk momen sakral, misalnya saat mengarak pengantin dalam pernikahan Islami. Sementara itu, zahefah digunakan untuk lagu-lagu pujian dalam majelis taklim atau haul, dengan nada yang lebih spiritual dan menghentak. Variasi teknik pukulan ini membuat alat musik marawis tidak monoton dan mampu menghadirkan dinamika emosional yang luas.
4. Peran marawis dalam acara keagamaan dan budaya tidak tergantikan

Keberadaan alat musik marawis dalam kehidupan masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, memiliki fungsi sosial yang signifikan. Marawis tidak hanya tampil sebagai musik hiburan, tapi juga bagian dari tradisi religi. Dalam acara keagamaan seperti Maulid Nabi, Isra Miraj, hingga pengajian rutin, marawis berperan menghidupkan suasana sekaligus menyampaikan dakwah secara musikal.
Selain itu, marawis juga populer dalam perhelatan budaya, lomba-lomba antar grup marawis, hingga pentas seni sekolah. Keterlibatan alat musik marawis dalam berbagai kegiatan ini membuktikan eksistensinya yang tetap kuat dan relevan. Bagi generasi muda, belajar memainkan alat musik marawis bisa menjadi cara menjaga warisan budaya sekaligus menanamkan nilai-nilai keislaman sejak dini.
5. Membutuhkan kekompakan dan teknik bermain yang terkoordinasi

Satu hal yang membuat alat musik marawis menarik adalah kebutuhan akan kekompakan dari seluruh pemainnya. Biasanya, satu grup marawis terdiri dari sepuluh hingga dua belas orang. Setiap pemain memegang alat musik yang berbeda dan memainkan ritme yang telah disusun agar saling melengkapi. Tidak ada improvisasi bebas karena semua harmoni harus dibangun secara kolektif.
Koordinasi yang kuat dalam grup marawis mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dalam Islam. Setiap pukulan harus sinkron, saling mengisi dan tidak tumpang tindih. Inilah alasan mengapa alat musik marawis tidak hanya soal musikalitas, tapi juga melatih disiplin dan kerja sama. Keselarasan ini juga menjadi kunci utama agar pertunjukan marawis bisa memukau penonton dan menyampaikan pesan religius secara optimal.
Alat musik marawis tidak sekadar alat perkusi biasa, melainkan cerminan dari perjalanan budaya yang menyatukan nilai spiritual, identitas lokal, serta ekspresi seni yang khas. Sebagai warisan yang lahir dari perpaduan budaya Timur Tengah dan lokal Indonesia, alat musik marawis berhasil bertahan dan tetap diminati di era modern. Oleh karena itu, menjaga dan mempelajari alat musik marawis bukan hanya upaya pelestarian, tapi juga penghormatan terhadap kearifan budaya nenek moyang.