5 Tanda Kamu Terjebak dalam Performa Maskulinitas

Performa maskulinitas (performative masculinity) adalah ketika seorang pria merasa harus tampil atau bersikap sesuai dengan standar masyarakat tentang “laki-laki sejati”. Misalnya: harus kuat, tegas, dominan, gak cengeng, dan gak boleh kelihatan lemah. Bukan karena memang dirinya seperti itu, tapi karena merasa dituntut untuk seperti itu, demi diterima atau dihargai.
Fenomena ini banyak terjadi di lingkungan keluarga, pertemanan, tempat kerja, bahkan media sosial. Yang berbahaya, performa ini sering dilakukan terus-menerus tanpa disadari, hingga akhirnya membentuk identitas palsu yang jauh dari keaslian diri. Nah, berikut ini adalah 5 tanda umum bahwa kamu mungkin sedang terjebak dalam performa maskulinitas dan kamu gak sendirian.
1. Kamu takut tampil rentan, bahkan di depan orang terdekat

Apakah kamu merasa sulit untuk mengungkapkan perasaan ke orang lain bahkan sahabat atau pasangan sendiri? Misalnya saat kamu lagi stres, sedih, atau patah hati, kamu malah memilih bilang, “Gue gak papa kok,” padahal sebenarnya kamu ingin didengar. Ini bisa jadi tanda kamu terjebak dalam keyakinan bahwa pria sejati harus kuat dan tahan banting setiap saat.
Sayangnya, menahan emosi seperti ini bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Lama-lama kamu bisa merasa kosong, tertekan, bahkan kesepian di tengah keramaian. Padahal, menunjukkan kerentanan bukan berarti lemah justru itu adalah bentuk keberanian yang sebenarnya. Semua orang, termasuk laki-laki, butuh ruang untuk jujur tentang apa yang mereka rasakan.
2. Kamu menilai diri dari seberapa “Sukses” kamu secara sosial

Kalau kamu sering merasa tidak cukup sebagai pria karena belum punya mobil, gaji besar, atau pasangan ideal, itu bisa jadi kamu sedang mengukur maskulinitas dari standar sosial eksternal. Performa maskulinitas mendorong laki-laki untuk selalu membuktikan nilai dirinya lewat pencapaian, materi, dan pengaruh.
Masalahnya, standar seperti itu tidak pernah ada ujungnya. Selalu ada orang yang lebih kaya, lebih tampan, lebih "jantan". Dan kalau kamu terus-menerus membandingkan diri, kamu gak akan pernah merasa cukup. Hidup jadi seperti lomba tanpa garis finish. Padahal, jadi laki-laki tidak harus dicetak dari pencapaian. Nilai diri datang dari bagaimana kamu memperlakukan diri sendiri dan orang lain bukan dari barang yang kamu punya.
3. Kamu takut melakukan hal-hal yang dianggap “Feminin”

Mungkin kamu suka nonton film drama, masak, atau pakai skincare, tapi kamu sembunyikan itu dari teman-teman karena takut dibilang “kurang laki”. Atau kamu ingin memakai baju warna cerah, tapi kamu urungkan karena takut diejek. Ini adalah tanda kamu menjalani hidup bukan karena pilihan, tapi karena takut keluar dari “naskah laki-laki” yang dibuat masyarakat.
Hal-hal yang sering dianggap feminin sebenarnya adalah bagian alami dari hidup manusia. Merawat diri, mengekspresikan perasaan, atau tertarik pada hal-hal lembut bukan monopoli satu gender. Ketika kamu menahan diri untuk hal-hal yang kamu sukai hanya demi menjaga citra maskulin, kamu bukan sedang “jadi laki-laki” kamu sedang kehilangan dirimu sendiri.
4. Kamu merasa harus selalu dominan atau berkuasa

Pernah merasa perlu untuk selalu memimpin, paling vokal, atau yang paling “berani” dalam kelompok? Performa maskulinitas sering mendorong laki-laki untuk mendominasi situasi agar terlihat kuat dan disegani. Tapi dominasi bukanlah satu-satunya bentuk kepemimpinan, dan bukan ukuran sejati dari kejantanan.
Rasa harus selalu tampil superior ini bisa membuat kamu kehilangan empati, sulit membangun relasi yang sehat, bahkan mendorong perilaku agresif. Padahal, mendengarkan, bekerja sama, dan mengakui kesalahan adalah tanda kedewasaan yang jauh lebih bernilai. Menjadi laki-laki bukan tentang menguasai orang lain, tapi menguasai diri sendiri.
5. Kamu terus-menerus takut “gagal jadi laki-laki”

Performa maskulinitas menciptakan ketakutan terus-menerus: takut terlihat lemah, takut kalah dari pria lain, takut tidak dihormati. Mungkin kamu sering merasa gelisah ketika tidak memenuhi ekspektasi tertentu, seperti tidak berani mengambil risiko, tidak punya pengalaman seksual, atau tidak tampil “macho” di mata orang lain.
Hidup dalam ketakutan seperti ini melelahkan, karena kamu selalu merasa ada yang harus dibuktikan. Tapi siapa sebenarnya yang kamu coba buktikan semua itu? Kalau kamu merasa harus terus “bermain peran” untuk diterima, mungkin sudah waktunya berhenti dan mulai bertanya: apa yang sebenarnya kamu inginkan dari hidup ini, sebagai dirimu yang otentik?
Menjadi laki-laki tidak harus selalu tegar, dominan, dan “maskulin” menurut standar sempit masyarakat. Kamu berhak menjadi versi dirimu yang jujur yang bisa merasa, bisa lemah, dan bisa berubah. Melepaskan performa maskulinitas bukan berarti kehilangan jati diri sebagai pria, tapi justru menemukan siapa kamu sebenarnya, tanpa topeng dan tekanan.