Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Toxic Masculinity yang Sering Dijadikan Standar pada Pria

Ilustrasi stres(pexels.com/Andrea Piacquadio)

Terlepas dari siapa pencetus dan kapan toxic masculinity muncul, tak bisa dipungkiri kalau hal itu dipercaya oleh orang-orang bahkan menurun hingga sekarang ini. Yaitu tentang ketetapan sosial yang dibuat untuk laki-laki, baik itu perihal penampilan fisik, sifat yang dimiliki, sampai kedudukannya di masyarakat yang dianggap harus dimiliki oleh laki-laki. Pemikiran yang sempit sekali, tapi bagi yang percaya pada hal itu dan terbawa arus oleh standar sosial mau tak mau menjadikan hidupnya tidak bahagia. Dan beberapa toxic masculinity konon dijadikan standar untuk laki-laki, simak pembahasannya berikut ini beserta akibat dari setiap poinnya.

1. Laki-laki gak boleh mengeluh dan menangis

Ilustrasi stres(pexels.com/Alex Green)

Pertama, kamu mungkin gak asing dengan yang satu ini karena hampir semua orang menerapkannya pada laki-laki, yaitu anggapan bahwa laki-laki gak boleh ngeluh dan menangis. Kalau laki-laki mengeluh malah dicap lemah, dan kalau menangis malah dianggap cengeng dan tidak sepantasnya laki-laki melakukannya. Dampak toxic masculinity ini bisa berpengaruh pada mental dan membuat pria jadi terbiasa untuk menutup diri dan tidak mengekspresikan dirinya secara terbuka.

2. Harus mampu mendominasi dan disegani sekitar

Ilustrasi bos dan karyawan(pexels.com/August De Richelieu)

Standar tentang laki-laki harus menjadi pemimpin, memiliki kuasa dan disegani sekitarnya juga merupakan bagian dari toxic masculinity. Yang mana pada akhirnya menetapkan standar kalau siapapun yang terlahir sebagai laki-laki harus bisa menjadi dominan. Akibatnya banyak sekali laki-laki yang berlomba untuk menjadi nomor satu pada segala hal karena ia merasa itulah jati dirinya sebagai pria.

3. Sikapnya ke orang lain gak boleh lembut-lembut, nanti gak kelihatan jantan!

Ilustrasi bersikap kasar(pexels.com/Keira Burton)

Gak semua laki-laki mengalaminya, namun sebagian laki-laki mengalami toxic masculinity ini. Yaitu seperti ketetapan mutlak kalau laki-laki gak boleh bersikap lembut ke orang lain atau gak bakal kelihatan jantan. Kebanyakan orang dewasalah yang mengajarkan hal ini pada anak-anak. Tujuannya mungkin agar dia bisa menjaga diri sendiri dan tidak menjadi bahan bully, tapi akibatnya justru dialah yang kemungkinan menjadi pembully. Bersikap kasar, menindas, tidak memperhatikan sikapnya dengan baik karena berpikir seperti itulah lelaki sejati seharusnya.

4. Mesti berani dengan hal menantang dan berisiko

Ilustrasi balapan(pexels.com/Michal Hudcovic)

Yang keempat ini bisa dibilang toxic masculinity yang paling parah dan fatal akibatnya, yaitu laki-laki harus berani dengan hal menantang dan berisiko. Entah itu balapan, kegiatan outdoor ekstrim seperti panjat tebing, berenang di laut dalam, atau hal-hal lainnya yang berisiko tinggi. Hal ini sangatlah berbahaya karena bisa mengancam keselamatan diri sendiri, dan jangan pernah mau kalau hal ini dijadikan standar oleh orang sekitarmu untuk pengakuan jati dirimu sebagai lelaki. Percayalah kalau tanpa hal-hal ekstrim pun jati dirimu sebagai laki-laki tak akan berkurang.

5. Laki-laki gak semestinya mengurus rumah, tugasnya cuma kerja dan cari duit

Ilustrasi kerja(pexels.com/Andrea Piacquadio)

Ada banyak banget orang yang menjadikan hal ini sebagai standar diri seorang pria. Padahal kalau bicara soal mencari nafkah dan penghasilan, perempuan pun bisa melakukannya. Selain itu juga ada dampak buruknya, yaitu laki-laki jadi tidak tahu bagaimana mengurus rumah dan mengurus dirinya sendiri karena yang dia tahu cuma kerja. Miris banget, apalagi kalau tiba-tiba harus hidup sendirian dan mesti mandiri. 

Lima toxic masculinity tadi biasa dijadikan orang-orang sebagai standar diri seorang pria, yang mana dampak dan akibatnya sendiri justru malah membahayakan. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
afifah hanim
Editorafifah hanim
Follow Us