6 Alasan Kamu Merasa Underachiever padahal Sudah Berprogres, Pahami!

Ada perasaan yang tidak mudah digambarkan saat kamu sudah berjalan sejauh ini, tapi tetap merasa ada ketertinggalan. Kamu sudah menyelesaikan tugas-tugasmu, menaikkan kualitas hidup sedikit demi sedikit, bahkan mengurangi kebiasaan buruk yang dulu membuatmu kecewa pada diri sendiri, tetapi tetap saja, rasa bahwa kamu belum cukup berhasil itu muncul, perlahan-lahan merayap, dan bertahan lama.
Situasi ini membuatmu merasa seperti underachiever, meskipun sebenarnya kamu sudah berprogres jauh ke depan. Bisa jadi, nih, ada enam alasan di balik perasaan tersebut. Enam hal yang membuat kamu tak kunjung merasa cukup, meski kenyataannya kamu tidak berhenti grow-up. Mau tahu apa saja?
1. Kamu mengukur diri dengan timeline orang lain

Naluri sebagai underachiever sering muncul saat kamu tidak membandingkan dirimu dengan dirimu yang dulu, malah dengan versi orang lain yang kamu lihat di media sosial atau dalam kehidupan nyata, nih. Timeline hidup mereka, misalnya pekerjaan, relasi, pencapaian finansial terlihat lebih cepat, lebih mulus, lebih stabil dalam pandanganmu.
Padahal, kamu tidak tahu konteks perjalanan mereka secara utuh, kok. Apa yang tampak sebagai hasil instan mungkin melewati proses panjang yang saat itu tidak kamu lihat. Jikalau kamu lebih sering berkata “Seharusnya aku sudah…” daripada “Sudah sejauh ini aku…”, bisa jadi kamu sedang menjadikan hidup orang lain sebagai ukuran validasi dirimu, nih. Hal itu bisa membuat rasa berhasilmu selalu tertunda.
2. Kamu mengabaikan progres yang tak terlihat

Tidak semua progres bisa diabadikan atau diceritakan dengan satu kalimat penghargaan. Kadang, nih, progres hadir dalam bentuk yang subtil, yaitu kemampuan menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan, keputusan untuk menyembuhkan pola relasi yang toksik, keberanian mengakui kesalahan masa lalu tanpa malu.
Semua itu tidak menghasilkan sertifikat, promosi, atau rupiah dalam rekening bank, tapi sangat penting dalam membentuk dirimu yang lebih dewasa dan sadar. Yups, masih banyak orang merasa seperti underachiever karena mereka hanya menghitung pencapaian eksternal dan mengabaikan proses internal yang sering kali lebih sulit dijalani.
3. Kamu terlalu dekat dengan prosesmu sendiri

Kalau diibaratkan lukisan, nih, saat kamu berproses, kamu sedang melihat lukisan dari jarak terlalu dekat dan kamu hanya melihat goresannya, bukan gambaran utuhnya. Kamu tahu semua keraguan, kelelahan, penundaan, kegagalan, dan kemunduran kecil yang kamu alami selama proses. So, kamu merasa bahwa perjalananmu tidak seberharga itu.
Padahal, siapa tahu, nih, orang lain mungkin melihatmu dan menganggapmu inspiratif, kok. Bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu bertahan. Terlalu dekat dengan perjalanan sendiri bisa membuatmu bias terhadap apa yang telah kamu capai selama ini. Well, jarak emosional terkadang dibutuhkan supaya kamu bisa melihat progres dengan lebih jernih.
4. Kamu mengira achievement harus selalu spektakuler

Di dunia yang memuja produktivitas, kita sering dibuat sering salah paham bahwa yang disebut pencapaian haruslah spektakuler, luar biasa, dan diakui banyak orang. Padahal tidak semua pencapaian harus berisik, kok.
Nah, keputusan untuk berhenti dari pekerjaan yang membuatmu mati rasa, atau keberanian memulai ulang hidup di kota yang baru sudah termasuk pencapaian besar, meskipun tanpa ucapan selamat dari siapa pun. Ketika kamu mengaitkan definisi berhasil hanya pada pengakuan sosial, kamu akan merasa underachiever terus-menerus, karena pencapaianmu yang paling autentik justru sering kali bersifat pribadi dan sunyi.
5. Kamu masih terjebak mentalitas "belum cukup"

Rasa tidak pernah cukup bisa menjadi penjara psikologis yang berbahaya. Ketika kamu berhasil mencapai sesuatu, kamu langsung memindahkan targetmu ke garis yang lebih jauh. Alih-alih merayakan, kamu mengkritik diri: “Kenapa cuma segini?”, “Kenapa nggak bisa lebih cepat?”, atau “Tapi orang lain bisa lebih hebat.”
Mentalitas ini membuat kamu merasa stagnan meski sebenarnya kamu naik. Setiap keberhasilan diikuti oleh tekanan baru. Padahal rasa cukup tidak datang dari jumlah pencapaian, tetapi dari kemampuan mengakui dan menghargai langkah yang sudah kamu ambil. Kalau tidak belajar mengendalikannya, mentalitas ini akan membuatmu merasa underachiever seumur hidup.
6. Kamu tidak memberi ruang untuk refleksi

Kadang kamu terlalu sibuk mengejar, sampai lupa berhenti sejenak untuk melihat apa yang sudah kamu lewati. Kamu langsung lompat dari satu target ke target berikutnya, tanpa waktu untuk meresapi proses. Tanpa refleksi, progresmu jadi kabur. Yang tampak hanya ketidakpuasan, bukan pertumbuhan.
Refleksi bukan kemewahan, ia adalah kebutuhan. Menuliskan jurnal, berbincang dengan orang yang kamu percaya, atau sekadar duduk tanpa distraksi bisa membuatmu lebih sadar bahwa kamu tidak berjalan di tempat. Justru kamu sudah berpindah jauh, hanya saja belum sempat melihatnya.
Merasa underachiever bukan berarti kamu salah atau terlalu lemah, kok. Perasaan itu manusiawi, terutama di dunia yang penuh perbandingan dan tekanan untuk selalu menjadi lebih dari sebelumnya. Tapi kamu tidak harus terus mempercayai perasaan itu sepenuhnya, ya. Kadang, yang perlu dilakukan hanyalah melihat ke belakang dan mengakui bahwa kamu pernah berada di titik yang lebih gelap dan sekarang kamu tidak lagi di sana.