Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pasangan yang memiliki trauma (freepik.com/freepik)

Intinya sih...

  • Masih terjebak dalam kenangan masa lalu, sering membandingkan orang baru dengan mantan pasangan, sulit hadir sepenuhnya di hubungan yang baru.

  • Enggan menunjukkan kerentanan, selalu menjaga jarak dan menutup diri terhadap perasaan sendiri, sulit membangun koneksi yang mendalam.

  • Menghindari komitmen atau kejelasan relasi, tidak ingin terburu-buru dalam mendefinisikan kedekatan yang sedang dijalani, menyebabkan ketidakpastian yang melelahkan secara emosional.

Dalam membangun suatu hubungan romantis, kesiapan emosional menjadi aspek yang sangat menentukan keberlangsungan relasi tersebut. Sebuah hubungan yang sehat bukan hanya dibangun dari rasa suka semata, melainkan juga dari kesiapan kedua belah pihak untuk membuka hati, menghadapi dinamika emosional, dan bersikap dewasa terhadap perbedaan. Banyak orang yang terlihat menarik di permukaan, namun belum sepenuhnya pulih dari masa lalu atau memahami perasaannya sendiri.

Beberapa orang terlihat hangat, ramah, dan menyenangkan saat pertama kali dikenali. Mereka mudah tertawa, memberikan perhatian, dan terkesan ingin membangun kedekatan lebih jauh. Namun, dalam kenyataannya, belum tentu orang tersebut benar-benar siap untuk masuk ke dalam hubungan yang serius. Kondisi semacam itu dapat menyebabkan hubungan yang dijalani menjadi tidak stabil.

Agar hubunganmu yang kamu jalin tidak sia-sia, yuk simak ketujuh ciri emosional yang menunjukkan gebetanmu belum siap hubungan baru berikut ini. Let’s scroll down!

1. Masih terjebak dalam kenangan masa lalu

ilustrasi pasangan yang memiliki trauma (freepik.com/drobotdean)

Seseorang yang belum siap secara emosional cenderung masih terikat secara psikologis dengan masa lalunya. Ini bisa terlihat dari bagaimana dia sering menyebut mantan kekasihnya, baik dalam konteks positif maupun negatif. Ketika cerita-cerita masa lalu terlalu mendominasi percakapan, ini menandakan bahwa emosinya masih tertambat pada hubungan yang sudah berakhir. Hal ini membuatnya sulit hadir sepenuhnya di hubungan yang baru.

Selain itu, mereka juga kerap membandingkan orang baru dengan mantan pasangan. Perbandingan ini bisa muncul secara halus atau tidak disadari, namun menciptakan suasana yang tidak sehat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa standar atau ekspektasi emosionalnya masih disusun berdasarkan pengalaman lama.

2. Enggan menunjukkan kerentanan

ilustrasi pasangan yang memiliki trauma (freepik.com/freepik)

Kesiapan emosional berkaitan erat dengan kemampuan untuk menunjukkan kerentanan. Dalam konteks relasi, seseorang yang mampu berbagi tentang perasaan, ketakutan, atau kelemahannya menunjukkan bahwa ia siap untuk terbuka dan membentuk keintiman emosional. Sebaliknya, jika seseorang tampak selalu menjaga jarak, menghindari topik-topik pribadi, dan menutup diri terhadap perasaan sendiri, ini menjadi tanda bahwa ia belum siap menghadapi kedekatan yang sesungguhnya.

Ketidakmampuan untuk terbuka ini sering kali bersumber dari rasa takut terluka kembali. Orang tersebut mungkin merasa nyaman berbagi hal-hal ringan atau menyenangkan, tetapi segera menarik diri saat pembicaraan mulai masuk ke ranah emosional. Ini menimbulkan hambatan dalam membangun koneksi yang mendalam dan membuat hubungan menjadi dangkal. Tanpa keterbukaan dan kejujuran emosional, sebuah hubungan akan sulit berkembang secara sehat.

3. Menghindari komitmen atau kejelasan relasi

ilustrasi pasangan yang memiliki trauma (freepik.com/yanalya)

Sikap menghindar dari pembicaraan tentang komitmen adalah indikator kuat dari ketidaksiapan emosional. Seseorang yang belum siap menjalin hubungan biasanya tidak ingin terburu-buru dalam mendefinisikan kedekatan yang sedang dijalani. Ia cenderung menggunakan frasa seperti “mengalir saja” atau “tidak perlu diburu-buru” sebagai cara untuk menunda kejelasan. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan ketidakpastian yang melelahkan secara emosional.

Ketika ditanya secara halus tentang arah hubungan, mereka juga mungkin memberikan jawaban yang ambigu atau bahkan mengalihkan pembicaraan. Hal ini menunjukkan bahwa secara batin, mereka belum bisa melihat diri mereka berada dalam satu ikatan emosional yang stabil. Ketidaksiapan ini bukan berarti mereka tidak menyukai pasangan barunya, tetapi lebih kepada ketakutan akan tanggung jawab dan perubahan yang datang bersama komitmen.

4. Emosinya tidak stabil dan mudah berubah-ubah

ilustrasi pasangan yang memiliki trauma (freepik.com/rawpixel.com)

Perubahan suasana hati yang ekstrem atau tidak menentu bisa menjadi tanda bahwa seseorang belum memiliki kestabilan emosional. Mereka bisa tampak sangat hangat dan dekat di satu waktu, lalu menjadi dingin dan menjauh tanpa alasan yang jelas. Ketidakstabilan ini menciptakan kebingungan dan bisa menguras energi emosional pasangan yang mencoba memahami perubahan sikap tersebut.

Orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri sering kali menghadapi konflik batin yang tidak terlihat dari luar. Ia mungkin merasa ingin dekat, namun sekaligus takut kehilangan kendali atas dirinya. Keadaan ini memicu tarik-ulur emosional yang terus berulang. Dalam jangka panjang, hubungan semacam ini bisa sangat melelahkan dan memicu perasaan tidak dihargai bagi pihak yang mencoba mempertahankan kejelasan dan konsistensi.

5. Cenderung menjadikan hubungan sebagai pelarian

ilustrasi pasangan yang memiliki trauma (freepik.com/tirachardz)

Hubungan yang sehat lahir dari keinginan untuk berbagi hidup, bukan sekadar mengisi kekosongan. Namun, seseorang yang belum siap secara emosional sering kali masuk ke dalam relasi bukan karena dorongan kasih sayang yang tulus, melainkan untuk menghindari rasa sepi, luka batin, atau tekanan hidup. Ia mencari pelipur lara alih-alih pasangan sejati, dan ini membuat relasi tersebut penuh ketergantungan emosional yang tidak sehat.

Saat relasi dijadikan pelarian, maka hubungan tersebut mudah goyah ketika ekspektasi emosional tidak terpenuhi. Orang yang belum siap ini akan mudah kecewa atau merasa tidak cukup mendapat dukungan, bahkan ketika hubungan masih berada di tahap awal. Hubungan semacam ini biasanya tidak berlangsung lama, atau jika berlanjut, akan menciptakan dinamika yang tidak seimbang di mana satu pihak merasa terlalu dibebani secara emosional.

6. Kurang antusias dalam merencanakan masa depan bersama

ilustrasi pasangan yang memiliki trauma (freepik.com/freepik)

Salah satu indikator kesiapan dalam menjalin hubungan adalah keterlibatan dalam merencanakan masa depan, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Orang yang siap secara emosional akan memperlihatkan ketertarikan dan antusiasme saat berbicara tentang kegiatan bersama, perencanaan perjalanan, atau bahkan kemungkinan menjalani kehidupan sebagai pasangan yang lebih serius. Sebaliknya, orang yang belum siap akan menghindari pembicaraan semacam ini atau menanggapinya dengan datar.

Kurangnya antusiasme ini mencerminkan bahwa dalam pikirannya, relasi yang sedang dijalani belum dianggap sebagai sesuatu yang bermakna atau memiliki arah yang jelas. Ia masih hidup di momen sekarang tanpa benar-benar membayangkan keberadaan pasangannya di masa depan. Hal ini membuat hubungan terasa tidak berkembang. Ketiadaan harapan bersama membuat fondasi relasi menjadi rapuh dan tidak memiliki arah yang konkret.

7. Sering mengutamakan diri sendiri dalam dinamika emosional

ilustrasi pasangan yang memiliki trauma (freepik.com/yanalya)

Hubungan yang matang melibatkan empati dan kemampuan untuk menyeimbangkan kepentingan diri sendiri dengan pasangan. Namun, orang yang belum siap menjalin hubungan sering kali masih berpusat pada dirinya sendiri, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam mengekspresikan perasaan. Ia lebih peduli pada kenyamanan pribadinya, dan cenderung mengabaikan kebutuhan emosional pasangan. Ini menjadi tanda bahwa ia belum mampu menjalani relasi yang saling mendukung secara emosional.

Sikap semacam ini bukan selalu menunjukkan sifat egois, melainkan lebih kepada ketidaksiapan untuk berbagi ruang emosional dengan orang lain. Ia belum terbiasa mempertimbangkan perasaan orang lain dalam setiap langkahnya, dan lebih suka menjaga zona nyamannya sendiri. Dalam hubungan jangka panjang, sikap ini akan menyulitkan karena membentuk ketidakseimbangan yang membuat satu pihak merasa terabaikan dan tidak dihargai secara emosional.

Membaca emosi orang lain dengan peka dan jujur bukanlah tindakan menghakimi, melainkan bentuk perlindungan diri dan penghargaan terhadap arti sebuah relasi. Relasi yang sehat selalu dimulai dari dua orang yang sama-sama siap, bukan dari satu pihak yang berharap dan satu pihak yang belum selesai dengan masa lalunya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAgsa Tian