7 Hal tentang Throning, Kencan demi Status Bukan Cinta

- Throning mengutamakan citra, bukan perasaan
- Berisiko menyebabkan kelelahan emosional
- Muncul dari tekanan sosial dan budaya populer
Throning menjadi fenomena yang ramai dibahas di media sosial dan kalangan psikolog. Istilah ini menggambarkan sebuah pola kencan yang lebih didasari status atau citra sosial dibandingkan cinta sejati. Banyak orang melakukan throning tanpa menyadarinya, terutama dalam lingkungan urban yang menempatkan status sebagai prioritas.
Fenomena ini memunculkan berbagai dampak baik dari sisi psikologis maupun hubungan interpersonal. Menariknya, throning seringkali dianggap sebagai bentuk kompromi dalam mencari pasangan yang dianggap ideal secara sosial. Apakah kamu termasuk yang pernah melakukannya tanpa sadar? Yuk, cari tahu hal menariknya!
1. Throning mengutamakan citra, bukan perasaan

Throning terjadi saat seseorang menjalin hubungan dengan orang lain semata-mata untuk meningkatkan citra dirinya di mata lingkungan sekitar. Dalam hubungan ini, pasangan dijadikan sebagai simbol status, bukan sebagai individu yang dicintai. Hal ini membuat hubungan menjadi lebih seperti pertunjukan daripada keintiman yang tulus.
Motivasi utama pelaku throning biasanya berasal dari kebutuhan pengakuan dan validasi dari orang lain. Mereka ingin dianggap sebagai bagian dari kalangan tertentu atau menampilkan citra yang mereka anggap sukses. Akibatnya, aspek emosional dalam hubungan cenderung diabaikan dan digantikan oleh aspek pencitraan.
2. Berisiko menyebabkan kelelahan emosional

Menjalani hubungan throning seringkali membuat seseorang mengalami kelelahan emosional yang cukup berat. Hal ini terjadi karena mereka terus menerus menampilkan citra yang bukan diri mereka sebenarnya. Kelelahan ini bisa berujung pada stres, kecemasan, bahkan depresi.
Ketika hubungan yang dijalani penuh kepura-puraan, pelaku throning bisa kehilangan identitas dirinya sendiri. Mereka terlalu sibuk memenuhi ekspektasi lingkungan hingga melupakan kebutuhan pribadi. Kondisi ini membuat hubungan menjadi tidak sehat dan rentan berakhir dengan kekecewaan mendalam.
3. Muncul dari tekanan sosial dan budaya populer

Throning berkembang pesat di era media sosial yang mengedepankan pencitraan. Banyak orang merasa perlu menunjukkan pasangan yang dianggap ideal menurut standar masyarakat. Tekanan ini semakin kuat dengan hadirnya budaya populer yang menampilkan kisah cinta penuh glamor dan status.
Lingkungan pergaulan yang kompetitif juga menjadi pemicu seseorang melakukan throning. Mereka ingin diakui sebagai bagian dari kelompok elit atau memiliki pasangan yang mendongkrak citra sosialnya. Sayangnya, dorongan ini sering membuat hubungan terjebak pada kepalsuan yang sulit dihindari.
4. Memicu kecenderungan memanipulasi diri sendiri dan orang lain

Pelaku throning cenderung memanipulasi citra diri dan orang lain demi mempertahankan hubungan yang dianggap 'bernilai'. Mereka bisa mengubah gaya hidup, cara bicara, bahkan cara berpikir agar sesuai dengan ekspektasi pasangan atau lingkungan. Ini membuat keaslian diri mereka tergerus secara perlahan.
Selain itu, mereka juga bisa menuntut pasangan untuk tampil sesuai citra yang diinginkan. Hubungan seperti ini tidak memberikan ruang untuk kejujuran dan penerimaan. Pada akhirnya, kedua belah pihak hanya menjadi aktor dalam sandiwara yang melelahkan.
5. Bisa menimbulkan krisis identitas

Karena terbiasa menjalani hubungan yang penuh pencitraan, pelaku throning berisiko mengalami krisis identitas. Mereka sulit membedakan antara diri yang asli dengan diri yang ditampilkan di depan umum. Hal ini membuat mereka merasa kosong dan kehilangan arah.
Krisis identitas yang berkepanjangan bisa mempengaruhi kepercayaan diri dan harga diri seseorang. Mereka merasa tidak cukup baik jika tidak bersama pasangan yang bisa meningkatkan status sosialnya. Dampaknya, mereka bisa terjebak dalam siklus throning yang sulit diputus.
6. Hubungan yang dibangun rentan tidak bertahan lama

Hubungan yang dijalani karena alasan status cenderung tidak memiliki fondasi yang kuat. Ketika status sosial yang diidamkan sudah tercapai atau tidak lagi relevan, hubungan akan mudah goyah. Banyak pasangan throning yang akhirnya berpisah karena tidak ada ikatan emosional yang mendalam.
Selain itu, hubungan semacam ini juga rawan konflik karena penuh dengan tuntutan dan harapan yang tidak realistis. Ketika salah satu pihak merasa tidak lagi mendapatkan keuntungan sosial, mereka bisa memilih untuk mengakhiri hubungan secara tiba-tiba. Ini bisa meninggalkan luka emosional yang mendalam bagi kedua pihak.
7. Mencegah throning dengan kesadaran diri yang kuat

Langkah pertama untuk menghindari throning adalah dengan meningkatkan kesadaran diri. Kenali motivasi kamu dalam menjalin hubungan dan tanyakan pada diri sendiri, apakah kamu mencari cinta atau hanya status? Kejujuran pada diri sendiri menjadi kunci utama agar kamu terhindar dari jebakan throning.
Selain itu, penting juga untuk membangun kepercayaan diri yang tidak bergantung pada pasangan atau lingkungan. Saat kamu merasa cukup dengan dirimu sendiri, kamu akan lebih mudah menjalin hubungan yang sehat dan autentik. Hubungan yang dibangun atas dasar cinta dan penghargaan, bukan semata-mata citra sosial.
Menjalani hubungan yang tulus memang butuh proses dan keberanian. Namun, hasilnya jauh lebih memuaskan dibandingkan hubungan yang hanya didasarkan pada pencitraan. Saat kamu mulai memprioritaskan keaslian diri, hubungan yang kamu bangun pun akan terasa lebih hangat dan bermakna.