Shaggydog: Refleksi Seperempat Abad dan Romantisme di Sayidan

Menelanjangi aktivitas di Sayidan

Semester kedua 2022 nampaknya jadi waktu yang cukup sibuk bagi Shaggydog dalam empat tahun terakhir. Band bergenre ska ini harus mondar-mandir ke pelbagai kota di Indonesia untuk manggung.

Harus melancong ke Jakarta (akhir Juli 2022) untuk tampil di festival Guinness Smooth Session, mereka kembali ke Yogyakarta karena mentas di Indonesia Costum Show. Setelah itu, Shaggydog kembali mondar-mandir, mulai dari Bali, kembali ke Ibu Kota, pulang ke Yogyakarta sampai penghujung tahun.

Walau membuat badan terasa remuk, show yang dijalani Bandizt dan kolega tetap terasa nikmat. Alih-alih kehabisan tenaga karena dikoyak usia, energi mereka selalu bertambah saat mentas di depan para penggemarnya.

Maklum, sudah lama sekali mereka tak merasakan adrenalin di panggung. Sudah tiga tahun, aktivitas nge-band Shaggydong terganggu oleh pandemik yang melanda tanah air. Alhasil, mereka senang bisa kembali hidup dari panggung ke panggung.

“Rasanya senang ya [manggung lagi] sebagai sebuah band pasti. Aku pikir band lain juga punya perasaan yang sama setelah pandemik hampir tiga tahun. Sekarang kami bisa balik manggung lagi, menghibur lagi, menghibur rekening yang kosong terutama,” kata Heru, vokalis Shaggydog, diikuti tawa rekan-rekannya.

Antusiasme Shaggydog semakin bertambah, karena bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-25 di Jakarta. Semua penggemar guyub, berjingkrak, menunjukkan darah muda nan militan, masuk ke dalam lubuk tembang-tembang Shaggydog.

Usia seperempat abad bagi Shaggydog begitu spesial. Sebab, banyak hal yang sudah dilalui bersama sejak band ini berdiri. Untuk menandainya, mereka mengusung tema “Be25ulang.” Kata itu dinilai sebagai makna untuk merayakan sesuatu dan angka 25 pas untuk diselipkan di dalamnya.

“Kebetulan kami kadang-kadang bersulang untuk merayakan sesuatu dengan menghangatkan tubuh. Makannya kata bersulang pas untuk Shaggydog untuk perayaan kali ini,” ujar vokalis yang punya nama beken Heruwa, menjawabnya dengan kelakar.

Diselingi candaan, Heru antusias bercerita soal perjalanan Shaggydog hingga bisa seperti sekarang. Yang jadi pertanyaan, kenapa band ini memilih memainkan musik ska? Padahal saat itu jenis musik ini masih jadi terminologi atau genre asing di skena musik bawah tanah. 

Heruwa tak menampik, genre ska mulai mafhum lantaran anak punk yang lebih dulu memperkenalkannya di skena bawah tanah. Ska sebagai sebuah terminologi atau genre, masih terdengar asing kala itu, lantaran lambatnya literasi musik di tanah air dan arus informasinya tak sekencang sekarang.

Musik dengan sentuhan ska mulai dikenal skena punk usai Rancid, band asal Berkeley, Amerika Serikat, merilis album anyar berjudul And Out Come the Wolves pada tahun 1995. Sentuhan musik berbeda dalam lagu berjudul “Time Bomb” hingga “Old Friend”, masih terdeskripsikan sebagai musik ala-ala reggae. 

Beberapa band punk dunia pun mulai membuat lagu punk bernuansa ska, laiknya NOFX yang merilis lagu berjudul “Scavenger Type” hingga beberapa band lainnya. Musik tersebut mengingatkan pada lagu-lagu yang dibawakan Madness atau The Specials yang sudah hadir di dekade 70-an akhir.

Secara sengaja, band-band tersebut juga acap kali didengar Heruwa beserta Bandizt hingga Raymond yang sekolah di SMA yang sama. Setiap senggang, mereka nongkrong, bernyanyi sambil memainkan pelbagai lagu dengan gitar bolong, termasuk lagu band-band di atas.

Lama-kelamaan, mereka mulai serius mengulik setiap lapis lagu-lagu band yang diidolai itu. Mereka pun akhirnya mengajak Richard, Lilik, dan Yoyok, membentuk koloni musik yang dipayungi nama Shaggydog.

Kesulitan mencari referensi di era pra-internet

Shaggydog: Refleksi Seperempat Abad dan Romantisme di SayidanHeruwa, vokalis Shaggydog saat menceritakan perjalanan seperempat abad band yang masih belum lekang digerus zaman. (IDN Times/Athief Aiman)

Bukan perkara mudah bagi Shaggydog bisa memainkan musik di masa jelang runtuhnya orde baru. Mengusung musik ska, mereka merasakan sulitnya mengakses informasi, terutama soal musik-musik yang jadi referensi. Maklum, arus informasi era pra-internet ini masih begitu terbatas.

Tak hilang akal, Shaggydog tetap mencari tahu lebih jauh soal ska melalui berbagai alternatif. Heru menyebut, anak-anak rela merogoh kocek Rp15-20 ribu pada saat itu hanya untuk bisa berselancar di dunia maya, mencari tahu roots ska. Itu pun koneksinya masih sangat lambat.

Mereka juga saling tukar informasi dengan pelaku skena musik di Jakarta hingga Bandung untuk dapat referensi baru. Mereka saling meminjam katalog kaset dan CD, majalah-majalah musik subkultur atau ska punk, sampai kegiatan rekam-merekam.

“Waktu itu juga belum ada marketplace seperti sekarang. Kami mengorder [mail order] dengan uang dolar. Kami menyelipkannya menggunakan karbon yang hitam agar uang tidak ter-scan di Mesin X-Ray untuk kita kirim ke New York untuk beli [compact disk] CD,” ujar Heru mengingat kembali bagaimana Shaggydog mencari tahu soal musik ska.

“Itupun datangnya sebulan kemudian dari New York, kan record store [termasuk Moon Ska Record] itu dari luar negeri kebanyakan kan, untuk referensi musik-musik yang kami mainkan. Salah satunya seperti itu,” lanjut dia. 

Shaggydog melakukan itu karena bukanlah orang beruntung yang acap kali pelesiran ke luar negeri untuk membeli CD, majalah dan fashion item bak don juan. Mereka harus punya banyak akal untuk mencari tahu soal musik-musik yang disukai.

Tak sekadar eksplorasi musikalitasnya, para personel Shaggydog pun menguliti semua yang punya kaitan dengan roots ska. Mereka berdandan dengan kemeja pantai atau kotak-kotak, flat cap, docmart, hingga sneakers sebagai fashion statement untuk ditunjukkan ke khalayak.

"Jika ada band yang kami suka, misalnya The Specials. Itu kami lihat mereka pakai baju apa, mereka sepatunya apa, harus kami ikuti. Dia naik motor apa, kita cari Lambreta. Lalu kami cari mereka ter-influence dari band mana turunannya. Kami gak asal nge-band dan tahu yg kami mainkan," ujarnya.

Shaggydog: Refleksi Seperempat Abad dan Romantisme di SayidanPersonel Shaggydog dalam wawancara eksklusif bersama IDN Times. (IDN Times/Aldila Muharma).

Shaggydog memang tak ujug-ujug tenar dengan genre musik yang mereka usung. Walau sudah dibekali modal oke untuk menggarap sebuah lagu, mereka tak langsung pede membawakan musik sendiri sejak pertama kali lahir pada 1 Juni 1997. 

Heruwa cs. Mondar-mandir dari gigs kecil underground dengan membawakan lagu-lagu idolanya selama beberapa tahun. Mereka baru meluncurkan album pertamanya pada tahun 1999, saat gerbang milenium baru akan dibuka. Mereka merilisnya sendiri albumnya di bawah naungan label sendiri bernama Doggy House.

Dengan judul yang sama dengan nama band-nya, Shaggydog sepakat menyebut musik yang dimainkan sebagai “Doggy Style.” Nama tersebut diambil lantaran musik mereka diklaim memiliki unsur musik jazz, swing, reggae, rock, selain ska yang jadi benang merahnya.

“Campur saja. Jadi dari pertama kali [bermusik] kami mengusung ska tradisional. Setelah itu masing-masing dari kami kan memiliki influense sendiri-sendiri. Jadi pas penggarapan musik di studio [rekaman], kami memasukkan semua unsurnya. Jadi unsurnya di dalam Shaggydog itu enggak semua ska, ada punk, rock and roll, ada pop, macam-macam di situ,” ujar Richard.

Tak disangka, rilisan perdananya ini langsung menghentak skena musik bawah tanah. Sebanyak 20 ribu kopi berhasil terjual lewat jalur indie, dari tangan ke tangan. Mereka pun sibuk mentas sana-sini di fesitval musik hingga konsernya sendiri, berbarengan dengan eskalasi musik ska di tanah air.

Namun, kejayaan itu tak bertahan lama. Shaggydog juga terkena imbas dari degradasi “booming ska.” Komunitas hingga band-band lokal mulai tergerus satu per satu. Banyak yang menilai jika pasar mulai jenuh dan musik ska sudah kehilangan marwahnya akibat banyak yang keluar dari pakem. 

Namun, Shaggydog tak pernah mau hengkang dari roots mereka. Tak mempedulikan tren yang sedang naik, mereka tetap menelurkan karya-karya baru walau berdarah-darah. Hal itu yang membuat karakter musik mereka tetap kuat dan bisa dinikmati banyak orang.

“Pasang surut jelas ada. Awal musik yang kita bawakan kan ska ya. Dulu sempat hits banget terus turun, tapi kami tetap bertahan,” ujar Bandizt.

Jika bicara soal lagu-lagunya, Shaggydog memang punya magis dalam menyihir para pendengarnya. Siapa pun tak tahan untuk berjingkrak dan sing along ketika band asal Yogyakarta ini beraksi di panggung. Pekik penggemer acap bersahutan bak menyanyikan anthemic song.

Jika dikuliti satu demi satu lagu yang sudah diciptakan, Shaggydog memang punya karakter dengan lirik yang mudah dihafal dan dinyanyikan. Namun, mereka mengaku tak punya pakem yang harus diikuti dalam setiap proses kreatif pembuatan karya.

Heruwa misalnya, dia mengaku tak punya resep rahasia dalam menggarap lirik. Dia biasanya menulis apa yang muncul dari inspirasi yang dirasakan. Temanya pun tak melulu harus sama, tergantung dari yang dirasakan pada saat itu saja untuk dituangkan dalam sebuah karya.

Hal serupa pun dilakukan personel Shaggydog lainnya dalam menggarap setiap musiknya. Hingga tak terasa, mereka melahirkan enam album studio, dan beberapa rilisan single telah mengisi daftar diskografi band. Hampir semuanya pun punya kesan yang baik dari para pendengarnya. 

Romantisme di Sayidan

Di Yogyakarta, terdapat perkampungan yang begitu ikonik. Posisinya hanya berjarak 1,5 kilometer sebelah timur titik nol kota. Berada tepat di pinggir Sungai Code, kampung tersebut bernama Sayidan.

Menilik latar belakangnya saja, Sayidan ini punya sejarah cukup panjang. Kampung yang secara administratif berada di Kelurahan Pawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, konon dulunya merupakan pemukiman warga keturunan Arab.

Dilansir yogyakarta.go.id,  nama Sayidan sendiri diambil dari orang-orang keturunan Arab yang disebut Sayid. Lama-kelamaan masyarakat pun mulai mengenal lokasi kampung itu dengan nama Sayidan. Identitas tersebut tak berubah hingga orang-orang keturunan itu menghilang.

Di balik sejarah nama yang unik, Sayidan tak ada bedanya dengan perkampungan lain yang diisi hiruk-pikuk masyarakat. Namun, ada hal lain yang membuat Heru, Richad, Raymond, Bandizt, Lilik, dan Yoyo merasa tempat itu sangat istimewa. Sebab, Sayidan jadi tempat sejarah kelahiran Shaggydog

Dengan modal gitar bolong di tongkrongan, Shaggydog mulai menjadikan Sayidan laboratorium musik. Mereka pun membuat karya yang sangat populer di kalangan penggemar musik ska tanah air berjudul “Di Sayidan.” Lagu ini jadi anthemic song yang wajib diyanyikan setiap kali mereka manggung.  

“Itu lagu sakral buat kami. Ya, maksudnya lagu itu kan menggambarkan tempat kelahiran Shaggydog. Lagu Di Sayidan kalau gak dibawakan dalam satu pentas itu bisa terjadi kerusuhan, mungkin hahahaha,” ujar Heru sambil tertawa.

Lagu tersebut dibuat oleh Bandizt, basis Shaggydog yang merupakan anak asli Sayidan. Dia terinspirasi membuat lagu tentang kampungnya saat lapen sedang digandrungi remaja di Yogyakarta. Maklum, budaya alkohol jadi bagian penting pergerakan anak muda saat itu.

Bandizt yang kala itu membuat lagu dalam keadaan setengah sadar, hanya menghapal bait demi bait di kepalanya. Dia pun menawarkan lagu ini kepada personel Shaggydog lainnya. Tanpa hambatan, mereka pun menggarap musik “Di Sayidan.”

Namun, saat proses penggarapan, beberapa lirik mengalami perubaha dari aslinya. Menurut Heruwa hal itu dilakukan lantaran hits single dari album Hot Dogz yang rilis pada 2003 silam, harus mengalami penyesuaian agar lebih mudah diterima.

“Diramu dari buah-buahan, lalu dijadikan minuman. Bisa untuk mabuk-mabukan, riang bersama teman-teman,” nyanyi Heruwa mengikuti nada ‘Di Sayidan” karya Pakde Bandizt.

Lirik itu mengalami perubahan atas masukan Heruwa agar bisa masuk ke radio-radio, tanpa mengotak-atik maknanya. Lagu itu pun kini populer di tanah air, lantaran asyik karena syair yang mudah diingat dan gampang dinyanyikan.

Shaggydog pun tak menyangka, lagu itu kini dipakai ibu-ibu hingga Polda Yogyakarta untuk senam. Hal itu menunjukkan lagu “Di Sayidan” bisa diterima dan memberikan sinergi yang baik untuk semua lapisan masyarakat.

Shaggydog: Refleksi Seperempat Abad dan Romantisme di SayidanPakde Bandizt, bassist Shaggydog saat menceritakan perjalanan seperempat abad bandnya kepada IDN Times. (IDN Times/Athief Aiman)

Shaggydog tak mau lupa akar

Karya Shaggydog memberikan dampak besar dalam perkembangan kampung Sayidan. Tempat itu menjelema jadi tempat lahirnya komunitas musik yang mempengaruhi perjalanan musisi indie di Yogyakarta, bahkan Indonesia.

Namun, seiring perginya Shaggydog dan Doggy House dari Syaidan ternyata membuat perkampungan itu berubah, layaknya sejarah permukiman Arab yang mulai hilang digerus zaman. 

Kini, tak ada lagi jejak anak-anak yang berdandan punk atau skinhead dengan rambut pelontos hingga mohawk di sepanjang gang gelap itu. Tak ada lagi kerumunan remaja dengan gitar yang menyukai band-band subkultur seperti saat Bandizt dkk. Membangun mimpi.

Peninggalan Shaggydog di sana hanya rumah milik Bandizt, Richard, dan keluarganya saja. Padahal, tempat tinggal mereka dulu jadi markas anak-anak muda yang punya imajinasi liar cangkruk. 

Bandizt tak menampik, Shaggydog memberikan pengaruh pada aktivitas anak-anak muda. Tak pelak, dia bersama band-nya ingin menghidupkan kembali marwah Sayidan. Walau sulit menghidupkan kembali aktivitas di sana, Shaggydog setidaknya masih bisa membantu anak-anak muda berkarya.

Mereka pun kini membantu musisi-musisi muda yang idealis untuk bisa merilis sebuah karya. Kebetulan, Shaggydog memiliki record label bernama Doggy House Record. 

“Kebetulan kami ada record lebel yang membantu merilis musisi under radar. Kami membantu mereka yang gak tau merilis sebuah karya, bagaimanba caranya masuk platform digital. Doggy House Recod membantu hal seperti itu,” ujar Heruwa.

Shaggydog melakukan itu lantaran tak merasa sebagai sebuah band besar yang memberikan pengaruh pada skena musik. Bagi mereka, regenerasi dan memberikan kesempatan kepada junior bakal memberikan perkembangan bagi komunitas atau kelompok.

Itu jadi sebagian kecil refleksi Shaggydog yang sudah menapaki usia seperempat abad. 

Lebih jauh dari itu, Yoyo tak pernah berpikir jika perjalanan Shaggydog bakal sampai sejauh ini.  Bersama Richad, Raymond, Bandizt, dan Lilik, dirinya hanya menjalani aktivitas bermusik layaknya berada dalam togkrongan. 

“Karena diawalinya dengan pertemanan dan nongkrong saja, sampai ke mana-mana akhirnya seperti keluarga. Kami tak pikirkan soal 25 tahun. Yang penting jalani yang kami suka. Tahu-tahu sudah 25 tahun saja, dan terus berlanjut seperti biasanya,” kata Yoyok, penabuh drum Shaggydog.

“Dan, ini benar-benar ada yang jadi keluarga. Tadinya kan teman biasa saja, jadi adek-kakak (ipar) ini si Richard sama Bandizt,” lanjut dia, sambil tertawa lepas.

Shaggydog memanglah sebuah fenomena. Tak peduli tren apapun yang muncul, mereka tetap punya karakter sendiri. Berapapun usianya, mereka bakal berada di roots yang sama, mengajak para pencintanya untuk berdansa.

Baca Juga: Shaggydog Rayakan 25 Tahun dengan Pameran Arsip dan Konser, Timeless!

Topik:

  • Wahyu Kurniawan
  • Ilyas Listianto Mujib
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya