Joyland Sessions 2025: Atmosfer Baru yang Memberi Magis

- Joyland Sessions 2025 di Taman Kota GBK menampilkan musisi lokal dan internasional dengan konsep intim namun berenergi besar.
- Penampilan musisi seperti Ali, Galdive, Luna Li, Soccer Mommy, dan TV Girl memberikan pengalaman musik yang mendalam dan memuaskan.
- Kurasi matang, produksi rapi, dan kualitas pertunjukan yang tak dikompromikan membuat Joyland Sessions 2025 menjadi festival musik terkurasi paling cermat di Indonesia.
Ada sesuatu yang selalu membuat Joyland berbeda, yakni cara ia merayakan musik tanpa tergesa-gesa. Tanpa perlu LED raksasa atau gimmick bombastis, festival ini hidup dari atmosfer, sejenis rasa kebersamaan yang lahir dari rumput, angin, dan musik yang dipilih dengan cermat.
Dan pada hari kedua Joyland Sessions 2025 di Taman Kota GBK, Minggu (30/11/2025), perasaan itu kembali hadir, utuh dan hangat.
Tak salah rasanya festival musik ini dianggap jadi salah satu program musik paling bernas di tanah air. Mengusung konsep intim namun berenergi besar, rangkaian penampil memperkaya lanskap musik lokal dan internasional.
Tahun ini, Joyland Sessions tampil sebagai “versi mini” Joyland Festival yang sedang rehat, namun tetap dengan kurasi matang, produksi rapi, dan kualitas pertunjukan yang tak dikompromikan.
Hari kedua, ketika unit musik Ali naik panggung, matahari nyaris menyentuh horizon. Cahaya keemasan seperti menjadi latar visual yang diciptakan khusus untuk musik mereka, perpaduan funk, groove gurun, dan aroma melodic timur tengah yang membuat penonton bergerak tanpa diminta.
Ali membuka atmosfer dengan ledakan groove yang khas. Membawa nuansa arabic funk yang telah dibungkus dalam hits dance, Habibi, Malaka, hingga Pulse dan Al Jonoub. Hal itu menggugah penonton untuk berdansa kecil di antara semilir angin sore.
Arswandaru (vokal dan bass) menyapa penonton dengan hangat, menegaskan kebahagiaan kembali mengisi line-up Joyland.
“Senang sekali bisa kembali merasakan panggung Joyland,” kata Arswandaru.
Didukung John Paul Patton (drum) dan Absar Lebeh (gitar), Ali tampil eklektik dengan warna Timur Tengah yang kental, namun mudah dicerna.
Penampilan Ali ditutup dengan energi tinggi melalui Orient, Abhyad Aswad, dan Grand Voyage, meninggalkan resonansi funk yang masih menggantung bahkan setelah mereka turun panggung.
Selain Ali, beberapa musisi lokal seperti Thee Marloes, Reality Club, dan tentunya Galdive, memberikan intensitas padat dalam pergelaran Joyland Sesssions kali ini. Terlebih, unit musik yang terakhir disebutkan, baru pertama kali mentas di Indonesia.
Duo Tanisha dan Osvaldorio, yang selama ini lebih dikenal melalui panggung internasional, akhirnya menyapa publik Indonesia dalam formasi penuh. Dengan musik bertaut antara R&B, elektropop, dan sentuhan jazz, Galdive membuka sesi dengan Crazy Driving dan Tell Me, menghadirkan atmosfer lembut dan sinematik.
Tanisha, yang terlihat antusias sekaligus gugup, mengungkapkan sukacitanya tampil di depan keluarga sendiri. Hits andalan seperti Night Charade, Sweet Sugar Getaway, Pocket, Sway, hingga Bloom dan Teach Me How To Love mengalir tanpa jeda.
Sebelum menutup set, Tanisha membagikan lembar-lembar ilustrasi yang digambarnya, sebuah gestur intim yang menyempurnakan karakter mereka sebagai duo yang selalu personal di setiap pertunjukan.
Luna Li dan Soccer Mommy membuat panggung berganti warna

Malam di GBK City Park bergerak pelan seakan menunggu sesuatu yang tak bisa ditebak saat petang. Ketika Luna Li naik ke panggung, angin membawa suara kecil penonton, sementara cahaya panggung membentuk garis lembut di atas kepala.
Joyland Sessions 2025, yang sejak sore sudah dipenuhi antusiasme, dimanjakan penampilan elegannya saat membuka rangkaian penampilan musisi internasional di hari kedua. Dengan balutan suara halus yang berpadu elektronik lembut, ia membangun suasana yang melayang namun tetap berpijak.
Tiap lagunya terasa seperti jendela kecil ke dunia personalnya yang puitis, tenang, dan penuh detail emosi. Penonton berdiri rapat, mendengarkan hits 2516, Afterglow, Silver Into Rain, hingga I Imagine bukan untuk berjingkrak, tapi mendengar lebih dekat.
Ada semacam keheningan yang mengikat, membuat tiap nada serasa digantungkan dengan hati-hati di udara Senayan.
Beberapa jam kemudian, suasana berubah ketika Soccer Mommy (Sophia Regina Allison) mengambil alih panggung. Corak musik indie rock-nya mengalir dengan konsistensi yang tegas dan jujur.
Gitarnya menyayat lembut, dan vokalnya yang tenang menggulung kerumunan ke dalam gelombang nostalgia.
Dari atas panggung, ia menyajikan lagu-lagu yang selama ini banyak menemani pendengar di perjalanan pulang, saat hujan turun, atau ketika ingin berhenti sejenak dari hiruk-pikuk hari, seperti Circle The Drain, Shotgun, hingga Your Dog.
Penonton mengangguk mengikuti tempo, seolah ikut masuk ke ruang sunyi yang hanya dimiliki Soccer Mommy. Penampilannya menjadi jembatan emosional sebelum malam beranjak menuju puncaknya.
Ketika Sophia menutup set-nya, cahaya panggung berganti warna.

Suara pecahan elektornik ala TV Girl
Joyland Sessions 2025 pun mencapai puncaknya. Penonton yang sejak tadi memadati area, bergerak lebih maju. Waktu terasa berjalan lebih cepat menuju pukul 22.15 WIB, momen ketika TV Girl akhirnya menyentuh panggung Indonesia untuk pertama kalinya.
Judul-judul lagu Tv Girl memang sudah menempel di benak banyak orang, tapi melihat mereka muncul secara nyata menghadirkan getaran lain.
Tanpa basa-basi, TV Girl membuka dengan Pantyhose, hits andalan dari album French Exit. Pukulan pertama drum dan alunan sampler Roland SP-404 milik Brad Petering, senjata utama yang menjadi identitas sonik band ini, langsung memicu sorakan.
Suara pecahan elektornik era 1960-an melayang di udara, membentuk tekstur lo-fi yang selama ini hanya terdengar lewat headphone. Lalu tanpa jeda panjang, mereka mengalir ke Hate Yourself, Louise, dan Cigarettes Out the Window, membuat area festival berubah menjadi paduan suara spontan.
Setelah empat lagu, Brad mencondongkan tubuh ke mikrofon, memberi sapaan pertama malam itu.
“Halo semuanya, kami adalah TV Girl, Traveling International All-Star Band dari Los Angeles, California. Senang banget bisa tampil sebagai headliner di festival ini, terima kasih Jakarta sudah menyambut kami dengan begitu hangat,” ucapnya.
Penonton menjawab dengan sorak yang serempak, seolah melepas rindu pada band yang baru pertama kali mereka jumpai secara langsung.
Brad melanjutkan dengan gaya khasnya yang santai dan jenaka, sambil beirnteraksi dengan penonton yang ada di depan panggung.
“Tenang, kami nggak akan mengecewakan kalian. Kami ini entertainer profesional dari Hollywood.
"Pekerjaan kami cuma satu: bawain lagu-lagu hits yang kalian kenal, kalian suka, dengan gaya yang pasti kalian apresiasi. Jadi, tanpa basa-basi lagi, saya lempar ke teman saya, Wyatt. Wyatt, apa yang bakal kamu kasih buat kita sekarang? Kasih yang mantap, bro!” lanjut dia.

Begitu kalimat itu selesai, Wyatt Harmon langsung memainkan intro Birds Don’t Sing, membuat penonton melompat tanpa perlu aba-aba.
Selama satu jam, TV Girl membentangkan dunia mereka dengan ritme yang rapi. Lagu-lagu dari Who Really Cares seperti Not Allowed, Safeword, dan Loving Machine mengalir tanpa putus, masing-masing seperti bab dalam novel yang disusun dengan hati-hati.
Brad kembali menyapa di tengah set, kali ini dengan nada tulus yang membuat penonton tersenyum.
“Kalian punya negara yang luar biasa, beri tepuk tangan untuk diri kalian sendiri. Kami juga ingin bilang terima kasih banyak karena sudah menyambut kami dengan begitu hangat, begitu baik, dan tentu saja menyajikan makanan yang enak-enak,” beber dia.
Menjelang tengah malam, lampu panggung mulai meredup, memberi isyarat malam akan menutup dirinya sendiri. Dua encore yang sudah dinanti sejak sore akhirnya diberikan, Lovers Rock dan It Evaporates.
Dua lagu itu dinyanyikan dalam paduan suara ribuan orang, membuat langit Senayan serasa lebih rendah, lebih dekat. Ketika lagu terakhir rampung, Brad berdiri sedikit lebih lama dan menatap kerumunan yang belum ingin bubar.
“Terima kasih banyak semuanya, sampai di sini dulu penampilan dari TV Girl. Sampai jumpa lain waktu. Tuhan memberkati kalian. Terima kasih,” Kata-katanya runtuh lembut, menandai akhir malam yang tidak akan dengan mudah dilupakan.
Joyland Sessions 2025 benar-benar ditutup dengan perasaan hangat, melankolis, namun memuaskan. Luna Li memberi kehalusan, Soccer Mommy memberi kedalaman, dan TV Girl memberi ledakan terakhir yang menyatukan semuanya.
Esensi Joyland tak terletak pada kemegahan panggung, melainkan pada kurasi yang jujur

Kekuatan Joyland bukan hanya pada satu headliner, melainkan bagaimana mereka merangkai nama-nama pilihan menjadi pengalaman yang utuh dan memperkuat posisinya sebagai festival musik terkurasi paling cermat di Indonesia.
Nama-nama seperti The Pains of Being Pure at Heart, Soccer Mommy (Sophia Regina Allison), Luna Li, Oddisee, dan TV Girl menambah dinamika festival. Mereka hadir bukan sekadar sebagai pengisi jadwal, melainkan pembawa atmosfer baru yang membuat panggung Joyland terasa bergerak dari satu mood ke mood lain dengan halus.
Penonton disuguhi rasa tenang, nostalgia, hingga ledakan energi dalam balutan kurasi yang matang, sesuai komitmen sang Program Director Plainsong Live, Ferry Dermawan.
Sebelumnya, ia memastikan Joyland Sessions diperlakukan sebagai entitas berbeda dari Joyland Festival, namun dengan standar artistik yang tetap setinggi biasanya.
Meski skalanya lebih kecil dibanding Joyland Festival, Joyland Sessions 2025 menunjukkan bahwa kedekatan justru mampu memperkuat magis sebuah pertunjukan. Tidak ada jarak antara musisi dan penonton.
Gelaran pamungkas memberi pengingat jelas jika esensi Joyland tidak terletak pada kemegahan panggung, melainkan pada kurasi yang jujur dan hubungan emosional yang dibangun perlahan.
Ketika lampu panggung akhirnya meredup, Joyland Sessions 2025 meninggalkan jejak yang sulit hilang. Festival ini kembali memelihara magisnya secara pelan, konsisten, dan dengan cara yang hanya bisa dilakukan mereka.
Tahun ini, Joyland Sessions sekali lagi mengingatkan bahwa musik terbaik selalu lahir dari ketulusan, ruang yang lapang, dan penonton yang datang bukan hanya untuk melihat, tetapi untuk merasa.



















