Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mitos vs Fakta: Pria Harus Cepat Sukses Sebelum Usia 30

ilustrasi pria duduk
ilustrasi pria duduk (pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Mitos: sukses harus datang saat muda
    • Usia muda bukan satu-satunya jendela emas untuk berhasil
    • Kisah sukses dini adalah salah satu dari banyak jalur
    • Fakta: peta karier tiap orang berbeda
      • Dunia kerja tidak berjalan pada jalur lurus
      • Pengalaman yang terkumpul di usia matang menghasilkan keputusan presisi
      • Mitos: belum mapan sebelum 30 berarti tertinggal
        • "Mapan" itu konsep cair dan subjektif
        • Fokus membangun fondasi
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tekanan untuk “jadi seseorang” sebelum usia 30 makin terasa kuat di era media sosial. Timeline dipenuhi cerita karier melesat, bisnis sukses muda, dan pencapaian besar sebelum kepala tiga. Dari situ lahir standar tak tertulis bahwa pria yang belum mapan di usia 20-an dianggap terlambat. Padahal, realitas hidup jarang sesederhana unggahan foto kemenangan.

Setiap orang punya titik start, ritme, dan medan yang berbeda. Ada yang tumbuh cepat, ada yang matang perlahan. Menyamakan garis waktu justru sering memicu kecemasan berkepanjangan. Supaya tidak terjebak tekanan semu, mari bedah mana mitos dan mana fakta soal “harus sukses sebelum 30”.

1. Mitos: sukses harus datang saat muda

ilustrasi memperhatikan waktu datang ke tempat kerja (pexels.com/Thirdman)
ilustrasi memperhatikan waktu datang ke tempat kerja (pexels.com/Thirdman)

Narasi populer sering menonjolkan kisah sukses dini sebagai standar. Seolah-olah usia muda adalah satu-satunya jendela emas untuk berhasil. Jika lewat, peluang dianggap menutup. Pandangan ini membuat banyak pria merasa dikejar waktu.

Padahal, kisah sukses dini adalah satu dari sekian banyak jalur. Banyak faktor berperan, mulai dari kesempatan, dukungan, hingga konteks keluarga. Tidak semua orang berada di posisi yang sama untuk melesat cepat. Menjadikannya patokan tunggal jelas menyesatkan.

2. Fakta: peta karier tiap orang berbeda

ilustrasi pria duduk tegak
ilustrasi pria duduk tegak (pexels.com/cottonbro studio)

Dunia kerja dan kehidupan tidak berjalan pada satu jalur lurus. Ada yang menghabiskan 20-an untuk belajar, gagal, dan mencoba ulang. Ada pula yang menemukan arah justru setelah melewati banyak tikungan. Semua itu valid.

Pengalaman yang terkumpul di usia lebih matang sering menghasilkan keputusan yang lebih presisi. Kesuksesan yang datang setelah proses panjang biasanya lebih kokoh. Ia berdiri di atas pemahaman diri, bukan sekadar momentum. Dengan peta berbeda, garis finish pun tak seharusnya disamakan.

3. Mitos: belum mapan sebelum 30 berarti tertinggal

ilustrasi pria berjalan (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi pria berjalan (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Stigma ini kerap muncul dari perbandingan sosial. Melihat teman sudah stabil membuat yang lain merasa kalah langkah. Padahal, “mapan” itu konsep yang cair dan subjektif. Bagi sebagian orang, mapan berarti finansial; bagi yang lain, berarti arah hidup jelas.

Menganggap diri tertinggal hanya karena belum memenuhi definisi orang lain sering berujung salah arah. Alih-alih fokus membangun fondasi, energi habis untuk mengejar validasi. Padahal, fondasi yang kuat lebih menentukan keberlanjutan daripada kecepatan.

4. Fakta: usia 30-an sering jadi fase lonjakan

ilustrasi pria berjalan sambil mendengarkan lagu (pexels.com/grzegorz)
ilustrasi pria berjalan sambil mendengarkan lagu (pexels.com/grzegorz)

Banyak pria justru menemukan momentum besar setelah 30. Di fase ini, pemahaman diri lebih matang dan prioritas lebih jelas. Jaringan, jam terbang, dan kepercayaan diri juga mulai terbentuk. Kombinasi ini sering melahirkan lompatan signifikan.

Selain itu, risiko bisa dikelola lebih bijak. Keputusan tidak lagi impulsif, melainkan strategis. Kesuksesan yang berkembang di fase ini cenderung lebih stabil. Bukan soal terlambat, tapi soal siap.

5. Tekanan sosial bisa mengaburkan tujuan

ilustrasi pria bercermin (pexels.com/TIma Miroshnichenko)
ilustrasi pria bercermin (pexels.com/TIma Miroshnichenko)

Ekspektasi keluarga, lingkungan, dan media bisa menciptakan kecemasan yang tidak perlu. Pria merasa harus mencapai “checklist” tertentu demi dianggap berhasil. Akibatnya, tujuan hidup menjadi reaktif, bukan reflektif. Ini berbahaya untuk kesehatan mental dan arah jangka panjang.

Melepaskan tekanan bukan berarti kehilangan ambisi. Justru sebaliknya, ambisi menjadi lebih jujur dan terarah. Fokus berpindah dari terlihat sukses menjadi bertumbuh konsisten. Dari sini, keputusan yang diambil cenderung lebih tepat sasaran.

Mitos bahwa pria harus cepat sukses sebelum usia 30 tidak punya dasar yang kuat. Kesuksesan bukan lomba sprint dengan start seragam, melainkan maraton dengan rute berbeda. Yang menentukan bukan kapan tiba, tapi bagaimana fondasi dibangun sepanjang jalan.

Jika usia 20-an adalah fase eksplorasi, maka itu bukan kegagalan. Jika usia 30-an membawa kejelasan dan lompatan, itu wajar. Sukses yang sehat datang dari ritme yang selaras dengan diri sendiri. Dan dalam hidup, selaras selalu lebih berharga daripada cepat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Wahyu Kurniawan
EditorWahyu Kurniawan
Follow Us

Latest in Men

See More

5 Tips Perawatan Tubuh agar Terhindar dari Masalah Kulit Setelah Gym

09 Des 2025, 10:02 WIBMen