- Ketangguhan: Seorang pria diharuskan menjadi kuat secara fisik, tidak berperasaan, dan agresif dalam perilaku.
- Antifeminitas: Pria harus menolak perilaku yang terlihat lemah, seperti menunjukkan emosi dan menerima bantuan.
- Kekuasaan: Pria dihormati jika bekerja keras untuk memperoleh kekuasaan dan status.
Toxic Masculinity adalah Tekanan Budaya yang Tidak Sehat Bagi Pria

- Toxic masculinity membahayakan mental seorang pria, merujuk pada perilaku pria yang dianggap berlebihan dan berdampak negatif.
- Rendahnya inisiatif untuk menolong, karena pandangan bahwa perawatan diri hanya berlaku untuk perempuan.
- Cara mengatasi toxic masculinity melibatkan perubahan pola pikir individu dan norma-norma sosial.
Di tengah perkembangan kesetaraan gender, istilah toxic masculinity semakin sering diperbincangkan. Istilah ini merujuk pada tekanan budaya yang seolah tidak mengizinkan seorang pria lemah atau menangis. Pria selalu dituntutan untuk kuat secara fisik dan emosional.
Namun, bukannya berdampak baik, pandangan tersebut justru berdampak buruk bagi masyarakat maupun pria itu sendiri. Tak heran banyak pria yang enggan untuk terbuka terhadap perasaan mereka. Ingin tahu lebih dalam terkait toxic masculinity? Simak selengkapnya di bawah ini!
1. Toxic masculinity membahayakan mental seorang pria

Toxic masculinity sering di sebut juga harmful masculinity, merujuk pada perilaku pria dan orang-orang maskulin yang dianggap berlebihan dan berdampak negatif. Sebenarnya maskulin bisa menjadi sangat baik dan konstruktif ketika diekspresikan secara sehat. Sayangnya, banyak orang keliru memaknai arti sebenarnya dari maskulin.
Alih-alih menjadi hal positif, pandangan yang salah justru bisa membatasi dan bahkan merugikan pria itu sendiri. Maskulinitas mulai dianggap toxic ketika muncul anggapan bahwa "Pria sejati" tidak boleh terlihat lemah, sedih, atau rentan. Umumnya, toxic masculinity ini berakar pada tiga gagasan utama.
2. Rendahnya inisiatif untuk menolong

Toxic masculinity mengagungkan anggapan tidak baik bahwa perawatan diri atau medis hanya berlaku untuk perempuan. Tubuh pria diperlakukan untuk selalu kuat, tak kenal lelah, dan tetap memaksakan diri meski tubuhnya terluka.
Oleh sebab itu, sebagian pria menunda atau menolak mencari saran atau bantuan karena khawatir terlihat lemah atau pengecut. Studi tahun 2011 menemukan bahwa pria dengan pandangan maskulinitas kuat cenderung dua kali lebih jarang menjalani pemeriksaan kesehatan preventif dibanding mereka yang lebih moderat.
Selain itu, toxic masculinity juga menekankan bahwa pria tidak pantas untuk membicarakan perasaan. Tak heran banyak pria terlihat tertutup dan sulit mengekspresikan emosi mereka. Padahal, menekan perasaan justru bisa membuat seseorang merasa terisolasi dan kesepian.
3. Ciri-ciri toxic masculinity

Toxic masculinity bukan hanya muncul pada pria atau mereka yang mengidentifikasi diri sebagai maskulin, tapi juga siapa saja yang tanpa sadar memperlihatkan perilaku toxic masculinity. Berikut ciri-ciri toxic masculinity:
- Ketangguhan fisik tanpa syarat
- Menunjukkan agresi fisik
- Tidak mau berbagi emosi
- Menunjukkan diskriminasi terhadap orang yang bukan heteroseksual
- Mempraktikkan kemandirian yang berlebihan
- Menunjukkan agresi atau kekerasan seksual
- Menunjukkan perilaku anti-feminis
- Memperjuangkan heteroseksualitas sebagai norma yang tidak dapat diubah
- Bersikap kasar
- Menjadi dominan
- Memiliki ketidakpekaan emosional
4. Cara mengatasi toxic masculinity

Mengatasi toxic masculinity tidak semudah kelihatannya. Dibutuhkan proses kompleks yang melibatkan perubahan pola pikir individu dan norma-norma sosial. Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi toxic masculinity:
- Sadari dan terima bahwa setiap orang tidak sempurna dan jangan menyalahkan diri sendiri atas tindakan masa lalu.
- Jangan ragu untuk memulai pembicaraan terkait emosi atau perasaan kepada teman ataupun seseorang dengan genre berbeda.
- Latih dan ajarkan pria tentang rasa simpati dan empati kepada orang di sekitarnya.
- Ajarkan untuk menghargai wanita dan tidak merendahkan wanita.
Toxic masculinity sudah menjadi belenggu budaya yang membatasi potensi pria untuk menjadi manusia seutuhnya. Pria diharuskan untuk selalu kuat dan dilarang untuk menunjukkan kelemahannya. Oleh sebab itu, penting untuk melawan pandangan tersebut agar menciptakan lingkungan di mana pria merasa aman untuk mengekspresikan diri mereka.