Eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto ketika mengikuti rapat kerja dengan komisi IX di Kompleks Parlemen, Senayan pada 10 Desember 2020. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Ini bukan kali pertama Terawan 'berseteru' dengan IDI. Pada 2018, IDI menjatuhkan sanksi pemecatan sementara dari keanggotaan IDI. Di dalam surat yang ditujukan IDI kepada Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia (PDSRI), tertulis IDI memberhentikan sementara Terawan pada 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019.
Menurut Ketua MKEK IDI, dr. Prijo Pratomo, Sp. Rad, pihak IDI tak mempermasalahkan teknik terapi pengobatan Digital Substraction Angogram (DSA) yang dijalankan Terawan untuk pengobatan stroke. MKEK IDI menilai ada kode etik yang dilanggar.
Terawan disebut telah mengabaikan pasal empat dan enam kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki). Pada pasal empat tertulis bahwa "seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri". Terawan tidak menaati itu, dan kata Prijo, Terawan mengiklankan diri.
Padahal, ini adalah aktivitas yang bertolak belakang dengan pasal empat dan mencederai sumpah dokter. Sementara, pasal enam berbunyi "setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat."
Prijo menyebut MKEK IDI tak mengusik disertasi yang diajukan Terawan saat menjalani program doktoral di Universitas Hasanuddin. Tetapi, temuan metode cuci otak itu memicu perdebatan.
Ia menjelaskan temuan hasil penelitian akademik yang akan diterapkan pada pasien harus melalui serangkaian uji hingga layak sesuai standar profesi kedokteran. Bukan berarti yang sudah ilmiah secara akademik lantas ilmiah secara dunia medis.
"Ada serangkaian uji klinis lewat multisenter, pada hewan, in vitro, in vivo. Tahapan-tahapan seperti itu harus ditempuh," kata Prijo kepada media pada April 2018.