17 Oktober Jadi Hari Budaya Nasional, DPR Minta Klarifikasi ke Fadli Zon

- Puan tegaskan kebudayaan milik lintas generasi
- Fadli Zon klaim penetapan hari Kebudayaan Nasional 17 Oktober dengan pertimbangan mendalam
- Pakar hukum tata negara nilai penetapan Hari Kebudayaan Nasional bisa digugat ke PTUN
Jakarta, IDN Times - Ketua DPR Puan Maharani akan meminta Komisi X DPR memanggil Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menjelaskan alasan di balik penetapan hari Kebudayaan Nasional pada 17 Oktober. Penetapan tanggal itu menjadi polemik di ruang publik karena bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto.
"Jadi, nanti melalui komisi X kami akan minta untuk menerangkan dan menjelaskan apa dasar serta argumentasinya terkait dengan hal tersebut," ujar Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa (15/7/2025).
"Saya berharap bahwa Menteri Kebudayaan bisa menjelaskan argumentasinya sebaik-baiknya," lanjut dia.
Penjelasan dari kader Partai Gerindra itu ditunggu publik, sebab penetapan itu sudah menjadi tanda tanya bagi publik. Ia tak ingin ada polemik baru dari penetapan hari kebudayaan nasional secara sepihak oleh Kementerian Kebudayaan.
"Karena kebudayaan merupakan milik seluruh rakyat dan ini adalah terkait dengan hal-hal yang berkaitan dengan lintas generasi dan lintas zaman," kata perempuan yang juga menjabat sebagai Ketua DPP PDIP itu.
1. Puan tegaskan kebudayaan milik lintas generasi

Lebih lanjut, Puan mengingatkan bahwa kebudayaan bukan hanya untuk kelompok tertentu, tetapi milik seluruh rakyat, lintas generasi dan lintas zaman.
"Jadi, jangan sampai itu bersifat inklusif ataupun eksklusif dan ini enggak boleh kemudian tanpa dasar (penetapannya)," ujar Puan.
2. Fadli Zon klaim penetapan hari Kebudayaan Nasional 17 Oktober dengan pertimbangan mendalam

Sementara, Menteri Kebudayaan, Fadli Zon mengungkapkan alasannya menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Ia mengklaim pemilihan tanggal yang kebetulan sama dengan hari lahir Prabowo sudah dengan pertimbangan mendalam.
Hal itu, kata Fadli, merujuk kepada Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951 yang ditandatangani Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo pada 17 Oktober 1951.
Ia mengatakan PP tersebut menetapkan Lambang Negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian integral dari identitas bangsa.
"Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi filosofi hidup Bangsa Indonesia yang mencerminkan kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan dalam keberagaman," kata Fadli di dalam keterangan tertulis.
"PP No. 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara merupakan tonggak sejarah penetapan Garuda Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol resmi Indonesia," sambungnya.
Menteri dari Partai Gerindra itu mengajak seluruh pemangku kepentingan, termasuk komunitas budaya, akademisi, dan masyarakat umum, bersama-sama memaknai Hari Kebudayaan Nasional sebagai bagian dari upaya kolektif membangun Indonesia yang beradab dan berbudaya.
3. Pakar hukum tata negara nilai penetapan Hari Kebudayaan Nasional bisa digugat ke PTUN

Sementara, dalam pandangan pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, menyebut problematika penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan bukan dari institusi yang berwenang menetapkannya. Namun, dari cara dan alasan penetapannya.
"Misalnya karena penetapannya hari ulang tahun presiden. Itu bagi saya konyol karena lebih kepada sifat subjektifnya dibanding objektif dalam penentuan hari besar nasional," ujar Feri kepada IDN Times pada hari ini.
Ia menambahkan penetapan hari nasional dengan sebuah Keputusan Menteri bukan masalah. Justru menurutnya lebih mudah untuk digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Gak masalah produk hukumnya. Kalau ingin digugat ke PTUN malah lebih praktis," tutur dia.
Bila nantinya digugat, maka tinggal dibuktikan apakah penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional sudah sesuai azas-azas pemerintahan yang tertuang di dalam UU nomor 30 tahun 2014 mengenai administrasi pemerintahan.